Di era sekarang, manusia dihadapkan dengan berbagai tantangan kompleks yang memengaruhi kehidupan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah dampak dari globalisasi. Globalisasi meskipun memberikan manfaat, namun juga membawa sejumlah tantangan yang serius. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah dampak dari fenomena tren-tren budaya baru yang bermunculan. Perubahan budaya terkadang memunculkan pertentangan antara nilai-nilai yang ada dengan munculnya tren budaya baru.
Di satu sisi, masyarakat memegang teguh nilai-nilai etis yang dianggap sebagai panduan moral yang benar atau salah, serta baik atau buruk. Namun, di sisi lain, tren budaya terkadang memperlihatkan kecenderungan untuk melampaui batas-batas nilai-nilai tersebut. Hal ini menciptakan situasi di mana masyarakat harus berhadapan dengan penyeimbangan antara mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada dan mengakomodasi perubahan dalam budaya yang kontras dengan nilai-nilai yang sudah ada.
Singkat garis besar persoalan tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan, terutama tentang bagaimana relevansi pemikiran filsafat Islam dalam menghadapi persoalan-persoalan tren budaya era globalisasi yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang sudah ada dan diyakini sebagai benar atau baik? Pertanyaan semacam ini menjadi penting untuk menggali bagaimana peranan khazanah pemikiran filsafat dalam Islam dapat direalisasikan pada masa kini.
Seperti yang dapat kita ketahui bahwa pemikiran filsafat dalam tradisi Islam sudah masif dari sebuah masa yang disebut dengan era klasik. Terdapat beberapa filosof dengan gagasan-gagasan yang unik dan memiliki karakteristiknya masing-masing, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali di Timur, serta Ibn Bajjah, Ibn Thufail, Ibn Rusyd di Barat. Gagasan-gagasan filosofis mereka memungkinkan untuk menjadi relevan dengan menggali prinsip-prinsip yang sesuai dengan persoalan aktual di masa kini.
Ibn Bajjah dan Pemikirannya tentang al-Mutawahhid
Melihat persoalan tren budaya di masa sekarang, terdapat gagasan filosof Islam klasik yang memiliki relevansi signifikan. Gagasan tersebut merujuk pada konsep al-Mutawahhid perspektif Ibn Bajjah yang diperkenalkan dalam karya utamanya berjudul “Risalah Tadbir al-Mutawahhid”. Ibn Bajjah disebut-sebut sebagai filosof Islam pertama di belahan dunia Barat. Di samping itu, ia juga merupakan seorang komponis, penyair, dan menteri (wazir) pada era Daulah Murabbitun di bawah pimpinan Abu Bakar ibnu Ibrahim al-Sahrawi.
Konsep al-Mutawahhid Ibn Bajjah merujuk pada upaya untuk dapat mengendalikan diri dengan berpusat pada dirinya sendiri, betapapun harus berhubungan dengan masyarakat. Dengan kata lain, konsep ini merujuk pada pemimpin soliter, mengupayakan agar dirinya dapat menjadi teladan bagi orang lain, menyusun aturan-aturan masyarakat bagi masyarakat, serta tidak terbawa arus dari keburukan masyarakat itu sendiri. Konsep ini merujuk pada bagaimana seorang penyendiri harus bertindak, betapapun rusaknya kondisi negara tersebut.
Gagasan tentang negara dan manusia ideal perspektif Ibn Bajjah hanya dapat dilakukan dalam kondisi negara utama, di mana masyarakat sudah tidak membutuhkan dokter karena mereka sudah bisa menjaga kesehatan sendiri dan mengkonsumsi makanan sehat dan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Di samping itu juga tidak membutuhkan seorang penegak hukum, seperti polisi dan hakim, karena di negara masyarakat telah menyadari akan tanggung jawab dan peranannya masing-masing.
***
Lebih lengkapnya ciri-ciri seorang mutawahhid, meliputi upaya untuk selalu menjaga kesehatan, selalu mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan tubuh, sederhana dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, bergaul dengan orang-orang yang berilmu dan menjauhi orang-orang yang mementingkan urusan duniawi, memprioritaskan ilmu-ilmu teoritis dan meninggalkan ilmu-ilmu praktis karena kurang relevan dengan tujuan hidup, menerapkan tindakan baik atas kemauan sendiri dengan pertimbangan rasional, serta menjauhkan diri dari sikap mengasingkan diri dari masyarakat (zuhud).
Konsep dan ciri negara ideal bertentangan dengan apa yang disebut Ibn Bajjah sebagai bentuk negara yang rusak. Negara ini memiliki karakteristik bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakatnya tidak didasarkan dengan pemahaman yang baik, bersifat terpaksa, irrasional, dan berorientasi pada dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup, kesenangan, dan kejayaan semata.
Relevansinya di Era Globalisasi
Beranjak dari konsep tersebut, terdapat beberapa gagasan Ibn Bajjah yang secara prinsipil dapat dijadikan landasan kuat untuk menghadapi persoalan di masa kini, sebagaimana tentang globalisasi yang telah diuraikan sebelumnya. Terdapat beberapa poin penafsiran tentang relevansi gagasan Ibn Bajjah terhadap persoalan-persoalan aktual masa kini.
Pertama, konsep al-Mutawahhid menekankan pentingnya mengendalikan diri sendiri dan tidak terbawa arus dari keburukan masyarakat. Dalam konteks globalisasi, di mana informasi dan pengaruh dari berbagai budaya mudah tersebar, sangat penting bagi kita untuk tetap mempertahankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang benar. Prinsip ini menekankan kemampuan untuk melakukan pertimbangan rasional dalam mengikuti tren budaya yang berdampak negatif.
Kedua, upaya untuk menjaga kesehatan dan mengonsumsi makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh tetap relevan di era modern. Meskipun tidak sepenuhnya memungkinkan untuk mencapai kondisi di mana masyarakat tidak membutuhkan dokter, namun kesadaran akan pentingnya gaya hidup sehat dan pola makan yang tepat tetaplah relevan. Dengan menjaga kesehatan secara individual, kita dapat berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang lebih sehat dan positif.
Ketiga, prinsip sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup dapat diterapkan dalam konteks konsumsi berlebihan dan gaya hidup yang konsumeristik di era globalisasi. Dengan mempraktikkan kesederhanaan, kita dapat mengurangi dampak negatif dari konsumerisme berlebihan dan memfokuskan energi pada hal-hal yang lebih berarti, baik secara individual maupun sosial.
Keempat, pentingnya bergaul dengan orang-orang yang berilmu menjadi relevan dalam menghadapi informasi yang sangat beragam dan kadang-kadang bertentangan di era digital ini. Dengan berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas, kita dapat memperluas pemahaman mereka dan membuat keputusan yang lebih baik dalam menghadapi tantangan kompleks.
Penutup
Betapapun tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan-gagasan seperti ini tidak dibutuhkannya dokter dan kalangan penegak hukum, sangat sulit untuk diaplikasikan di era sekarang. Mengingat dokter sebagai penghubung ilmu pengetahuan dan kebutuhan kesehatan masyarakat menjadi hal yang sangat penting. Di sisi lain, peran penegak hukum seperti polisi dan hakim juga patut untuk dipertimbangkan, karena kasus-kasus kriminalitas dan sejenisnya merupakan realita aktual masa kini yang tidak terelakkan.
Dengan demikian, prinsip-prinsip pemikiran Ibn Bajjah memiliki beberapa relevansi di masa kini, terutama untuk mempertimbangkan dampak dari tren-tren budaya baru dengan nilai-nilai yang ada secara rasional. Melalui pengendalian diri, kita tidak dapat dengan mudah tenggelam dalam arus yang mengarah pada hal-hal negatif.
Editor: Soleh