Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Jankidaos bin Musa al-Tsani bin Abdullah bin Musa al-Jun bin Abdullah al-Mahdhi bin Hasan al-Mutsana bin Ali ra bin Abu Thalib merupakan nama lengkap dari ulama ahli sufi yang biasa kita kenal dengan sebutan Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Ia lahir di Jailan, tepat pada 1 Ramadhan 471 H. Namun, ada riwayat lain yang menuliskan bahwa ia lahir di Bahgdad. Kemudian, ia wafat pada 561 Hijriyah (1166 M), pada usia yang ke 91 tahun dan dimakamkan di kota Bahgdad, Irak.
Al-Jailani banyak sekali menekuni literatur keislaman, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu khilaf atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan perselisihan oleh para ulama, ushul fiqh, ilmu nahwu, ilmu tajwid, ilmu sharaf, ilmu arudh, ilmu balaghah, ilmu mantiq, dan ilmu tasawuf. Sayangnya, semua karyanya hampir tak dapat kita temui di mana pun. Bahkan, di perpustakaan seluruh dunia.
Ada sejarah yang mengemukakan pendapat perihal karyanya yang tak dapat kita ditemui karena ada kemungkinan besar bahwa dihanguskan oleh kebengisan Hulagu Khan ketika menghancurkan Baghdad.
Beruntung, murid-muridnya berhasil mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasihat dari majelis-majelisnya. Dari sekian banyak karyanya, hanya ada 3 yang disepakati penisbatannya, yaitu Ghunyah, al-Fath al-Rabbani, dan Futuh al-Gayb.
Ulama Ahli Sufi
Syekh Abdul Qadir al-Jailani lebih dikenal dengan sebutan “ulama ahli sufi”. Dalam pengertiannya, sufi sendiri berasal dari kata ‘al-mushafah’ yang berarti hamba yang disucikan oleh Allah. Oleh karena itu, sufi seringkali diartikan sebagai orang yang bersih atau suci dari jebakan hawa nafsu, terhindar dari sifat cela yang ada dalam diri, menempuh jalan yang terpuji, beristiqomah dalam menjalani kehidupan, dan tak merasakan tentram kepada sesama makhluk.
Ada juga yang mengartikan tasawuf dengan berkata dan bertingkah laku benar terhadap Allah dan berperilaku baik terhadap sesama makhluk. Padahal pada kenyataannya, kehidupan al-Jailani tidak pernah memiliki sikap yang mengasingkan diri dari kehidupan dunia, tidak menikah seperti pendeta, dan tidak mempedulikan keadaan-keadaan sekitarnya.
Namun di sini, al-Jailani bersikap untuk tidak menuruti keinginan menikmati dunia atau hawa nafsu yang dapat menyebabkan tenggelamnya hati sehingga lupa terhadap Allah dan diperbudak oleh nikmat dunia. Sebagaimana yang dituliskan oleh konsep wacananya:
“Kuasailah dunia, jangan dikuasai olehnya. Milikilah dunia, jangan dimiliki oleh dunia. Setirlah dunia, jangan diperbudak olehnya. Ceraikanlah dunia jangan kau diceraikan olehnya. Tasarufkanlah dunia, karena menurut sabda Nabi ‘sebaik-baik harta adalah harta hamba yang shaleh.”
Al-Jailani sangat menekankan tentang pencarian harta yang halal dan menggunakan kualitas kerja manusia itu sendiri, dan juga menolak sikap bermalas-malasan, sebagaimana yang dituturkannya:
“Celakalah engkau! Harta di tanganmu boleh, begitu pula di kantong bajumu, dan engkau simpan demi kebaikan. Adapun dalam hati jangan. Harta lewat pintu muka boleh (halal), tetapi lewat pintu belakang jangan sekali-kali (haram).
Abdi lah Allah azza wajalla, dan mohon lah pertolongan untuk memperoleh rezeki yang halal. Sesungguhnya Allah ta’ala senang dengan hamba yang beriman lagi taat, makan dari hasil kerjanya yang halal, dan membenci orang yang makan, tetapi tidak mau bekerja dan menggantungkan kepada orang lain.”
Ia mengibaratkan dunia seperti sungai besar yang airnya sangat deras. Kemudian nafsu diibaratkan sebagai hewani manusia yang mempunyai sifat tamak akan segala kenikmatan duniawi. Itulah perumpamaan al-Jailani terhadap dunia dan nafsu manusia. Ia memandang bahwa kehidupan yang sejati ialah kehidupan kelak, yaitu akhirat.
Konsep Sufistik Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Dalam memahami konsep sufistiknya, tentu Syekh Abdul Qadir al-Jailani tidak membuat manusia menutup pandangannya dengan dunia. Justru konsepnya yaitu memberikan suatu pandangan tentang keseimbangan dalam menghadapi kehidupan di dunia. Sufisme menurutnya yaitu sufisme yang progesif, aktif, dan positif, juga tidak meninggalkan kehidupan dunia sebagai ladang menuju akhirat.
Konsepsi sufistik al-Jailani merupakan konsep sufistik yang murni dan dilandasi oleh ketentuan Illahi. Ia melarang seseorang masuk ke dalam dunia sufi sebelum orang tersebut matang dan kuat dalam syariatnya. Karena, hubungan syariat dalam thariqah, ma’rifat, dan haqiqah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw.
“Syariat laksana batang pohon, thariqah adalah cabang-cabangnya, ma’rifah adalah daunnya, sedangkan haqiqah adalah buahnya.”
Jadi, untuk memetik buahnya, seorang sufi harus melalui tahap pengalaman syariat dengan istiqomah. Ketika melakukan konsep ini, al-Jailani juga membahas tentang tujuh pilar, yaitu: mujahaddah (keinginan), tawakkul (ketergantungan mutlak terhadap Tuhan), husn al-khulq (memiliki karakter dan perilaku yang baik), shukr (rasa bersyukur), sabr (kesabaran), rida (keprasahan/kepuasaan), dan sidq (kebenaran).
Editor: Lely N