Perspektif

Konflik Palestina-Israel: Mengapa “Solusi Dua Negara” Sulit Terwujud?

3 Mins read

Belakangan ini, istilah “twostate solution” atau “solusi dua negara” mulai sering terdengar dari beberapa pihak yang bersuara dalam perang asimetris antara Palestina dan Israel. Presiden Jokowi menyuarakan hal ini dalam pertemuan terkini dengan Presiden Amerika Joe Biden, dan pada dasarnya Indonesia telah konsisten menyuarakan solusi ini sejak dulu.

Bukan hanya dari pihak eksternal, bahkan juru bicara Hamas, Abu Obaida, selaku pihak yang berperang juga membuka peluang pembicaraan soal two-state solution sebagai kerangka utama negosiasi. Solusi ini juga pernah disuarakan oleh Yair Lapid, Perdana Menteri Israel periode lalu.

Mungkin istilah ini mudah dipahami oleh mereka yang telah mendalami isu konflik Palestina-Israel secara historis, namun saya meyakini perlu adanya penjelasan ringan yang bisa dicerna oleh masyarakat terkait apa yang disuarakan oleh banyak pihak sebagai solusi.

Tulisan ini tidak akan membicarakan kondisi terkini di Palestina, yang sudah jelas sebuah upaya genosida dan pelanggaran HAM. Untuk mengetahui kondisi tersebut tidak lagi membutuhkan sebuah artikel. Justru edukasi soal sejarah konflik Palestina-Israel ini dan sudah sejauh mana resolusi penyelesaiannya sudah dibicarakan merupakan satu hal yang tidak kalah penting. Oleh karena itu, tulisan ini akan berfokus pada ulasan historis soal two-state solution dan bagaimana respon internal Palestina-Israel terhadap solusi ini.

Sejarah Awal Two-State Solution

Sebenarnya agak sulit untuk memulai penjelasan tentang “solusi dua negara” tanpa mengetahui sejarah Mandat Inggris di Palestina dan migrasi besar-besaran Yahudi Eropa ke wilayah Palestina. Namun untuk meringkaskan pembicaraan, rentetan sejarah kompleks tersebut bisa disederhanakan sebagai berikut: kekalahan kesultanan Usmani pada perang dunia satu menyebabkan wilayah Syam dan Iraq (yang didalamnya termasuk Palestina) kepada Inggris dan Prancis.

Baca Juga  Saatnya Guru Muhammadiyah Sejahtera!

Perjanjian rahasia Sykes-Picot (1916) membagi wilayah Syam secara sama rata antara Inggris dan Prancis, dimana Inggris mendapatkan Iraq, Jordan dan Palestina. Setahun kemudian, deklarasi Balfour yang berisikan janji pemerintah Inggris kepada komunitas Yahudi untuk mendapatkan tanah air dibuat. Tanah palestina—yang sudah dalam mandat Inggris—dipilih sebagai tujuan. Migrasi besar-besar Yahudi pro-Zionis dimulai dan Inggris mengeluarkan kebijakan partisi wilayah antara Arab Palestina (Muslim dan Kristen) dan Yahudi.

Pada titik ini, komunitas Yahudi Eropa di Palestina belum benar-benar punya entitas politik sehingga muncul friksi etnis antara Arab Palestina dan Yahudi, untuk menegaskan ambisi mereka mendirikan negara. Konflik ini pula telah melahirkan faksi-faksi dalam kedua komunitas tersebut, diantaranya nasionalis Palestina yang nantinya menjadi Palestinian Liberation Organisation (PLO) dan Islamis yang nantinya menjadi Hamas.

Secara perlahan setelah perang dunia kedua, Inggris mulai mencabut otoritas politiknya dari tanah Palestina dan memuluskan terbentuknya negara Israel serta membicarakan nasib orang Arab-Palestina. Namun, muncul sebuah masalah berkaitan “Arab-Palestina” terutama dari para nasionalis yang menginginkan negara Palestina yang berdaulat penuh, dan menolak pembagian wilayah. PBB lalu menegaskan partisi wilayah ini pada 1947 dengan penekanan bahwa Jerusalem menjadi wilayah Internasional.

***

Resolusi inilah yang disebut sebagai two-state solution, dimana Palestina menjadi sebuah negara dengan wilayah di West Bank atau Tepi Barat, Jalur Gaza, dan gurun Negev di Selatan, sementara Israel mendapatkan mayoritas wilayah pantai. Barangkali pembaca sudah pernah melihat peta partisi wilayah PBB 1948.

Kerangka solusi dua negara ini pada dasarnya menginginkan Palestina dan Israel menjadi dua negara dengan kedaulatan masing-masing. Tetapi kerangka ini tidak pernah berjalan mulus bahkan pada tahun-tahun awal dijalankannya. Peristiwa Nakba atau pengusiran etnis Arab dari wilayah yang diberikan kepada Israel merupakan konflik terawal di masa itu yang berujung pada perang 1948.

Baca Juga  Trensains (Pesantren Sains): Konvergensi Muhammadiyah-NU

Perang ini dilatari konflik nasionalisme Palestina vs Nasionalisme Israel yang baru saja menjadi negara, dan saat itu Palestina mendapatkan bantuan para-militer dari Mesir, Lebanon, Syria dll. Perang ini berhenti pada tahun 1949 dengan perjanjian armistice yang menguntungkan Israel, dimana Jerusalem dibagi menjadi Barat (Israel) dan Timur (Palestina).

Pasang Surut Solusi Dua Negara

Beberapa sejarawan konflik Palestina, seperti Eugene Rogan, mengatakan bahwa two-state solution ini mengalami pasang-surut sepanjang sejarah kedua negara ini. Tokoh-tokoh Yahudi pendiri Israel sebelum perang Yom-Kippur pada 1973 merespon solusi ini secara positif, begitu pula Islamis Palestina saat itu.

Namun, para nasionalis Palestina (PLO) yang terdiri dari Muslim dan Kristen menolak keras dan bersikukuh dengan Palestina sebelum Mandat Inggris. Konflik PLO yang dipimpin oleh Yasser Arafat konsisten pada tujuan one-state solution tanpa adanya Israel.

Beriring waktu, pemerintahan Israel yang dikuasai sayap-kanan mulai melanggar partisi PBB dengan membangun pemukiman ilegal di wilayah perbatasan, hingga memicu perang enam hari pada 1967 dan kemudian perang Yom-Kippur pada 1973. Kedua perang ini, pada dasarnya bukan lagi konflik dua kepentingan antara Palestina-Israel saja, tetapi ditambahkan konflik ambisi berdirinya Republik Arab Bersatu (Mesir, Syiria, Jordan).

Tetapi, kenyataan pahit bahwa Israel memenangkan kedua perang ini justru memperparah konflik dan kondisi Palestina sendiri, apalagi Mesir dan Israel sepakat pada normalisasi hubungan pada 1978.

***

Hingga pada akhirnya kelompok Islamis Palestina dan Nasionalis Fatah menginisiasi intifada, sementara disaat bersamaan PLO mulai mengarah ke proses perdamaian, yang bermakna telah menerima two-state solution. Perdamaian Oslo antara PLO dan Israel ini tidak ditanggapi dengan baik oleh Islamis dan Zionis sayap-kanan, meskipun Oslo Accord merupakan bentuk endorsement untuk solusi dua negara.

Baca Juga  Dilema Aaron Bushnell Membela Palestina, Mengapa Berujung Ekstrem?

Bahkan hingga saat ini, Zionis sayap-kanan seperti partai Netanyahu dan Naftali Bennett, masih membawa narasi Israel sebagai one-state solution dan terus merebut secara ilegal tanah milik Palestina berdasarkan partisi PBB 1947.

Hingga hari ini, two-state solution masih merupakan resolusi yang disuarakan secara global oleh banyak negara. Representasi politik Palestina di Tepi Barat juga konsisten pada resolusi ini, begitu pula beberapa tokoh Hamas di Gaza meskipun tidak secara gamblang.

Tetapi keragaman respon internal Palestina dan Israel ini menjadi tantangan terbesar terwujudnya solusi dua negara ini. Saya berpandangan bahwa, solusi ini akan tetap sulit diwujudkan jika salah satu akar permasalahan: perebutan tanah secara ilegal dan apartheid oleh Israel belum diberikan konsekuensi berat oleh negara superpower.

Editor: Soleh

Anggi Azzuhri
4 posts

About author
Alumni Hamad bin Khalifa University, Qatar I Kandidat Ph.D Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds