Praktik pernikahan beda agama di Indonesia kerap menjadi perbincangan warga Indonesia mengenai hukumnya, baik berdasarkan Undang-Undang maupun Al-Qur’an. Seringnya beredar berita pernikahan beda agama dari kalangan public figure di televisi menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang kebolehannya.
Sebagaimana realita yang ada, pernikaahan beda agama yang kerap terjadi adalah pernikahan antara pasangan yang beragama Islam dengan Kristen. Karena kedua pemeluk agama tersebut jumlahnya terbilang banyak di Indonesia.
Selain itu juga pernikahan antara kedua agama ini menuai perdebatan tentang kebolehannya dalam Islam. Pada konteks artikel ini, hukum pernikahan beda agama yang akan dibahas adalah hukum positif dan hukum Islam di Indonesia.
Pernikahan di Indonesia
Di Indonesia, pernikahan merupakan perbuatan hukum. Di mana, hukum yang tertuang dalam Undang-Undang harus menjadi pedoman bagi warga Indonesia. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia merupakan negara multiagama.
Akan sangat mungkin ketertarikan antar lawan jenis dengan agama yang berbeda itu terjadi. Oleh karena itu, posisi hukum amat penting untuk mengatur tentang pernikahaan beda agama secara jelas di Indonesia.
Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Positif di Indonesia
Ditinjau dari dasar hukum Negara RI yaitu pancasila, hukum pernikahan sesuai dengan sila pertama yang menggambarkan bahwa pernikahan berhubungan erat dengan agama.
Karena pernikahan mengandung unsur lahir dan agama sebagai peran penting didalamnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Perkawinan, yang berbunyi:
“Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita (suami istri) bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan ketuhanan.
Kemudian dilanjut dengan pasal 2 yang berbunyi:
(1). “Perkawinan yang sah itu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
(2). “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Secara tersirat berdasarkan kedua pasal di atas, maka pernikahan secara sah adalah pernikahan yang berlandaskan pada ketuhanan dan menurut agama masing-masing.
Bisa ditafsirkan bahwa misalnya hukum masing-masing agama tidak memperbolehkan pernikahan beda agama, maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah oleh negara, begitupun sebaliknya.
Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Islam
Dalam agama Islam, hukum Islam selalu merujuk pada Al-Qur’an. Ada 3 ayat yang membahas tentang pernikahan beda agama, yaitu:
- QS. al-Baqarah ayat 221
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman…..”
2. QS. al-Mumtahanah ayat 10
“….. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir tidak halal bagu mereka….”
3. QS al-Maidah ayat 5
“…..Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dintara perempuan-perempuan yang beriman dan menjaga kehormatan diantara orang yang diberi kitab sebelum kamu….”
Ketiga ayat di atas menunjukan bahwa pernikahan beda agama ada yang diperbolehkan, yaitu apabila pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab yang tercantum dalam QS. Maidah ayat 5 dan dua ayat lainnya melarang pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslimah (musyrikah, kafir, Yahudi dan Nasrani).
Kemudian untuk pernikahan wanita muslimah dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang membolehkannya.
Ulama fikih klasik sebagian besar telah sepakat bahwa pernikahan antara pria muslim dan wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) diperbolehkan berdasarkan QS. al-Maidah ayat 5, tentunya dengan catatan pria tersebut harus memiliki iman yang kuat dan bisa menjadi imam untuk keluarganya.
***
Namun juga ada beberapa yang tidak memperbolehkannya dengan argumen golongan ahli kitab sama halnya dengan golongan musyrik dan kafir yaitu mereka yang tidak menyembah Allah SWT. maka dalilnya mengikuti QS. al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10.
Untuk menyikapi hal tersebut di Indonesia, berdasarkan hukum Islam yang disepakati oleh Ulama Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 pada ayat (c), pernikahan dilarang apabila : (c). “Seorang wanita yang tidak beragama Islam” Kemudian pasal ini juga diperjelas oleh pasal 44 yang mengatur bahwa : “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”
Keputusan tersebut menganut ijtihad khalifah Umar bin Khatab, bahwa beliau melarang para amir (gubernur) Islam pada masa itu untuk menikahi wanita ahli kitab, bagi amir yang sudah terlanjur menikahinya agar menceraikannya jika istrinya tidak mau memeluk agama Islam.
Kemudian yang menjadi pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan realitas objektifnya:
- Pernikahan beda agama berpeluang dapat merusak akidah umat Islam secara perlahan
- Lebih banyak dampak negatifnya dari pada dampak positifnya
- Masih banyak wanita muslim di Indonesia dari pada wanita non muslim
Pernikahan beda agama yang tetap dilakukan nantinya akan menjadi urusan yang rumit, seperti problematika harmonisasi keluarga dan masa depan agama anaknya.
Oleh karena itu, bagi hukum Islam pernikahan beda agama tidak diperbolehkan, meskipun ada ayat yang membolehkannya.
Kesimpulan
Jadi disimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia, khsususnya agama Islam tidak diperbolehkan. Lalu untuk pernikahan muslim dengan non muslim yang masih terjadi di Indonesia itu artinya pihak yang beragama Islam dalam pencatatan keadministrasian pernikahan negara dianggap keluar dari agama Islam, atau murtad.
Kemudian ia menggunakan hukum yang dianut oleh agama pasangan non muslim agar pernikahannya tersebut menjadi sah di mata hukum negara.