Nama Ashgar Ali Engineer tentunya sudah tidak asing lagi di telinga para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pergerakan Islam seperti HMI, KAMMI, IMM dan PMII. Ashgar memang dikenal sebagai seorang penulis, reformis, sekaligus aktivis sosial di India. Ia terkenal dengan konsentrasi dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan egaliter juga pandangan tentang konsep kafir dalam Islam.
Ashgar Ali pun diakui sebagai sarjana Muslim terkemuka di Dunia setelah mengeluarkan karyanya yang tak kalah pelik dengan keadaan India pada saat itu. Tentang kekerasan komunal dan komunalisme di India sejak munculnya konflik besar di Jabalpur, India, pada tahun 1961.
Prinsip Teologi Pembebasan
Penulis sendiri awal mengenal Ashgar Ali Engineer ketika membaca bukunya yang berjudul “Islam & Teologi Pembebasan”. Gagasan terkait dengan teologi pembebasan yang ditawarkan oleh beliau memang menarik disamping hal itu juga baru penulis dengar selama menyelami ajaran agama Islam.
Perihal manusia dalam beragama tentunya akan mempelajari teologi–dalam Islam dikenal dengan akidah- dalam agamanya. Hal ini bertujuan untuk memperkokoh pendirian setiap insan agar senantiasa merasakan manisnya iman dan tidak mudah dipengaruhi oleh doktrin peradaban yang senantiasa berubah.
Jarang kita sadari, sebenarnya perdebatan teologi itu sudah ada sejak Nabi Muhammad saw. wafat. Lalu puncak dari perdebatan itu terjadi di masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu dengan munculnya berbagai aliran teologi dalam Islam, seperti Khawarij dan Syi’ah. Setelahnya disusul dengan munculnya aliran Muktazilah, Khawarij, Asy’ariyah, dan Murjiah.
Gagasan teologi pembebasan yang diusung oleh penulis kelahiran India tersebut sangat menintikberatkan terhadap aspek praksis dibandingkan dengan teoritisasi-metafisis yang mengandung hal-hal yang abstrak dan ambigu, muaranya hanya sekedar wacana. Praksis dalam artian umum adalah pengaplikasian dalam aspek kehidupan. Namun praksis di sini mempunyai makna yang mendalam, yaitu bersifat liberatif (membebaskan) dan menyangkut interaksi dialektis antara “apa yang ada” dan “apa yang seharusnya”.
Menurutnya Islam datang untuk memberdayakan masyarakat yang tertindas juga untuk merubah status quo yang merugikan suatu kelompok. Singkatnya, seseorang belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim walupun dia melaksanakan ibadah ritual jika dia masih menindas dan mengeksploitasi hal lainnya. Menurut Misbachol Munir, setidaknya terdapat lima aspek dalam teologi pembebasan Ashgar Ali Engineer: kemerdekaan, persamaan, keadilan sosial, kerakyatan dan tauhid.
Kafir dan Miskin
Ia memiliki pandangan tersebut berdasar pada hadis Nabi saw. yang mana Nabi saw. menyamakan kemiskinan dengan kufur. Sehingga, kewajiban untuk menghapuskan kemiskinan sama halnya dengan menghapuskan kekufuran dan menurutnya adalah sebagai syarat untuk bisa dikatakan sebagai masyarakat Islam. Maka dipastikan proyek teologi pembebasan Asghar adalah untuk membebaskan kaum tertindas dari sekelompok penindas yang keji dan zalim.
Jihad yang utama dalam Islam menurutnya adalah melindungi kaum tertindas dan lemah untuk bertahan dari bahaya musuh. Manusia beragama yang sesungguhnya adalah mereka yang tidak hanya mampu membaca realitas. Melainkan bisa juga menumpas struktur sosial yang tidak adil, kemudian mengerahkan dirinya untuk menciptakan keadilan, kedamaian, pembebasan konflik dan serta menghilangkan sekelompok orang yang acapkali menimbun kekayaan yang berdampak pada kemeralatan masyarakat lain.
Secara tegas Allah SWT telah memperingati dalam Al-Qur’an kepada saudgar-saudagar kaya yang seringkali menimbun harta mereka untuk kepentingan pribadi, serta diiringi oleh dorongan nafsu untuk memiliki segala hal yang ada di Dunia yang berujung pada penindasan. Allah menyebutkan golongan orang yang suka menimbun harta disamakan dengan orang yang menyalakan api di hatinya sehingga membakar dirinya sendiri. Allah berfirman dalam surat Al-Humazah [104]: 6-8:
Artinya: “(yaitu) api (azab) Allah yang dinyalakan (6), yang (membakar) sampai ke hati (7), sungguh, api itu ditutup rapat atas (diri) mereka (8)”.
Anjuran Mengurus Dunia
Namun penumpukan harta disini jangan sampai diartikan bahwa Islam mengajarkan masyarakat agar menegasikan urusan dunia. Islam justru sangat menganjurkan bahkan dihukumkan wajib untuk mencari nafkah. Karena nafkah menjadi alat untuk penghidupan dan merasakan rezeki yang diberikan Allah SWT.
Bahkan Islam juga menganjurkan kita untuk kaya harta yang dimaksudkan untuk memberikan manfaat kepada yang membutuhkan, bukan menimbun untuk hasrat pribadi. Janganlah bercita-cita berpenghasilan 500 juta, tetapi bercita-citalah agar punya zakat 500 juta.
Penimbunan masker yang dilakukan segelintir orang ditengah adanya wabah Covid-19, merupakan perbuatan yang sadar atau tidak disadari, tindakan tersebut dapat memunculkan adanya nilai-nilai penindasan terhadap orang banyak. Bayangkan saja, harga masker N 95 yang semula seharga Rp. 20.000 per buah. Kini melonak drastis menjadi Rp. 3.000.000 per 10 buah (hukumonline.com).
Tentu dengan adanya sikap egois dari masyarakat seperti ini dapat merusak keseimbangan ekonomi nasional. Tepat pada 29 Maret 2020, Harian Jogja–media massa jogja- memberitakan dengan headline “ODP Corona Sudah Tembus 464, Kecamatan Depok Harus Diwaspadai”. Imbauan dari mayoritas pemerintah daerah sudah jelas mengafirmasi bahwa kegiatan keluar kota atau lumrahnya disebut dengan mudik agar tidak dilakukan. Tindakan ini merupakan cara preventif agar virus tidak menyebar.
Dalam kasus Yogyakarta–tempat saya kuliah–kenaikan jumlah ODP sangat membludak karena kedatangan “pemudik” dari Jakarta. Hal ini diperparah dengan kedatangan para pemudik dari Bandara. Pemerintah setempat pun langsung menetapkan pemudik tersebut dengan status ODP.
Belum lagi dengan isu pasar tradisional akan ditutup. Muaranya banyak sekali warga yang khawatir untuk pergi ke pasar. Membanjiri pasar tradisional yang dimaksud untuk membeli atau memborong makanan untuk stok beberapa bulan kedepan. Maka jangan heran bila bercampurnya warga lokal dan pemudik dengan status ODP dalam satu pasar karena “panic buying”.
Konsep Kafir Ashgar Ali
Pada umumnya kita sudah mempelajari ilmu agama Islam dan dipastikan sudah mengetahui arti kafir. Kata ini berarti dia bukan orang yang mengakui Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Tidak pula mengakui Nabi Muhammad sebagai Khatamun-Nabiyin atau penutup para Nabi.
Secara literal kafir itu terdiri dari kata ka, fa, dan ra yang mempunyai arti menutupi. Sehingga muncul penafsiran ungkapan yang dikembalikan kepada makna tersebut. Misalnya yang disebut kafir adalah malam yang menutupi siang, petani yang menutupi benih dengan tanah dan lain sebagainya.
Ibnu Mandzur dalam leksikografinya mengkategorisasikan makna kufr, sebagaimana disebutkan oleh para ahli sebagai berikut: (1) sebagai antonim dari iman; (2) sebagai antonim dari syukur; (3) kufr al-inkar yaitu mengingkari Allah SWT dengan hati dan lisannya; (4) kufr al-juhud yaitu mengingkari Allah dengan lisannya; (5) kufr al-mu’anadat yaitu mengetahui Allah SWT dengan hati dan lisannya, tetapi enggan memeluk agamanya.
Dalam penafsiran Asghar atas konsep kafir Al-Qur’an sangatlah berbeda dari apa yang muslim umumnya pahami. Ia menjelaskan bahwa ketika Al-Qur’an secara tegas mengutuk sebuah penindasan dan ketidakadilan, maka perhatiannya terhadap wujud sosial yang baik dari masyarakat yang egaliter tidak bisa dipungkiri lagi.
Oleh karenanya, menurutnya istilah-istilah Al-Qur’an yang mempunyai konotasi terhadap sosial-ekonomi harus menjadi perhatian penting. Dalam hal ini kata kafir pun masuk di dalamnya sebagai sebuah kutukan.
Kafir dalam penafsirannya adalah bukan saja bentuk ketidakpercayaan religius semata (beriman kepada Allah Swt. dan Muhammad saw. dan lainnya). Tetapi juga secara tidak langsung menyatakan penantangan terhadap masyarakat yang adil dan egaliter serta bebas dari segala bentuk eksploitasi dan penindasan.
Penafsirannya terhadap term kafir ini adalah buah dari keterpengaruhan teologi pembebasan. Bagaimana tidak, ia secara berani menyatakan bahwa, orang kafir itu adalah orang yang tidak percaya kepada Allah Swt. dan Muhammad saw. juga tidak ikut berperan untuk menentang berbagai bentuk eksploitasi, penindasan, dan penjajahan.
Ide ini selaras dengan gagasan teologi Al-Maun yang diajarkan oleh Kiai Ahmad Dahlan kala itu. Yang mana beliau berulang kali mengajarkan surat makna dari surat Al-Maun kepada muridnya hingga terdapat muridnya yang bertanya langsung kepada Ahmad Dahlan, mengapa hanya Al-Maun saja yang diajarkan dari sekian banyak ayat Qur’an yang ada?
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memberdayakan masyarakat yang sedang berada dalam keadaan sulit atau membutuhkan. Mereka juga mempunyai hak untuk hidup nikmat sebagai mana orang yang mempunyai harta banyak.
Kebingungan Pemerintah
Nampaknya dewasa ini pemenuhan kebutuhan hidup untuk masyarakat Indonesia harus terpenuhi dengan baik. Mengingat banyak sekali pekerjaan mereka yang terhentikan akibat adanya wabah Covid-19 yang mengharuskan para pedagang kaki lima, ojol, hingga pegawai kantoran agar melakukan isolasi di rumah masing-masing sebagai upaya penurunan angka positif Covid-19.
Tetapi sekarang sungguh membingungkan arahan Presiden terkait pembatasan sosial secara ketat dan menjadikan darurat sipil sebagai opsi mengatasi penyebaran virus corona. Lebih aneh ketika Presiden tidak mengambil karantina wilayah (lockdown) dan meloncat jauh ke darurat sipil. Kondisi yang abu-abu ini akhirnya menimbulkan aksi sepihak dari berbagai kepala daerah yang kukuh tetap melakukan karantina wilayah.
Mengapa pemerintah tidak mengambil karantina wilayah, malah beralih darurat sipil? Ini sudah terbaca secara jelas, apabila pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan Kesehatan tahun 2018 artinya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama karantina wilayah diberlakukan.
Sesuai amanat pasal 55, “Selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat’”. Manusia yang berada dalam wilayah karantina, sekaligus kambing, ayam, dan sapi kebutuhannya wajib dipasok Pemerintah Pusat, bukan oleh Pemerintah Daerah.
Sementara itu berbeda dari karantina wilayah, dalam darurat sipil kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok itu tidak ada. Darurat sipil lebih bicara pada persoalan pembatasan hak-hak sipil ketika terjadi kondisi darurat semacam perang dan situasi yang mengancam negara.
Jadi dalam perspektif ekonomi, darurat sipil jelas lebih buruk dari karantina wilayah karena kehadiran negara sama sekali berbeda di dua kebijakan yang kontras itu. Pemerintah seakan menghindari tanggung jawab pemenuhan kebutuhan pokok. Apakah sekarang kita bisa menyimpulkan siapa yang dimaksud oleh konsep kafir menurut Ashgar Ali Engineer?
Editor: Nabhan