Bagi sebagian masyarakat, nama Erich Fromm tentulah asing di telinga. Akan tetapi, bagi orang yang belajar ilmu sosiologi, filsafat, dan psikologi, nama Erich Fromm tentulah pasti akrab di telinga. Dia adalah penulis buku Perihal Ketidakpatuhan.
Erich Fromm atau akrab dipanggil Fromm, dilahirkan di Jerman, lebih tepatnya di daerah Frankfurt. Beliau dikenal sebagai bapak psikoanalisis sosial. Selain itu, Fromm juga dikenal sebagai tokoh dari Mazhab Frankfurt, sebuah mazhab yang memprakarsai lahirnya teori kritis. Fromm sendiri tertarik dengan pemikiran dari Sigmund Freud. Ia juga mencoba untuk mengkritisi pemikiran dari Sigmund Freud.
Dalam kehidupannya, Fromm aktif menuangkan pemikirannya dalam tulisan. Sehingga, banyak sekali buku yang sudah dihasilkan olehnya. Buku yang ditulis oleh Fromm, banyak yang diterjemahkan ke bahasa indonesia. Bisa dilihat sendiri jumlah buku Fromm yang diterjemahkan ke bahasa indonesia, yakni: Seni Mencintai, Revolusi Harapan, Lari dari Kebebasan, Mempunyai atau mengada, Seni Mengada, dan masih banyak yang lainnya.
Di antara banyaknya buku Fromm yang diterjemahkan ke bahasa indonesia, saya tertarik dengan salah satu judul miliknya dalam buku Perihal Ketidakpatuhan. Buku tersebut diterjemahkan oleh M. Isran. Ada dua alasan yang membuat saya tertarik untuk membelinya. Pertama, buku tersebut merupakan keluaran terbaru, yang diterbitkan pada bulan Juni 2020.
Kedua, timbul rasa penasaran dalam diri saya ketika membaca judul bukunya, karena saya sempat bertanya-tanya, mengapa buku tersebut membahas tentang ketidakpatuhan? Padahal jika dilihat dari aspek norma sosial, ketidakpatuhan merupakan tindakan yang dianggap negatif oleh banyak orang. Sebab, seseorang yang dianggap tidak patuh, akan dianggap sebagai orang yang pembangkang.
Manusia Modern dalam Buku Perihal Ketidakpatuhan
Namun, setelah saya membaca bukunya pada bab pertama, saya menjadi paham bahwa manusia modern sudah terjebak pada pengetahuan yang keliru perihal ketidakpatuhan. Kekeliruan itu disebabkan oleh penguasa dahulu yang memberangus pemikiran masyarakat, dengan cara menghukum rakyatnya yang tidak patuh terhadap perintahnya. Sehingga dengan adanya pemberian hukuman, akan membawa kesan jika ketidakpatuhan adalah sikap buruk.
Selain itu, Fromm juga melihat alasan masyarakat menolak ketidakpatuhan disebabkan oleh keinginannya untuk tetap berada di zona aman. Masyarakat merasa dirinya terlindungi, selama tidak menentang kebijakan yang sudah dibuat oleh penguasa, sekalipun kebijakannya merugikan.
Kendati demikian, Fromm menilai bahwa ketidakpatuhan tidak selamanya dianggap baik, karena ada saatnya ketidakpatuhan juga membawa pada kekacauan. Oleh sebab itu, Fromm juga menyadari bahwa kepatuhan juga harus ada dalam diri seseorang. Tetapi, sikap patuh seperti apa yang harus dimiliki oleh manusia?
Jenis Kepatuhan dalam Buku Perihal Ketidakpatuhan
Pertanyaan semacam itu dijawab oleh Fromm dengan membedakan kepatuhan menjadi dua bentuk, yakni kepatuhan heteronom dan kepatuhan otonom. Fromm mendefinisikan kepatuhan heteronom, sebagai kepatuhan yang terjadi ketika seseorang melepaskan otonomi dirinya kepada orang lain. Dampak dari pelepasan otonomi diri kepada orang lain, akan membuat seseorang menjadi takut untuk berkata “tidak”, pada apa yang tidak diinginkannya.
Berbeda dengan kepatuhan otonom, yang diartikan sebagai kepatuhan yang berlandaskan pada akal budi dan kesadaran. Dengan begitu, seseorang bukan hanya menjadi patuh karena dihantui oleh rasa takut. Melainkan didasari oleh penegasan diri, bahwa apa yang dianggap buruk akan ditentangnya dan yang bersifat baik akan dijalankannya.
Di sisi lain, saya sempat resah ketika mencoba untuk memahami lebih dalam mengenai bentuk kepatuhan otonom. Soalnya, saya sempat berpikir bahwa kepatuhan otonom akan menciptakan manusia yang nirguna. Keputusannya dibentuk oleh kesadaran yang ada di dalam dirinya sendiri. Jika kesadarannya tidak merugikan orang lain, tidak akan menjadi masalah. Lalu, bagaimana jika kesadarannya dapat membuat kerugian bagi orang lain?
Akan tetapi, Fromm sepertinya sudah memprediksi bahwa pembacanya akan menjadi resah, ketika berusaha memahami tentang bentuk kepatuhan otonom. Maka, Fromm menjelaskan bahwa kesadaran yang harus ada dalam diri seseorang adalah kesadaran humanistik. Karena, kesadaran humanistik lebih didasari pada nilai-nilai kemanusiaan.
***
Pada akhirnya, saya harus memberikan apresiasi pada pemikiran Fromm yang tertuang dalam buku Perihal Ketidakpatuhan. Menurut saya, buku tersebut bisa memberikan pencerahan kepada pembaca, terutama mengenai cara bersikap dalam kehidupan. Ada saatnya kita harus berani untuk berkata “tidak”, pada kebijakan penguasa yang merugikan. Dan, ada saatnya juga kita bersikap patuh dengan didasari pada akal budi dan kesadaran.
Sayangnya, di balik apresiasi yang saya berikan kepada Fromm. Saya juga ingin memberikan kritik kepada beliau. Saya melihat pemikiran Fromm bersifat utopia, terutama yang tersaji di bab 4, tentang sosialisme humanistik.
Dalam sosialisme humanistik, Fromm menekankan tindakan manusia harus didasari atas nilai cinta. Namun, hal tersebut akan sulit terjadi, mengingat realitas kehidupan manusia modern lebih berorientasi pada persaingan.
Judul: Perihal Ketidakpatuhan
Penulis: Erich Fromm
Penerjemah: M. Isran
Penerbit: IRCiSoD
Tahun: Juni, 2020
Editor: Shidqi Mukhtasor