Sebelum membahas mengenai kebebasan sufistik versi Paterpan sesuai dengan judul tulisan ini, perlu rasanya untuk menghadirkan konsep kemerdekaan dan polemik disekitarnya. Kemerdekaan, kebebasan, dan terma sejenis memiliki kesamaan pengertian. Tak lain adalah terlepasnya sesuatu dari kekangan di luar dirinya, tidak terikat, terjajah, dan terbelenggu.
Dalam konteks negara, ia lepas dari intervensi, atau jajahan negara lain baik secara militer, ideologi, politik, maupun secara ekonomi. Pada konteks yang selama ini di sematkan pada HAM, manusia adalah unit terkecil dari kebebasan. Setiap manusia bebas menentukan apapun keinginannya tanpa ada intervensi dari pihak di luar dirinya, baik berupa manusia lain melalui relasi kuasa, negara, bahkan agama.– Sabar, jangan keburu kebakaran jenggot.
Kebebasan Sufistik
Hak individu ini yang sekarang sedang menjadi perhatian banyak orang. Karena era kolonialisme sudah ketinggalan jaman. Manusia lebih penting dilindungi hak-haknya karena suatu negara merupakan himpunan dari manusia-manusia yang menempati suatu wilayah. Manusia harus bisa bebas mau ngapain aja selama tidak merugikan manusia lain. Baik materi maupun nonmateri. Meski pada akhirnya tetap saja yang menjadi standar adalah materi.
Manusia bebas untuk berpikir, mencari makan dengan cara apapun. Kebebasan berpendapat, berekspresi, dan lain sebagainya. Sampai pada suatu titik dimana muncul pertentangan di mana ini menyenggol tatanan-tatanan moral yang sudah mapan. Misalnya, kebebasan orientasi seksual, free sex, atau kebebasan jumlah pasangan (re: poligami), dan sebagainya lah. Bahkan muncul pertanyaan tentang kebebasan bunuh diri.
Banyak negara-negara yang katanya open-minded mengakomodasi kebebasan setiap individu ini. Mereka sudah bisa melegalkan pernikahan sejenis, membuat regulasi pemakaian ganja, alkohol dan obat sakit kepala lainnya yang tak lazim. Bahkan sampai urusan bunuh diri tadi. Salah satunya Belanda yang mulai melegalkan Euthanasia.
Tapi, tidak seru kalau tidak ada polemik dalam suatu perkara yang baru. Banyak kalangan yang katanya tidak open-mided menentang kebebasan tanpa batas seperti ini. Dikarenakan bertentangan dengan moral yang diajarkan di mata pelajaran agama- yang cuma dua jam dalam seminggu.
Perang Ideologi
Penolakan tidak hanya dalam ruang akademik kampus-kampus, atau ruang sosial media. Bahkan sampai turun ke jalan dan melakukan sweeping ke diskotik-diskotik tempat sobat-sobat open-minded lagi asyik teler, terutama saat bulan-bulan yang dianggap suci.
“Orang lagi enak-enak mabok kok malah dikasih kultum, mbahmu. Apa ruginya bagimu coba, wong saya mabok di tempat tertutup, gak nyentuh wudelmu kok,” entah kata siapa, tapi masih dalam keadaan teler.
“Lha kalo di-azab bukan cuma kamu yang kena. Aku juga bisa kena. Mending tak bawain azab ke kamu sekarang,” jawab seseorang dari mobil pick-up sambil mengayunkan tongkat pramuka dengan bendera yang menjuntai.
Di medsos pun tak kalah seru pisuhannya. Bahkan konten kreator meme berlomba saling menggoblok-nggoblokkan lawan ‘ideologinya’. Perang dengan tread kalo di Twitter, kalo di Instagram mikro-blog, biar terkesan lebih literasi gitu. Tapi itu semua berakar dari memaknai kemerdekaan atau kebebasan tadi. Pertanyaannya kan ‘apakah agama itu bertentangan dengan hak asasi manusia yang mengakomodir kebebasan setiap individu’?
Yang Terdalamnya Peterpan
Ariel sejak jaman sebelum Peterpan bubar sudah menitipkan pesan melalui lagunya yang berjudul ‘Yang Terdalam’ mencoba menjawab polemik di atas dengan sangat mengandung unsur kebebasan sufistik. Berikut liriknya:
Kulepas semua yang ku inginkan
Tak akan kuulangi
Maafkan jika kau kusayangi
dan bila ku menanti
Pernahkah engkau coba mengerti
lihatlah ku di sini
Mungkinkah jika aku bermimpi
Salahkah tuk menanti
Reff:
Takkan lelah aku menanti
Takkan hilang cintaku ini
hingga saat kau tak kembali
Kan ku kenang di hati saja
Kau telah tinggalkan hati yang terdalam
Hingga tiada cinta yang tersisa di jiwa
Yang Terdalam, Peterpan
Kalau kamu pikir itu lagu untuk orang yang ditinggal pas sayang-sayange berarti kamu belum open-minded untuk memahaminya sampai ke yang terdalam. Padahal lagu yang enak di kupung dan bisa dibawakan dengan kunci dasar buat belajar ini mempunyai kedalaman yang terdalam dalam menggambarkan konsep kebebasan.
Dari judulnya saja Ariel sudah memilih kata yang tepat untuk menggambarkan kebebasan. Kebebasan apa? Kemerdekaan negara? Otonomi daerah? Atau kebebasan individu? Jawabnya: Bukan, melainkan kebebasan yang terdalam.
Penulis khusnudzon Ariel selaku pencipta lagu ini sudah tamat membaca ‘Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali. Maupun kitab-kitab lain yang membahas tentang unsur dalam nafs (jiwa) manusia. Bahwa dalam diri manusia ada nafs hayawaniyah (nafsu kebinatangan) yang biasa kita sejajarkan dengan nafsu. Serta nafs natiqoh/insaniyah (jiwa kemanusiaan) yang biasa kita sejajarkan dengan akal.
Yang Tidak Disadari
Di bait awal lagu ini, Ariel mencoba melepaskan semua yang ia inginkan dalam bentuk nafsu yang mendominasi dirinya, dan ia mencoba untuk tidak membawanya kembali. Ia juga bertaubat (meminta maaf) telah menyayangi engkau (nafsu) dan membuatnya terus menantikan terpuaskannya hawa nafsu tersebut.
Pada bait selanjutnya, muncul gejolak batin antara akal dan nafsunya. Nafsunya tidak pernah mengerti kondisi tubuh ini yang mencoba menundukkannya. Ia mencoba membebaskan dirinya dari kekangan hawa nafsu. Ia memimpikan suatu saat dapat menundukkan hawa nafsu dan mencapai kebebasan yang hakiki. Dan itu adalah hal yang perlu diimpikan kerena tidak mudah. Ia adalah perjuangan dan penantian yang penuh kesabaran.
Sampai reff, penantian akan kebebasan dari belenggu hawa nafsu yang tiada habisnya tadi yang coba dihapus tidak kunjung hilang. Ariel menggambarkan nafsu tadi dengan cinta, cinta dunia yang semu dan tak akan hilang dari jiwa manusia, karena ia memang fitrah. Tapi, ada saatnya nafsu itu seakan tak kembali, ia masih dikenang dalam hati namun akal yang merdeka dapat menjadi pedoman dalam hidup manusia
Puncaknya, nafsu tadi sudah mampu tinggalkan hati yang terdalam. Hingga tiada cinta (dunia) yang tersisa di jiwa. Ini adalah gambaran paling paripurna dari kebebasan akal dari jiwa manusia. Setiap langkahnya dituntun oleh akal sampai pada ma’rifat dan tidak perlu lagi memenuhi keinginan nafsu yang sudah dilepaskan dari jiwa.
Ariel memang jenius dalam menegemas lagu yang mendalam seperti ini tapi tetap popular di kalangan masyarakat. Ia menerapkan pronsip cover both side. Bagi yang ingin menikmati musik dan iramanya lagu ini bisa memanjakannya, kalau ingin mendalami liriknya, ia akan menemukan khazanah keilmuan di sana. Terurama soal kebebasan sufistik.
Kalau selama ini kalian nyinyirin Ariel cuma bisa nyanyi lagu menye-menye aja, saya katakan: kalian salah besar. Lha rumangsa Anda, lagu ‘Buka Dulu Topengmu’ itu mencoba megkritik pemerintah yang mencoba menekan pekerja dengan RUU Cipta Lapangan Kerja loh.
Editor: Sri/Nabhan