Fikih

Sahkah Pernikahan Beda Agama di Indonesia?

3 Mins read

Praktik pernikahan beda agama di Indonesia kerap menjadi perbincangan warga Indonesia mengenai hukumnya, baik berdasarkan Undang-Undang maupun Al-Qur’an. Seringnya beredar berita pernikahan beda agama dari kalangan public figure di televisi menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang kebolehannya.

Sebagaimana realita yang ada, pernikaahan beda agama yang kerap terjadi adalah pernikahan antara pasangan yang beragama Islam dengan Kristen. Karena kedua pemeluk agama tersebut jumlahnya terbilang banyak di Indonesia.

Selain itu juga pernikahan antara kedua agama ini menuai perdebatan tentang kebolehannya dalam Islam. Pada konteks artikel ini, hukum pernikahan beda agama yang akan dibahas adalah hukum positif dan hukum Islam di Indonesia.

Pernikahan di Indonesia

Di Indonesia, pernikahan merupakan perbuatan hukum. Di mana, hukum yang tertuang dalam Undang-Undang harus menjadi pedoman bagi warga Indonesia. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia merupakan negara multiagama.

Akan sangat mungkin ketertarikan antar lawan jenis dengan agama yang berbeda itu terjadi. Oleh karena itu, posisi hukum amat penting untuk mengatur tentang pernikahaan beda agama secara jelas di Indonesia.

Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Positif di Indonesia

Ditinjau dari dasar hukum Negara RI yaitu pancasila, hukum pernikahan sesuai dengan sila pertama yang menggambarkan bahwa pernikahan berhubungan erat dengan agama.

Karena pernikahan mengandung unsur lahir dan agama sebagai peran penting didalamnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 Perkawinan, yang berbunyi:

Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita (suami istri) bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan ketuhanan.

Kemudian dilanjut dengan pasal 2 yang berbunyi:

(1). “Perkawinan yang sah itu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Baca Juga  Tradisi-Tradisi yang Mempersulit Pernikahan, Harus Dimusnahkan

(2). “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Secara tersirat berdasarkan kedua pasal di atas, maka pernikahan secara sah adalah pernikahan yang berlandaskan pada ketuhanan dan menurut agama masing-masing.

Bisa ditafsirkan bahwa misalnya hukum masing-masing agama tidak memperbolehkan pernikahan beda agama, maka pernikahan tersebut tidak dianggap sah oleh negara, begitupun sebaliknya.

Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Islam

Dalam agama Islam, hukum Islam selalu merujuk pada Al-Qur’an. Ada 3 ayat yang membahas tentang pernikahan beda agama, yaitu:

  1. QS. al-Baqarah ayat 221

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman…..”

2. QS. al-Mumtahanah ayat 10

“….. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir tidak halal bagu mereka….”

3. QS al-Maidah ayat 5

“…..Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan dintara perempuan-perempuan yang beriman dan menjaga kehormatan diantara orang yang diberi kitab sebelum kamu….”

Ketiga ayat di atas menunjukan bahwa pernikahan beda agama ada yang diperbolehkan, yaitu apabila pernikahan seorang muslim dengan wanita ahli kitab yang tercantum dalam QS. Maidah ayat 5 dan dua ayat lainnya melarang pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslimah (musyrikah, kafir, Yahudi dan Nasrani).

Kemudian untuk pernikahan wanita muslimah dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang membolehkannya.

Ulama fikih klasik sebagian besar telah sepakat bahwa pernikahan antara pria muslim dan wanita ahli kitab (Nasrani dan Yahudi) diperbolehkan berdasarkan QS. al-Maidah ayat 5, tentunya dengan catatan pria tersebut harus memiliki iman yang kuat dan bisa menjadi imam untuk keluarganya.

Baca Juga  Gibah itu Boleh-Boleh Aja, Ini Dia Syarat-Syaratnya!
***

Namun juga ada beberapa yang tidak memperbolehkannya dengan argumen golongan ahli kitab sama halnya dengan  golongan musyrik dan kafir yaitu mereka yang tidak menyembah Allah SWT. maka dalilnya mengikuti QS. al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10.

Untuk menyikapi hal tersebut di Indonesia, berdasarkan hukum Islam yang disepakati oleh Ulama Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 pada ayat (c), pernikahan dilarang apabila : (c). “Seorang wanita yang tidak beragama Islam” Kemudian pasal ini juga diperjelas oleh pasal 44 yang mengatur bahwa : “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”

Keputusan tersebut menganut ijtihad khalifah Umar bin Khatab, bahwa beliau melarang para amir (gubernur) Islam pada masa itu untuk menikahi wanita ahli kitab, bagi amir  yang sudah terlanjur menikahinya agar menceraikannya jika istrinya tidak mau memeluk agama Islam.

Kemudian yang menjadi pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan realitas objektifnya:

  1. Pernikahan beda agama berpeluang dapat merusak akidah umat Islam secara perlahan
  2. Lebih banyak dampak negatifnya dari pada dampak positifnya
  3. Masih banyak wanita muslim di Indonesia dari pada wanita non muslim

Pernikahan beda agama yang tetap dilakukan nantinya akan menjadi urusan yang rumit, seperti problematika harmonisasi keluarga dan masa depan agama anaknya.

Oleh karena itu, bagi hukum Islam pernikahan beda agama tidak diperbolehkan, meskipun ada ayat yang membolehkannya.

Kesimpulan

Jadi  disimpulkan bahwa pernikahan beda agama di Indonesia, khsususnya agama Islam tidak diperbolehkan. Lalu untuk pernikahan muslim dengan non muslim yang masih terjadi di Indonesia itu artinya pihak yang beragama Islam dalam pencatatan keadministrasian pernikahan negara dianggap keluar dari agama Islam, atau murtad.

Baca Juga  Larangan Menikah di Antara Idul Adha dan Idul Fitri

Kemudian ia menggunakan hukum yang dianut oleh agama pasangan  non muslim agar pernikahannya tersebut menjadi sah di mata hukum negara.

Avatar
14 posts

About author
Mahasiswi STIQSI (Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains al-Ishlah) Asal Tuban Bumi Wali
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *