Perspektif

Ekonomi Islam itu Hakikatnya Bukanlah Ekonomi, Melainkan Fikih!

6 Mins read

Pendahuluan

Ekonomi Islam – Siapa di antara kita yang tidak berekonomi hari ini? Hampir pasti tidak ada. Semua orang hidup sambil membutuhkan dan menggunakan ekonomi. Makanan, minuman, dan rumah, baru bisa kita konsumsi dan nikmati setelah ia diproduksi dan didistribusi.

Kita juga perlu kekayaan sendiri untuk membeli semua kebutuhan yang dijual terbatas tersebut. Ini semua adalah ekonomi. Membiarkan ekonomi tidak dimengerti bisa jadi merupakan kekeliruan terbesar kita.

Dalam rangka mengerti apa itu ekonomi, kita juga disajikan satu jenis model ekonomi yang tidak umum. Ia disebut ekonomi Islam. Pengusungnya adalah kalangan Muslim yang percaya bahwa ekonomi saat ini menyimpang dari ajaran Tuhan, dan karenanya perlu di-Islam-kan. Syed Nawab Haider Naqvi (lahir 1935) adalah salah satu orang yang paling serius dalam upaya mewujudkan ekonomi Islam ini.

Bagi orang-orang Islam, ada pertanyaan mendasar yang akan muncul di kepalanya ketika berhadapan dengan ekonomi Islam: Sebagai seorang Muslim, apakah kita harus percaya bahwa ekonomi Islam adalah kewajiban yang harus diamalkan, seperti wajibnya kita mengimani Allah, Nabi Muhammad, dan Al-Qur’an?

Pertanyaan yang lain: Apakah dengan klaim ekonomi Islam, itu berarti ekonomi konvensional berlawanan dengan agama Islam? Apakah kita harus bertransaksi hanya dengan bank syariah? Apakah alat tukar itu seharusnya dinar dan dirham, bukan uang kertas dan logam? Apakah bertransaksi dengan ekonomi konvensional, meminjam uang dari bank konvensional, dan menggunakan uang kertas sebagai alat tukar, sama dengan melakukan riba dan dosa?

Ini Bukan Ekonomi, Melainkan Fikih

Syed Nawab Haider Naqvi menulis sebuah buku penting berjudul Islam, Economics, and Society (Routledge, 2013). Di sana ia menjelaskan tentang keyakinannya bahwa Islam bukan sekadar agama, melainkan juga sebuah ideologi politik dan ekonomi. Ia percaya bahwa umat Islam seharusnya hidup dengan cara-cara Islam, termasuk dalam berpolitik dan berekonomi.

Jika tidak demikian, maka akibatnya adalah seseorang bisa berdosa, dan akhirnya Tuhan akan menyiksa Anda di dunia dan di akhirat. Pada bagian The Nature and Significance of Islamic Economics di bukunya itu, Naqvi (2013) membuat uraian panjang tentang definisi ekonomi Islam. Ia begitu bersemangat membuat sistem ekonomi Islam ini tampak ilmiah supaya bisa menyaingi kapitalisme dan sosialisme.

Berangkat dari ajaran-ajaran Islam, Naqvi (2013) menyusun sebuah definisi ekonomi Islam, yaitu: Sebuah sistem ekonomi berdasarkan ajaran Allah dan Rasulullah. Ini sama dengan definisi politik Islam dan negara Islam: Sebuah sistem politik dan pemerintahan berdasarkan ajaran Allah dan Rasulullah.

Baca Juga  Bagaimana Ekonomi Syariah Membenahi Pinjol?

Sama juga dengan definisi sekolah Islam dan sains Islam: sebuah sistem pendidikan dan sains berdasarkan ajaran Allah dan Rasulullah. Anda bisa teruskan sendiri untuk membuat definisi rumah makan Islam dan mini market Islam.

Tapi, Ekonomi itu Sendiri apa Sebenarnya?

Menurut Lord Robbins (1935) ekonomi adalah disiplin ilmu sosial (social sciences) yang berbicara tentang perilaku manusia (human behavior) yang berupa perilaku konsumsi, produksi, dan distribusi, berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang jumlahnya selalu terbatas di pasaran. Adam Smith (1776) mengartikan ekonomi sebagai pencarian dan pemahaman atas watak dan sebab-sebab bagi kekayaan dan kemakmuran bangsa.

Dari dua definisi utama di atas, dunia modern memahami ekonomi sebagai cara bagaimana seorang manusia harus mengelola kekayaannya, supaya bisa terpenuhi kebutuhan dasarnya, dan tidak merugi atau kehilangan seluruh kekayaannya. Ekonomi lalu mengajarkan kita bahwa kekayaan dan keuntungan harus dijaga dan ditingkatkan untuk mewujudkan kesejahteraan semakin banyak orang, bahkan hingga level bangsa dan negara (Harari, 2020).

Untuk mewujudkan itu semua, masyarakat manusia lalu membuat transaksi berupa jual beli, alat tukar berupa uang, tempat jual beli berupa pasar, barang jual beli berupa komoditas, dan tempat menyimpan dan meminjam uang berupa bank. Ini semua menjadikan ekonomi sebagai sebuah mesin besar yang berputar untuk menghasilkan keuntungan lagi dan lagi (Harari, 2020).

Keuntungan Anda dari bekerja atau berdagang, Anda simpan di bank, Anda putar lagi dalam investasi, dan hasilnya bisa Anda gunakan kapan saja untuk membeli keperluan yang Anda inginkan, seperti membeli kendaraan, membayar sekolah anak, atau membayar kredit rumah. Ekonomi memastikan Anda bisa hidup secara produktif, meski sumber daya Anda sendiri terbatas.

Ekonomi modern juga telah membawa kehidupan manusia kepada kemajuan dan kemudahan. Kesejahteraan kita juga meningkat, jauh melebihi apa yang seratus tahun lalu manusia alami (Pinker, 2018).

Harapan hidup manusia bertambah akibat industri dan ekonomi yang semakin menguntungkan dan mempermudah kehidupan. Dengan keuntungan, ekonomi menciptakan teknologi baru, menemukan obat-obatan baru, dan menciptakan tempat tinggal yang baru (Harari, 2020).

***

Lalu datanglah ekonomi Islam yang mengatakan kepada Anda bahwa semua mesin ekonomi modern yang tadi disebutkan (bank, uang kertas, kredit) adalah barang haram karena berbagai macam alasan. Sekalipun kehidupan manusia menjadi lebih baik di bawah mekanisme ekonomi modern, ekonomi Islam tidak peduli pada itu semua. Jika Anda terus menggunakan ekonomi modern, meskipun untung, Anda adalah seorang pelaku dosa.

Baca Juga  Jihad Sesat dan Rayuan Radikalis

Inilah yang saya sebut: Ekonomi tidak lagi berbicara ekonomi (yaitu keuntungan), melainkan berubah menjadi berbicara fikih (yaitu dosa-pahala, halal-haram, dan surga-neraka). Dan itulah yang dimaksud oleh Naqvi dengan ekonomi Islamnya. Sebuah ekonomi yang meletakkan hukum fikih Islam sebagai undang-undang halal dan haram, dan percaya bahwa dengan begitu Tuhan akan meridhai kita.

Bagi para promotor ekonomi Islam, keislaman Anda baru sempurna jika Anda bertransaksi menggunakan bank syariah, beralih kepada dinar dan dirham, serta menjauhi barang haram berupa bunga bank dan kredit bank.

Ekonomi Islam bukan sebuah mekanisme ekonomi untuk menciptakan keuntungan dan memudahkan hidup manusia – hal yang seharusnya menjadi tugas dan peran utama ekonomi – melainkan sebuah ajaran fikih yang merasa harus memberikan hukum halal atau haram kepada segala sesuatu yang dihadapinya.

Membawa Masuk Tuhan ke dalam Dapur

Bayangkan Anda adalah seorang pengusaha catering. Tiada hari tanpa pesanan dari pelanggan. Anda selalu perlu supaya dapur Anda bekerja dalam suatu mekanisme. Ada dua pegawai di dapur yang tugasnya mencuci dan memotong daging. Semua harus dikerjakan tepat waktu.

Pegawai A berpikir bahwa ia hanya perlu fokus membersihkan dan memotong daging yang tersedia. Dengan begitu, daging bisa segera diolah. Pegawai B agak berbeda. Ia berpikir bahwa ia perlu selalu bersama dengan kucing kesayangannya. Ia tidak fokus pada daging dan mekanisme. Ia fokus pada kucingnya.

Akibatnya, si A lebih cepat, gesit, dan menguntungkan bagi industri catering rumahan Anda. Anda pun mulai memikirkan untuk memindahkan posisi si B. Akan tetapi, ke mana pun Anda pindahkan ia, yang menjadi pusat di kepalanya bukanlah soal keuntungan industri dan kelancaran mekanisme di dapur.

Ia terlanjur membawa masuk kucingnya ke dalam dapur. Pegawai B tak lagi fokus dengan pekerjaan, tapi dengan sesuatu yang lain. Itulah yang dilakukan Naqvi (2013) dengan menjadikan the divine presence sebagai prinsip utama dalam ekonomi.

***

Ia mengajukan syarat bagi seorang Muslim yang mau berekonomi, yaitu: Harus selalu melibatkan Tuhan. Tapi, bagaimana caranya melibatkan sosok gaib ke dalam ekonomi yang praktis dan pragmatis? Caranya adalah dengan menerapkan hukum Tuhan.

Ajaran teologis soal hukum Tuhan ini mungkin tak bisa dibantah. Jangan berdebat soal ini dengan Naqvi. Sudah jelas, bahwa keyakinan seperti ini sangat kuat mengakar bagi siapa pun yang mengimani adanya hukum Tuhan. Bagi seorang yang religius, perasaan bahwa Tuhan itu maha hadir, maha kuasa, dan maha mengatur, adalah sejelas fakta bahwa Anda bernafas dengan hidung. Tapi, apakah tepat membawa-bawa Tuhan, teologi, dan fikih ke dalam “dapur” ekonomi?

Baca Juga  Maraknya Stigma Kapitalisme Monopoli, Bagaimana Tanggapan Hukum Islam?

Tak ada yang melarang si B untuk selalu mencintai kucing kesayangannya, di mana pun ia berada. Tapi, apakah tepat jika harus terus membawa-bawa kucing itu ke dapur tempat si B seharusnya bekerja dalam mekanisme industri? Si B percaya bahwa kucingnya adalah segala-galanya, sementara keuntungan industri catering Anda bukan apa-apa.

Itulah yang terjadi dengan ekonomi Islam. Ia menyebut dirinya ekonomi, tapi tidak peduli pada mekanisme rasional dalam meraih keuntungan dan memudahkan kehidupan. Ia justru mempersulit dirinya sendiri dan orang lain, dengan anggapan bahwa kita harus membawa hukum Tuhan ke mana pun kita masuk, di mana pun kita berada. Sementara itu, dalam ekonomi yang waras, keuntungan dan kemudahan hidup merupakan tujuan yang hendak diraih. Jika usaha catering Anda itu maju, maka pegawai Anda pun semakin terjamin kesejahteraannya. Demikian itulah logika dan etika ekonomi modern.

Penutup

Bank, kredit, asuransi, perdagangan, investasi, adalah mesin-mesin yang bekerja dalam mekanisme dunia ekonomi modern. Tidak ada hukum Tuhan di sana. Yang memastikan semua mesin itu bekerja adalah rasa saling percaya, kejujuran, dan keuntungan. Anda tidak perlu hukum Tuhan untuk berlaku jujur dalam tindakan ekonomi. Anda tidak perlu hukum Tuhan untuk memaksimalkan keuntungan, menghindari kerugian, dan meratakan distribusi kekayaan.

Masalah kita hari ini adalah, selalu ada banyak Muslim yang percaya bahwa tujuan hidup di dunia adalah untuk menjalankan dan menegakkan hukum Tuhan di segala aspek kehidupan. Dengan begitu, apa pun yang dunia tawarkan kepadanya, akan disidang terlebih dahulu, apakah ia itu halal atau haram, tak peduli sebesar apa pun manfaatnya.

Hasrat ideologis untuk selalu menguji apakah sesuatu sejalan dengan aturan fikih Islam adalah hambatan mental utama bagi seorang Muslim untuk bergabung dalam dunia modern, politik modern, dan ekonomi modern.

Akhirnya, kembali ke pertanyaan di bagian pembuka: Apakah seorang Muslim harus tunduk dan patuh pada ekonomi Islam? Terserah Anda. Dunia modern yang demokratis tidak akan melarang-larang agama mana pun untuk menciptakan ekonominya sendiri. Ada banyak ruang bagi semua orang.

Seperti bank konvensional, negara yang cerdik juga akan menyediakan ruang bagi bank syariah. Mengapa begitu? Karena bank syariah punya konsumen setia, dan konsumen setia adalah komoditas ekonomi yang menguntungkan. Bank syariah bukannya melawan ekonomi modern. Ekonomi modern justru memanfaatkan bank syariah.

Editor: Yahya FR

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *