Feature

Konsep an-Nadzofatu minal Iman di tengah Pandemi Corona

3 Mins read

Saat ini dunia tengah diguncangkan oleh virus Corona. Laju penyebarannya yang cepat membuat manusia pongah dan kocar-kacir mengantisipasinya. Bermacam-macam kebijakan diterapkan demi satu tujuan: menyelapkannya.

Sayangnya, alih-alih lenyap, virus ini justru kian merajalela. Sudah berjuta-juta orang di seluruh dunia telah terinfeksi oleh virus ini. Jumlah maut yang melayang akibat virus ini pun begitu banyak. Yang paling menakutkan ialah penuturan dari WHO bahwa virus ini kemungkinan tak akan hilang dari bumi ini.

Virus Corona yang juga dikenal dengan nama Covid-19 ini muncul pertama kali di Wuhan. Kehadirannya ditengarai ditularkan oleh burung, hewan laut, kelelawar hingga trenggiling setelah dimangsa manusia atau digigitnya lantaran mendekat ke habitat mereka. Namun, virus ini tidak tiba-tiba saja muncul bagai petir di siang bolong. Tentulah ada sebab yang mengiringinya. Oleh sebab itu, ada baiknya kita menelusuri genealogi kemuculan virus ini.

Asal-usul Virus Corona

Setali tiga uang dengan makhluk hidup pada umumnya, virus ini beradaptasi melalui mutasi gen atas perubahan suhu semesta ini, sebagaimana teori Charles Darwin hingga Theodosius Dobzhansky. Namun, hutan dan hewan yang menjadi inangnya telah hilang akibat tindakan eksploitatif manusia. Akhirnya, ia terpaksa mencari inang baru. Karena manusia adalah mamalia yang paling dekat, ia masuk ke tubuh manusia.

Berdasarkan catatan satelit NASA, suhu bumi memang naik 0,8 derajat celcius. Bertambahnya konsentrasi karbondioksida di atmosfer dari rata-rata 280 part per million yang bertahan selama 800.000 tahun menjadi 400 ppm pada 2018 adalah penyebabnya. Kondisi inilah yang mengakibatkan bumi mengalami Global Warning (Pemanasan Global).

Tentu saja, pemanasan global terjadi akibat tindakan destruktif manusia seperti, eksploitasi terhadap sumber daya alam, deforestasi hutan, produksi polusi dan plastik yang tiada henti dan lain-lain. Sehingga, sebagaimana pepatah menyebut “bak apa yang dituai maka itulah yang ditanam”, hadirnya virus ini adalah hasil dari tindakan manusia itu sendiri.

Baca Juga  Pilpres 2019, Umat Islam sebagai Penentu?

Ditegaskan oleh Allah Swt di dalam QS. ar-Rum ayat 41 yang artinya:
Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Dalam konteks ini, kata mutiara an-Nadzofatu Minal Iman (Menjaga Kebersihan Sebagian Dari Iman) kembali relevan untuk diperbincangkan. Perlu diingat bahwa kata mutiara ini harus dimaknai lebih luas lagi, karena pemanasan global merupakan persoalan yang makro. Jadi, tidak melulu dimaknai rutin mencuci tangan dengan sabun atau Disinfektan belaka. Maka dari itu, meletakkan kata mutiara ini dalam konsep ekoteologi islam merupakan hal yang tepat.

Ekoteologi Islam

Di dalam karyanyanya yang berjudul Agama Ramah Lingkungan: Perspektif Islam, DR. Mujiyono Abdillah, MA menjelaskan bahwa dalam khazanaah teologi islam belum mengenal adanya teologi pemanasan global, baik teolog islam klasik, menengah maupun modern. Hal ini disebabkan karena pemanasan global merupakan fenomena ekologis kotemporer modern.

Namun, bahaya akibat pemanasan global yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya mendesak berbagai agamawan berusaha cukup serius mengatisipasinya dengan melakukan berbagai pendekatan. Menurut Mujiyono, salah satu pendekatan yang perlu dilakukan adalah pendekatan ekoteologi islam.

Dalam ekoteologi islam ada tiga fondasi dasar teologis bahwa esensi orang yang beriman adalah orang yang percaya pada tiga hal: Pertama, Bumi adalah tempat hidup ideal. Dalam teologi islam ada keyakinan yang familiar bahwa bumi adalah salah satu planet yang layak dan ideal bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah QS. ar-Rahman: 10, QS. al-A’raf: 24 dan QS. al-A’raf:74. Secara implisit, ayat tersebut merupakan sebuah perintah bahwa kita harus menjaga bumi agar tetap ideal.

Baca Juga  Cerita Mudik Lebaran 2024 (2): Dahsyatnya Mudik Hari Raya Rute Jakarta-Palembang

Kedua, Langit Pelindung Kehidupan. Keyakinan bahwa langit diciptakan sebagai pelindung bagi kehidupan terdapat dalam QS. al-Baqarah: 22 dan Q.S al-Anbiya’: 32. Secara teologis, ayat itu mengungkapkan bahwa langit merupakan pelindung bagi kehidupan. Jika dibantu dengan pendekatan meteorologis, maka langit yang dimaksud sebagai pelindung bagi kehidupan adalah lapisan atmosfer. Oleh sebab itu, agar lapisan atmosfer tetap bekerja secara optimum, kita harus menjaga konstansi dan keseimbangan suhu panas alami bumi.

Ketiga, Pemanasan global bersifat antropogenik. Maksudnya, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa pemanasan global terjadi akibat tindakan manusia itu sendiri. Ayat-ayat yang dijadikan pijakan bagi teologi ini berpaut dengan ayat-ayat tentang kiamat seperti, QS. al-Infithar: 3 dan at-Thur: 6, karena para telog belum pernah merumuskannya secara lugas. Dalam ayat-ayat tersebut sebenarnya tersirat sebuah tugas dari Allah SWT bagi manusia untuk menjaga keseimbangan dan konstansi suhu bumi.

Pada titik inilah kita mengetahui bahwa arti meletakkan kata mutiara An-nadzofatu Minal Iman dalam konsep ekoteologi islam ialah jika kita ingin disebut makhluk yang beriman, maka kita harus menjaga kebersihan bumi ini dari segala bentuk tindakan kotor dan destruktif manusia terhadapnya. Lebih dari itu, kita harus melakukannya supaya tak lagi muncul bencana alam dan virus-virus baru selain corona.

Editor: Dhima Wahyu Sejati

3 posts

About author
Status: Santri Misykat al-Anwar Bogor Kajian: Studi Islam dan Ekonomi Politik
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds