Parenting

Konten Viral Anak Kandung Post-Truth

3 Mins read
Oleh: Ulul Azmi Syafira*

 

Konten viral dapat disebut sebagai anak kandung post-truth. Lalu, mengapa viral dikaitkan dengan post-truth?

Irisan antara viralitas dan fenomena post-truth adalah pada salah satu faktor pembentuknya viralitas. Istilah post-truth bukan menjadi istilah yang baru. Kata ini muncul di Kamus Oxford dan dinobatkan menjadi word of the year di tahun 2016.

Post-truth menurut Kamus Oxford ialah “relating to or denoting circumstances in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief.” (Peters, 2017). Kai Horsthemke mengistilahkan post-truth atau pasca-kebenaran sebagai kata sifat. Mengacu pada ‘melampaui atau menggantikan pentingnya kebenaran; biasanya dalam arti merendahkan dan terkesan tidak peduli dengan akurasi faktanya’.

Sebagai kata benda, post-truth atau pasca-kebenaran diartikan sebagai ‘fakta atau keadaan yang menjadi pasca-kebenaran [oleh sebab]; periode waktu atau situasi di mana fakta menjadi kurang penting daripada persuasi emosional’ (Horsthemke, 2017)

 

Konten Viral Anak Kandung Post-truth

Jose Ramon menjelaskan bahwa konten atau pesan berpotensi viral oleh karena lima faktor utama, yang salah satunya ialah emosi, maka, faktor emosi tersebut juga terindikasi di dalam keadaan post-truth. Keadaan post-truth yang tidak disadari ialah ketika kita mulai memilah berita atau pesan hanya dengan mempertimbangkan emosi. Faktor perasaan atau emosi ini ialah irisan antara viralitas dan post-truth. Bisa dibilang konten viral adalah anak kandung post-truth.

Viralitas yang tidak sehat memungkinkan post-truth menjadi keadaan yang tidak disadari di masyarakat media sosial. Akan tetapi, ukuran viralitas tidak hanya diukur dari banyaknya seseorang yang menyukai dan menyebarkan kembali. Sebab, akan lebih banyak selebtwit atau selebgram yang berpotensi untuk selalu membuat konten viral.

Baca Juga  Menyambut Kelahiran Anak menurut Ajaran Rasulullah

Viralitas menurut Moreu ialah apabila konten kita pada hari umumnya hanya mendapatkan dua atau tiga apresiasi (berupa retweet atau like). Namun oleh karena pesan atau informasi yang kita sampaikan, kita mendapatkan lebih banyak penyuka. Istilah lain dari Moreu ialah viralitas diukur dari konten yang sharable. Sesuatu hal yang mudah untuk dibagikan ulang. Karena konten tersebut mampu menggugah hati yang melihatnya (Moreu, 2019).

Pesan atau informasi yang sifatnya sharable sehingga mampu viral, hendaknya tetap diteliti dan dikupasi satu per satu. Viralnya konten tidak menjamin bahwa konten tersebut objektif dan faktual. Bila diasumsikan pada berita sebagai ‘konten viral’ tersebut, berita yang viral belum mampu memberi jaminan akan kebenaran atas realitas yang terjadi.

Di dalam berita, media pada umumnya melakukan framing dalam menafsirkan realitas. Sehingga gambaran realitas pasca-framing tiap-tiap media akan menunjukkan ciri khas media masing-masing. Beda kasusnya bila berita viral disebabkan oleh individu pengguna media sosial. Media sosial yang sifatnya lebih personal and privacy juga berpotensi memproduksi berita viral. Untuk itu, viralitas oleh karena personal account pun tidak luput untuk tetap dikritisi.

Viralitas dan post-truth juga bisa dikaitkan dengan keadaan masyarakat sebagai pengguna. Keadaan masyarakat yang minim literasi media maupun literasi ilmu pengetahuan akan membuat viralitas berita atau pesan dianggap sebagai kebenaran.

Seperti pada penjelasan sebelumnya, viralitas semakin berkembang bilamana kita sangat bergantung dan tidak berusaha mengkritisi pesan atau informasi. Baik itu dari rekan, perusahaan, atau media yang memberikan informasi. Sikap yang melampaui kebenaran ini, diistilahkan sebagai keadaan post-truth.

 

Viral, Belum Tentu Benar

Saat ini, media sosial penuh oleh berita kabut asap di Riau dan Kalimantan. Belum lagi perihal polemik UU Revisi KPK. Kedua fenomena tersebut tidak luput dari viralitas.

Baca Juga  Perceraian dan Kekerasan Anak di Tengah Pandemi Covid-19

Kabut asap viral dan diviralkan untuk mengabarkan kondisi di tempat. Pun perihal polemik KPK viral dan diviralkan untuk mengabarkan kondisi birokrasi beserta permainan politiknya. Keduanya viral oleh banyak faktor yang telah dijelaskan, salah satunya ialah emosi.

Bukan tidak mungkin, kedua berita tersebut akan dibuat berbeda dari realitasnya. Hal ini tidak lepas dari ambisi kita untuk viral. Meminjam istilah psikologi, viral secara tidak sadar memengaruhi self-esteem atau harga diri.

Objektivitas terhadap hal yang viral menjadi pudar oleh karena konten itu menggugah emosi atau perasaan kita. Bahkan lebih parah lagi hingga masuk pada tahapan ambisi self-esteem. Viralitas yang tidak diimbangi oleh kejelasan konten, membuat efek yang kurang lebih sama saat post-truth era mulai menjadi keadaan yang lazim di masyarakat media sosial.

 

*) Mahasiswa Program Studi S1 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kader IMM Ahmad Badawi UNY sekaligus Staff BEM KM UNY.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Parenting

Ajarkan Kepada Anak-anak, Masjid Tak Sekedar Tempat Ibadah

3 Mins read
Ibadah adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan seorang Muslim. Untuk memastikan agar generasi muda memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai agama…
Parenting

Nasihat Nashih Ulwan untuk Para Pendidik Anak

3 Mins read
Awalan, Abdullah Nashih Ulwan sangat gemar menulis, kertas dan pena senantiasa bersama dimanapun dia berada. Walaupun sibuk dengan kuliah, undangan dan ceramah, dia tetap meluangkan waktu…
Parenting

Hubungan Orang Tua dan Anak adalah Hubungan Kemanusiaan

3 Mins read
Hubungan orang tua dan seorang anak bisa dikatakan sebagai hubungan sosial dalam lingkup yang paling kecil. Bahkan, jika dalam kajian psikologi sosial,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds