Konflik Sosial Antara Kaum Muda dan Kaum Tua — Sebagaimana disinggung dan disimpulkan dalam banyak tulisan, “realitas sosial itu tidak akan selamanya homogen”. Ia bersifat heterogen, selalu berbeda, bersilang, dan bertolak belakang alias majemuk atau plural. Baik itu mindset idealis ataupun mindset realis. Idealis itu ada apanya, realis itu apa adanya. Sedikit mirip dengan faham jabariyah versus qadariyah.
Fakta itu dilatarbelakangi oleh berbagai faktor yang disebut human construction, di mana kita hari ini adalah akumulasi kita di masa lalu.
Faktor Human Construction Dalam Realitas Sosial
Pertama, pengasuhan di masa balita, anak-anak, dan remaja. Kedua, pendidikan orang tua dan orang dewasa di sekitarnya. Ketiga, makanan yang dikonsumsi hingga hari ini. Keempat, buku yang dibaca dan tontonan kehidupan sehari-hari. Dan kelima, lingkungan pergaulan selama ini.
Lazimnya, kaum muda berpikiran idealis, sedangkan kaum tua cenderung realis. Namun, keduanya memiliki energi positif bila dipadukan, karena keduanya tercipta untuk bersinergi, saling melengkapi dan bukan menegasikan.
Tetapi, sulit bila si idealis isi kepalanya dipenuhi ide, gagasan, dan mielin-mielin yang saling tersambungkan. Sedang si realis isi kepalanya terdiri dari batu akik, batu kerikil, batu karang, batu koral, dan batu kesombongan, sehingga cenderung menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Pada kulminasinya, sering berakhir dengan perdebatan dan perselisihan yang terkadang sarkastik, mencari pembenaran, menghina personal dan strata sosial. Ciri bahwa kematangan dan kedewasaan itu memang mahal, gagal berargumen berujung sentimen. Bahkan terkadang menjadi wakil Tuhan bermodal secuil ilmu dan pemahaman. Padahal sedikit pun tak punya otoritas tentang itu, kecuali secara sah dan meyakinkan bahwa keduanya adalah ahli agama menurut hukum dan perundang-undangan negara.
Ingat, bahwa sejarah itu dimulai dengan kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, dan berakhir dengan kelanggengan atau kehancuran. Kelanggengan itu buah dari kedisiplinan, ketegasan, keistiqomahan, dan kejujuran. Kehancuran itu buah dari kemalasan, kejumudan, kesombongan, dan kepongahan.
Usulan Salman Al-Farisi di Perang Khandaq
Jika berkaca jauh pada masa Rasulullah SAW, konflik sosial antara kaum muda-idealis dan kaum tua-realis ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Salah satu kisah seteru antara kaum muda dengan kaum tua adalah ketika terjadinya perang Khandaq.
Perang Khandaq terjadi satu tahun setelah umat Islam mengalami kekalahan di Perang Uhud. Kaum Quraisy menggalang kekuatan dengan sejumlah suku untuk kembali menyerang umat Islam. Kemudian, umat Islam Madinah mendengar berita tersebut. Setelah itu, Rasulullah segera menggelar musyawarah dengan para sahabat, membahas rencana penyerangan oleh kaum Quraisy.
Dalam musyawarah itu, Salman Al-Farisi memberikan sebuah gagasan yang cemerlang. Ia mengusulkan agar umat Muslim menggali parit di wilayah utara kota Madinah, untuk menghubungkan antara kedua ujung Harrah Al-Wabrah dan Harrah Waqim. Daerah ini merupakan satu-satunya yang terbuka di hadapan pasukan musuh. “Kami dulu kalau sedang khawatir (kalah) biasa menggali parit,” ucap Salman.
Menggali parit? Para sahabat merasa asing. Bukankah itu bisa jadi pertanda bahwa mereka pengecut, tak berani berhadapan langsung dengan musuh? Memang, strategi perang itu tidak dikenal di kalangan bangsa Arab, bangsa pemberani yang biasa berperang secara berhadap-hadapan, tetapi di Persi sudah biasa dipakai.
Rasulullah SAW tak peduli dengan segala sangkaan orang nanti. Perang merupakan adu otak, (adu) siasat, dan tidak hanya adu otot. Usulan Salman Al-Farisi itu kemudian diterima Rasulullah SAW beserta para sahabat, mengingat jumlah pasukan tentara musuh yang begitu besar.
Lalu, dimulailah proses penggalian. Tak mudah bagi kaum Muslimin menggali parit sepanjang lebih dari lima kilometer itu. Singkat cerita, perang Khandaq ini dimenangkan oleh kaum muslimin setelah bertahan lama di dalam kota dengan parit sebagai pembatas.
Menepis Konflik Sosial dengan Harmoni Lintas Generasi
Ibrah yang dapat kita ambil dari kisah singkat Salman Al-Farisi ini adalah munculnya suatu ide/gagasan cemerlang diusulkan oleh seorang pemuda yang memiliki keberanian, meskipun para kaum tua (sahabat Rasulullah) yang lainnya, sedikit merasa ragu mengenai usulan Salman tentang pembuatan parit. Pada akhirnya, usulan tersebut diterima dan disetujui oleh Rasulullah SAW dan berakhir dengan sebuah kemenangan.
Teringat salah satu pesan Buya Hamka dalam bukunya berjudul “Lembaga Budi”. Beliau menyebutkan bahwa,
“Kerap kali orang tua menyesali pemuda dan menuduhnya bekerja terburu-buru dan kurang pikir. Kerap kali orang muda menuduh orang tua lamban, lamban dalam bertindak dan berpikir. Alangkah sibuknya dunia kalau pimpinan hanya di tangan yang muda-muda. Dan dunia akan membosankan karena lamban geraknya kalau pemimpin hanya yang tua-tua. Gabungan antara gelora semangat yang muda dengan renung pikiran yang tua itulah yang menimbulkan keseimbangan di dalam perjalanan hidup.”
Carut marut dan sengkarut kaum muda-idealis dan kaum tua-realis itu cukuplah terselesaikan dengan saling menghormati, menghargai, dan menjauhkan diri dari arogansi. Menjaga komunikasi efektif adalah kunci agar bisa bersinergi, dan agama mengajarkan kita tentang kewajiban menjaga kerukunan, saling menghormati dan menasehati dalam kebaikan.
Wallahua’alam.
Editor: Zahra