Dalam pernikahan persoalan rumah tangga itu mudah-mudah sulit, antara suami dan istri, mungkin terdapat banyak lika-liku kehidupan. Dari semua itu Islam telah mengajarkan bagaimana kita dapat seimbang dan kokoh dalam berumah tangga. Islam memandang pernikahan sebagai mitsaqon gholidzhon, yaitu sebuah perjanjian yang kokoh, terdapat dalam Q.S. An-Nisa : 21
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat
Konsep Kufu’ dalam Pernikahan
Setiap pernikahan antara laki-laki memiliki konsekuensi yang sangat besar. Oleh sebab itu, sepasang suami-istri harus mempunyai pondasi yang sangat kuat agar kehidupan keluarga berlangsung sampai akhir hayat. Maka dari itu, keseimbangan antara suami dan istri akan lebih menjamin keharmonisan rumah tangga dan kesuksesan hidup serta dapat menghindarkan diri dari keretakan dan kehancuran keluarga.
Jika membahas tentang keseimbangan atau kesetaraan antara suami dan istri itu lebih dikenal dengan kata kafaah atau konsep kufu dalam pernikahan menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan kesetaraan dan/atau keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.
Jadi tekanan dalam hal kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan, dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Dan sedangkan manusia di sisi Allah semuanya sama yang menjadi pembeda hanyalah ketakwaannya saja.
Dalam buku yang berjudul Daras Fikih II, dengan penulis Sabri Samin dan Andi Nurmaya mengemukakan pengertian Kafa’ah artinya serupa, seimbang, atau serasi. Maksudnya, konsep kufu’ dalam pernikahan adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan calon suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan Ala ad-Din (1993 : 154).
Lima Kriteria Konsep Kufu’ dalam Pernikahan
Kafaah dalam perkawinan yang menjadi perhatian terhadap para wali sebelum menikahkan putri-putri mereka, menurut mazhab Hanafiyah adalah menyangkut 5 (lima) kriteria yakni keturunan, keagamaan, kemerdekaan, kekayaan, dan pekerjaan atau mata pencaharian, uraiannya sebagai berikut :
Keseimbangan atau konsep kufu’ dalam pernikahan perlu dipertahankan. Pada prinsip kafaah dalam hal nasab/keturunan menurut mazhab Hanafiyah laki-laki bukan Arab tidak sekufu’ dengan perempuan Arab kecuali bila laki-laki yang bukan Arab tersebut merupakan seseorang yang memiliki kemampuan intelektual, maka dianggap kufu’ dengan perempuan Arab yang bodoh. Bahkan, dianggap kufu’ dengan perempuan syarifah keturunan Quraisy yang bodoh.
Hal sedemikian tersebut dianggap kufu’ karena kemuliaan ilmu pengetahuan melebihi mulianya keturunan dan kedudukan laki-laki,Arab tetapi bukan golongan Quraisy tidak se-kufu’ dengan perempuan Quraisy. Karena masalah keturunan adalah peranan penting dalam suatu perkawinan, sebagai kemuliaan, kebanggan, dan untuk mempertahankan derajad keluarga tersebut.
Menurut Sayyid Usman bin Yahya dalam kitabnya al-Qawanin asy-Syar’iyyah bahwa Beliau menetang atau mengharamkan seorang Syarifah menikah dengan non-Sayyid dan jika pernikahan itu terjadi maka dihukumi tidak sah atau batal. Karena seorang yang bergelar Sayyid dan Syarifah adalah keturunan Rasulullah SAW.
Untuk itu di kalangan mereka harus dengan tradisi dengan perkawinan secara turun temurun dengan tujuan menjagadan memelihara kemuliaan nasab Rasulullah SAW. Tetapi jika sebaliknya, seorang Sayyid menikah dengan non-Syarifah tidak akan mengakibatkan putusnya nasab Rasulullah SAW. Karena perkawinan sekufu’ tidak diwajibkan untuk seorang Sayyid.
Kriteria Keagamaan
Untuk masalah keagamaan, harus setara di samping sama-sama agama Islam, juga kedua pasangan suami-istri tersebut memiliki sifat takwa, kebaikan, dan budi pekerti yang baik. Karena secara rasional pun, hal yang bukan rahasia lagi jika seseorang mencari pendamping hidup yang baik akhlak dan sikapnya.
Tidak seorang pun jika mencari pendamping hidup tidak memperhatikan hal itu termasuk keagamaan. Dan Allah swt telah menyiapkan pada setiap manusia pasangan masing-masing yang sesuai, jika dia baik maka seseorang yang baik akan menjadi pendampingnya, dan juga sebaliknya. Allah swt. berfirman dalam Q.S. An-Nur/ 24: 26
ٱلْخَبِيثَٰتُ لِلْخَبِيثِينَ وَٱلْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَٰتِ ۖ وَٱلطَّيِّبَٰتُ لِلطَّيِّبِينَ وَٱلطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَٰتِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”
Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa kita mempunyai hak dalam memilih pasangan hidup, masing-masing antara laki-laki atau perempuan. Jika mungkin Allah mengisyaratkan hak memilih hanya milik laki-laki saja niscaya Allah swt.
Mencukupkan pada kalimat yang pertama saja, dari dua kalimat dalam ayat di atas tanpa harus menyusulkan kalimat yang kedua. Karena kalimat-kalimat yang ada dalam al-Qur’an bukanlah semata kabar yang tidak mengandung arahan dan petunjuk. Faktor agama memiliki kebanggaan dan kemuliaan yang paling tinggi dibanding kafa’ah yang lain.
Seorang wanita akan lebih terhina bila dikawini oleh seorang laki-laki fasik, apalagi dalam ketiadaan keagamaan, pasti akan semakin menjerumuskan atau menghinakan seorang wanita. Demikian faktor keagamaan, sama-sama beragama Islam menjadi perhatian yang sangat penting, karena dengan kufu’ dalam keagamaan, tidak akan menimbulkan anarkhi bagi keluarga dan masyarakat.
Kemerdekaan, Kekayaan, dan Pekerjaan
Kemerdekaan pada zaman Jahiliyyah sangatlah penting, kemerdekaan sebagai salah satu ukuran konsep kufu’ dalam pernikahan, misal jika seorang budak lali-laki menikah dengan wanita merdeka, itu tidak setara dan akan dianggap tercela bahkan lebih tercela dari pada ketidak seimbangan atau ketidak serasian merka dalam masalah nasab.
Kamal al-Din (Syarh Fayh al-Qadir : 299) Kekayaan menjadi ukuran kafa’ah dalam perkawinan adalah hendaknya laki-laki yang akan menikah harus memiliki mahar dan nafkah. Bagi seseorang yang tidak memiliki harta untuk membayar mahar dan nafkah atau salah satu diantaranya, maka dianggap tidak kufu’. Hal itu karena mahar sebagai gantinya persetubuhan. Dengan demikian harus dipenuhinya. Sedangkan nafkah sebagai penyangga keberlangsungan kehidupan rumah tangga.
Masalah pekerjaan atau mata pencaharian antara sepasang suami-istri menurut mazhab Hanafiyah harus setara/sekufu’. Karena, jika seorang wanita dengan pekerjaan terhormat dikawinkan dengan laki-laki dnegan pekerjaan buruh kasar, orang-orang akan menganggapnya sebagai kekurangan.
Dalam konteks saat ini kufu’ dalam pekerjaan itu, kalau pedagang kawin dengan pedagang, buruh dengan buruh, pegawai dengan pegawai, pengusaha dengan pengusaha dan lain sebagainya. Dengan demikian sepasang suami-istri mempunyai pekerjaan yang seimbang tanpa ada unsur banding-bandingan dengan penghasilan yang lebih banyak diantara salah satu pihak.
Editor: Nabhan