Fikih

Maraknya Stigma Kapitalisme Monopoli, Bagaimana Tanggapan Hukum Islam?

3 Mins read

Kapitalisme Monopoli – Kapitalisme adalah sebuah istilah yang sangat umum dan hampir seluruh masyarakat pernah mendengarnya. Sering kali diartikan bahwa kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang dicirikan oleh hak milik ilegal terhadap alat-alat produksi dan pemanfaatannya untuk mencapai laba dalam kondisi yang begitu kompetitif.

Berkenaan dengan sistem ekonomi ini, kapitalis memiliki peran tersendiri dalam memberikan kebebasan yang cukup tinggi kapasitasnya bagi pelaku-pelaku ekonomi. Kemungkinan besar, ini supaya bisa melakukan kegiatan yang lebih ekstra untuk kepentingan individual atas sumberdaya ekonominya.

Tentu saja secara implisit, maka sistem ekonomi kapitalis harus mempunyai keleluasaan bagi perorangan untuk berkuasa. Seperti halnya berlomba-lomba antar individu dalam memenuhi kebutuhan.

Satu hal yang menjadi dasar pegangan sistem ekonomi kapitalis, adalah keadilan. Di mana, siapa pun yang berhak menerima imbalan, wajib berdasarkan prestasi kerjanya. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri jika terjadi kurangnya campur tangan pemerintah, karena peran pemerintah hanya berkedudukan sebagai pengamat dalam perekonomian.

Tidak luput dengan stigma monopoli, pada tahap ini kapitalisme ditandai oleh terjadinya pemusatan ekonomi besar-besaran. Oleh karena itu, maraknya stigma kapitalisme monopoli ini, menjadi perbincangan besar bagi kalangan umat Islam, terutama masalah hukum kehidupan.

Secuil Mengenal Monopoli

Kata monopoli, diambil dari bahasa Latin yaitu Monos Polein yang berarti “Berjualan Sendiri”. Maka, arti Monopolist adalah penjual tunggal suatu barang yang tidak mempunyai subtitusi yang dekat ataupun rapat (close substitute).

Sebagai penjual tunggal, manopolis tersebut dengan sendirinya lebih berwenang dalam mengendalikan tingkat harga. Namun demikian, monopolis tentu saja belum memastikan supaya memperoleh keuntungan ekonomi yang positif. Dalam UU No. 5 tahun 1999, dijelaskan bahwa monopoli merupakan penguasaan atas produksi, dan pemasaran barang ataupun penggunaan jasa tertentu oleh satu bahkan kelompok pelaku usaha.

Baca Juga  Karl Marx: Kapitalisme, Sosialisme, dan Utopian

Kapitalisme dan Stigma Monopoli

Lahirnya kapitalisme, merupakan kelembagaan dari sebuah sistem ekonomi yang meninggikan derajat persaingan bebas. Pertama kali yang di gempur, adalah Revolusi Belanda pada abad ke-16. Kemudian disambung Revolusi Inggris pada tahun 1648 dan Revolusi Perancis yang begitu mewah pada 1789. Kompetisi bebas inilah yang membuat kapitalisme semakin progresif daripada sistem feodalisme yang konservatif.

Kompetisi bebas dari kapitalisme awal adalah membentuk kemajuan peradaban manusia saat ini. Dengan kompetisi bebas, kapitalisme terus menerus mampu merevolusi alat-alat produksi dan teknologi. Seterusnya, akan lebih didukung oleh peran dalam membebaskan manusia dari keterpurukan sistem foedalisme yang sudah membusuk.

Sebut saja seorang bayi yang beranjak dewasa, begitu pula kapitalisme. Pada prosesnya, persaingan bebas dalam kapitalisme ini, justru melahirkan monopoli. Setiap beberapa kali, biasanya sebuah perusahaan jika menang dalam persaingan bebas, tentunya akan semakin kuat, ditambah modal dan pasarnya semakin luas.

Hal yang spesifik terjadi, adalah ketika tahun 1830 di mana perusahaan terbesar di dunia seperti pabrik besi baja Cyfarthfa. Di sana para pekerja telah mencapai 5.000 orang beserta aset dengan jumlah 2 juta dolar. Sedangkan saat ini, digemparkan bahwa Warmart mempekerjakan 2,2 juta pekerja beserta aset dengan jumlah 190 miliar dolar.

Perputaran siklus seperti ini, terus berangsuran sampai menyisakan sedikit dari perusahaan yang kapasitas kapitalnya besar.

Oleh karenanya, cara persaingan seperti halnya yang di atas, disadari maupun tidak, akhirnya persaingan menimbulkan monopoli. Bahkan, bisa dibilang sebagai tahapan yang sekiranya dapat terselesaikan pada awal abad ke-20.

Semenjak itu, monopoli telah merembak luas bahkan menjadi fitur fundamental bagi kapitalisme terkini. Walaupun persaingan bebas masih ada, justru fitur dominan sudah tidak bisa diberlakukan.

Baca Juga  Mana yang Benar, Makan Dulu atau Shalat Dulu?

Stigma Tentang Monopoli Menurut Hukum Islam

Kehadiran Islam, salah satunya memposisikan diri sebagai penyelamat tradisi besar umat manusia dengan cara memberi kritik yang sehat, dan menyalurkan pandangan baru yang penuh daya hidup.

Selain itu, Islam juga peduli dengan segala hal yang menyangkut masalah kezhaliman yang menimbulkan keterpurukan dan kesesatan. Salah satunya, masalah monopoli pasar terhadap kebutuhan hidup.

Sebagaimana pendapat Abu Hanifah, al-Malikiyah, al-Syafi’iyah, al-Hanabilah, dan al-Dhahiriyah. Bagi mereka hukum dari monopoli adalah haram. Tentunya ini merujuk pada firman Allah Swt yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ الَّذِي جَعَلْنَاهُ لِلنَّاسِ سَوَاءً الْعَاكِفُ فِيهِ وَالْبَادِ ۚ وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia, baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih” (QS. Al-Hajj: 25)

***

Dalam menafisrkan ayat di atas, sepenuhnya mendapat dukungan dari banyak hadits. Salah satunya yang artinya “siapa pun yang melakukan monopoli, maka ia berdosa” (HR. Bukhari). Begitu pula dengan ekonomi umat, urgensi monopoli ini secara lantang diklaim sebagai parameter yang membawa pengaruh negatif, di antaranya:

  1. Mempersempit ranah kebebasan di bidang perdagangan dan perindustrian. Alasannya adalah pelaku monopoli dalam volume barang yang dikelola semakin diperkecil yang mengakibatkan tingginya harga, bahkan memberikan keuntungan yang lebih bagi pelakunya.
  2. Pada bentuk monopoli tertentu, serta merta mampu menghilangkan barang dari pasar. Sehingga yang dijual belikan menjadi terkurang, harganya mahal, dan para pembeli dituntut membelinya karena membutuhkannya.
  3. Menyebabkan tidak ada gunanya bahan produksi di tengah masyarakat secara optimal, serta tidak adanya pembaruan di ranah proses produksi terlebih pemilik dari produsen kecil.
Baca Juga  Hukum Menghafal Al-Quran: Sunnah, Wajib atau Mubah?

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan hukum Islam. Stigma tentang monopoli yang terlebih dipelopori kaum kapitalisme, dengan mudahnya dapat dipatahkan dengan nalar yang sehat. Alasannya, prinsip yang dianut Islam adalah memegang teguh terhadap hal yang tidak boleh ada bahaya dan yang membahayakan. Sering lebih dikenal dengan (la dharara wala dhirar).

Editor: Saleh

M. Zulfikar Nur Falah
22 posts

About author
, Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains Al-Ishlah
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *