Tajdida

Kontribusi Muhammadiyah: Peletak Dasar Budaya Bangsa

3 Mins read

Oleh: Ridho Al-Hamdi

Pada 18 November 2019, Muhammadiyah tepat berusia 107 tahun sejak kelahirannya 1912. Sepanjang usia ini, Muhammadiyah telah berkontribusi besar dalam meletakkan dasar-dasar kebudayaan dan dasar-dasar kenegaraan untuk republik ini.

Baru-baru ini, salah satu kader Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakkir, ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Penghargaan tersebut diberikan secara resmi pada 08 November 2019, tanggal di mana Masyumi berdiri pada 1945. Kahar Muzakkir merupakan salah satu anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersama Panitia Sembilan lain yang bertugas merumuskan dasar konstitusi negara. Dari Panitia Sembilan tersebut, empat di antaranya adalah kader Muhammadiyah: Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Muzakkir.

Soekarno mengakui kekagumannya terhadap cara Islam yang diajarkan Ahmad Dahlan pada era 1916-an.  Saat tinggal di rumah HOS Cokroaminoto di Surabaya, Soekarno selalu ngintil (mengikuti) pengajian Ahmad Dahlan. Pada era sebelum kemerdekaan, Soekarno pernah menjadi ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu di mana dia menikahi putri tokoh Muhammadiyah setempat bernama Fatmawati yang kemudian menjadi pahlawan nasional. Diketahui juga, bahwa saat Fatmawati menjahit bendera merah putih, istri Soekarno ini sering menyanyikan lagu Nasyiatul ‘Aisyiyah, salah satu ortom Muhammadiyah untuk perempuan muda.

Puncak pengakuan pencetus Pancasila ini sebagai kader Muhammadiyah adalah, ketika Soekarno memberikan sambutan pada Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad 1962 di Jakarta dan mengatakan:

“Maka oleh karena itu, saudara-saudara, kok makin lama makin saya cinta kepada Muhammadiyah. Tatkala umur 15 tahun, saya simpati kepada Kyai Ahmad Dahlan, sehingga mengintil kepadanya, tahun 1938 saya resmi menjadi anggota Muhammadiyah, tahun 1946 saya minta jangan dicoret nama saya dari Muhammadiyah, tahun 1962 ini saya berkata: moga-moga saya diberi umur panjang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jikalau saya meninggal, supaya saya dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan saja.”

Ki Bagus Hadikusumo adalah murid Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi ketua Muhammadiyah 1942-1953 menggantikan Mas Mansur saat Indonesia berada pada masa penjajahan Jepang dan revolusi fisik melawan pendudukan Belanda. Ki Bagus lah penentu akhir dari rumusan Pancasila sehingga hilang tujuh kata pada sila pertama Pancasila. Tujuh kata yang dihapus adalah: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Baca Juga  Al-Yusr sebagai Hakikat Prinsip Moderasi Beragama

Kasman Singodimedjo selalu menjadi salah satu pengurus teras Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sejak 1950 hingga 1981. Sementara itu, Abdul Kahar Muzakkir sejak 1942 hingga 1974 juga selalu menjadi elite PP Muhammadiyah. Ini sebuah periode panjang yang tidak bisa diragukan lagi bahwa Kasman dan Kahar adalah kader Muhammadiyah.

Sementara Soekarno berjuang melalui PNI, ketiga kader Muhammadiyah tersebut di atas aktif di Masyumi, bahkan mereka terpilih menjadi anggota parlemen dan Majelis Konstituante hasil pemilu 1955. Meskipun Soekarno pernah bersitegang dengan Masyumi, tetapi itu semua tidak melunturkan identitas mereka sebagai kader Muhammadiyah karena Soekarno dan Kasman juga bagian dari pencetus sumpah pemudah 1928.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, tokoh-tokoh Muhammadiyah pun telah memberikan kontribusi besar pada peletakan dasar-dasar kebudayaan Indonesia. Di sinilah Ahmad Dahlan, Siti Walidah, Fachroddin, Mas Mansur, dan Soedirman memberikan kontribusinya. Kelima tokoh ini juga telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah telah meletakkan dasar tentang spirit pembebasan atas penjajahan dan pembodohan yang saat itu menyelimuti Indonesia. Sementara Siti Walidah melalui ‘Aisyiyah membangkitkan perempuan untuk mengambil ruang publik dan menghapus stereotype “sumur, dapur, kasur” yang melekat pada diri perempuan. Dahlan dan Walidah juga satu-satunya suami istri dari kampung yang sama (Kauman, Yogyakarta) yang meraih gelar pahlawan nasional.

Fachroddin dikenal sebagai murid Ahmad Dahlan yang berani melawan penjajahan dan menggerakan demonstrasi kaum buruh di Yogyakarta dan selalu bikin gerah Belanda. Sedangkan Mas Mansur dikenal sebagai anak muda cerdas sehingga selalu meraih posisi penting dalam percaturan politik nasional pra kemerdekaan baik di Sarekat Islam, Partai Islam Indonesia (PII), Gabungan Politik Indonesia (GAPI), Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), dan Masyumi Jepang. Bahkan Mas Mansur dimasukkan sebagai tokoh Empat Serangkai bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hadjar Dewantoro.

Baca Juga  Dahsyatnya Perguruan Tinggi Muhammadiyah

Kontribusi Soedirman pun patut dicontoh ketika dia berani mempertahankan Indonesia di tengah kepungan Belanda dalam revolusi fisik pasca-1945. Soedirman adalah anggota Hizbul Wathan, organisasi kepanduan miliki Muhammadiyah, yang sosoknya sekaligus merepresentasikan semangat anak muda Muhammadiyah melawan segala bentuk penjajahan dan pembodohan.

Setelah Indonesia merdeka, kader-kader Muhammadiyah juga menempati posisi strategis di kabinet pemerintahan. Di antaranya adalah Mohammad Rasjidi, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Soekiman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, Faqih Usman, Mohammad Sardjan, M. Jusuf Wibisono, Muljatno, dan Mohammad Noer. Bahkan Soekiman Wirjosandjojo dan Djuanda pernah menjadi perdana menteri. Tokoh Muhammadiyah lain yang juga menjadi pahlawan nasional adalah Hamka, sastrawan yang karya-karyanya telah diangkat ke layar lebar.

Fakta-fakta ini telah menunjukkan bentuk kontribusi Muhammadiyah dalam meletakkan dasar-dasar kebudayaan dan kenegaraan bagi pembentukan Indonesia sebagai sebuah negara dan pemerintahan. Sebagian masyarakat mungkin tidak mengetahui nama-nama yang telah disebutkan di atas adalah orang-orang Muhammadiyah karena mereka bekerja untuk tanah air tanpa sentimen primordialisme. Mereka telah berkontribusi untuk negeri ini dengan ikhlas dan penuh komitmen.

Hanya orang-orang yang kalah saja yang tidak paham sejarah negerinya, karena cara menjadi warga negara yang baik adalah mempelajari perjuangan para tokoh terdahulu yang telah meletakkan dasar-dasar kebudayaan dan kenegaraan.

Kita berharap Muhammadiyah tetap berkontribusi bagi negeri ini tanpa harus berteriak “paling pancasialis” dan “paling NKRI” seperti bisingan yang selalu memadati layar televisi dan media sosial. Sejatinya gerakan Islam reformis ini ingin memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta tanpa melihat faktor agama maupun etnis. “Sedikit bicara, banyak bekerja,” semboyan yang diajarkan oleh Muhammadiyah kepada umatnya. Sekali lagi, selamat milad ke-107 untuk Muhammadiyah.

Baca Juga  Muhammadiyah, HAMKA dan Inklusifitas
Avatar
7 posts

About author
Direktur International Program of Government Affairs and Administration (IGOV) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Pengurus Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds