Islam adalah agama yang diajarkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat untuk semesta alam, bukan hanya rahmat bagi pemeluk-pemeluknya. Hal ini juga terwujud dalam sikap toleransi yang tercermin dari setiap ajaran-ajarannya.
Tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana toleransi Islam terhadap orang-orang yang berbeda agama. Jelas termaktub dalam Al-Qur’an bahwa dalam doktrin ajaran Islam ialah tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Dalam mendakwahkan ajaran Islam pun juga diinstruksikan dengan cara-cara yang baik lagi menentramkan.
Lagi-lagi, tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana sikap Islam terhadap orang yang berada di luar agama Islam. Namun, ada satu pertanyaan yang perlu penulis sampaikan. Bagaimana doktrin ajaran Islam terhadap orang yang melakukan apostasi atau konversi agama, yang lebih umum kita kenal dengan murtad?
Ada berbagai pendapat di kalangan ulama dan fuqaha mengenai tinjauan syariah (baca: hukum Islam) terhadap kemurtadan. Terlebih jika kita hadapkan kemurtadan ini dalam tinjauan hukum hak asasi manusia.
Problema ini bisa saja nantinya memunculkan persepsi bahwa memang benar tidak ada paksaan untuk masuk Islam, namun bagaimana dengan orang yang memutuskan untuk keluar dari Islam?
Ajaran Islam yang sejatinya shalih likulli zaman wa makan, apakah benar-benar merealisasikan jargon tersebut. Dalam tulisan ini penulis coba uraikan sedikit mengenai konversi agama tersebut jika ditinjau dari syariah dan hak asasi manusia.
Konversi Agama dalam Syariah
Kajian mengenai kemurtadan sebenarnya telah menjadi bahasan cukup lama dalam dunia intelektual Islam. Mulai dari zaman sahabat hingga zaman kontemporer, perdebatan mengenai masalah kemurtadan belum juga habis. Hal ini karena kemurtadan sendiri adalah masalah yang sensitif yang bisa mengguncang kemapanan dalam hidup beragama.
Kemurtadan dalam kajian syariah dan fikih diartikan sebagai keluar dari agama Islam dan berpindah memeluk agama lain ataupun berpindah menuju prinsip ateis. Yang perlu digarisbawahi di sini ialah keluarnya orang tersebut dari Islam adalah atas kemauannya sendiri, bukan dengan paksaan pihak lain.
Pembahasan kemurtadan dalam dalil agama dapat kita temukan antara lain seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 217, juga dalam beberapa hadits nabi. Yang mana dapat kita pahami dari dalil-dalil itu ada perbedaan dalam menghukumi perbuatan murtad tersebut.
Dalam dalil Al-Qur’an hanya menyebutkan hukuman di akhirat, yakni akan dimasukkan ke dalam neraka, tanpa adanya penyebutan terhadap hukuman dunia. Namun dalam dalil hadis disebutkan bahwa hukuman bagi perbuatan murtad adalah dibunuh.
Penulis mengambil kesimpulan bahwa hukuman mati untuk perbuatan murtad sejatinya bukanlah hudud, melainkan ta’zir, yakni hukuman yang dapat disesuaikan. Hal ini penulis dasarkan pada ketiadaan dalil qath’i terkait hukuman untuk perbuatan murtad dalam Al-Qur’an dan juga adanya perbedaan hukum dalam hadis.
Pun jika kita tarik lebih jauh lagi, akan muncul banyak perbedaan juga di kalangan para ulama dan fuqaha, baik klasik maupun kontemporer. Yang mana hal ini mengisyaratkan bahwa hal tersebut adalah hasil ijtihad dan bukan ketentuan hudud dari Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Konversi Agama dalam HAM
Berpindah kepada tinjauan hak asasi manusia mengenai konversi agama, bisa kita jumpai dalam Pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyebutkan yang juga menguatkan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).
Pihak PBB dan para penyusun ICCPR dan DUHAM menafsirkan bahwa kebebasan beragama tersebut juga meliputi kebebasan untuk berpindah agama dan bahkan juga mengikuti paham-paham ateistik.
Yang mana hal ini memunculkan pro-kontra dan banyak menuai tentangan dari para cendekiawan muslim, yang jelas berhubungan dengan kemurtadan. Pada perkembangan selanjutnya, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Pasal 10 Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa Islam adalah agama fitrah, terlaranglah segala bentuk pemaksaan pada manusia atau eksploitasi kemiskinan dan kebodohannya demi memurtadkan dia ke agama lain atau ateisme.
Dari ketiga rujukan yang telah penulis uraikan di atas, dapat kita simpulkan bahwa semuanya sepakat bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi setiap manusia. Dan sekali lagi, kebebasan beragama tersebut meliputi kebebasan untuk memilih agama, kebebasan untuk berganti agama dan kebebasan untuk tidak beragama.
Ketentuan ini pada akhirnya akan berpengaruh pada adanya hukum bagi perbuatan murtad yang sudah jelas berakibat pada timbulnya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Namun, sampai saat ini masih juga ada beberapa negara muslim yang tidak mau meratifikasi perihal kemurtadan ini, atau mereka menerima sebagian dan menolak sebagian lain dari hukum hak asasi manusia internasional.
Titik Temu Syariah dan HAM
Sebagai kesimpulan akhir, penulis akan sampaikan beberapa hal mengenai titik temu antara syariah (khususnya dalam pandangan kontemporer) dan hukum hak asasi manusia mengenai masalah konversi agama.
Pada dasarnya Al-Qur’an memang tidak pernah menyebutkan terkait hukuman bagi perbuatan murtad. Malah sebaliknya, dalam Al-Qur’an justru kita temui ayat-ayat yang menegaskan tentang kebebasan dalam beragama, seperti pada surat Al-Baqarah ayat 256 dan surat al-Kafirun ayat 6.
Pun juga dengan dalil hadis yang kami simpulkan bahwa hukuman bagi perbuatan murtad itu adalah hukuman ta’zir, alih-alih hukuman hudud.
Hal ini berimplikasi pada hukuman bagi perbuatan murtad tersebut adalah fleksibel sesuai kebijakan yang berlaku. Yang mana juga mengindikasikan bahwa hukum hak asasi manusia internasional dapat juga diterapkan pada persoalan kemurtadan ini.
Di sinilah peran pentingnya kita melakukan pembacaan kontekstualitas terhadap dalil-dalil terhadap problema kontemporer, bukan hanya berpegang pada dalil yang sudah mapan.
Bila pemahaman mengenai hukuman mati bagi perbuatan murtad masih bertahan, maka kita akan mendapati kesimpulan bahwa kebebasan beragama dalam Islam hanya bersifat parsial, yang mana bebas sebelum masuk dan tidak bebas setelahnya.
Padahal kita tahu bersama, bahwa doktrin ajaran Islam pada dasarnya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, bahkan doktrin ajaran justru menjunjung tingi harkat dan martabat manusia. Meski kita sadar bahwa hukum Islam belum menjadi unsur yang mendominasi dalam wacana hukum global, termasuk juga terkait kebebasan beragama dan lebih khusus konversi agama.
Lebih dari itu, kehidupan dunia saat ini sudah semakin meluas dan seakan tiada batas sehingga pertemuan antar-agama, antar-ajaran dan antar-antar yang lain juga tidak terelakkan. Keadaan ini seharusnya memotivasi umat Islam untuk melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi klasiknya.
Jadi, biarkanlah dalil-dalil agama yang telah mapan tersebut tetap seperti sedianya. Namun, yang perlu diubah adalah cara pembacaan dan penafsiran kita terhadap dalil yang sudah mapan itu, bahkan tidak menutup kemungkinan juga dengan pisau analisis hukum hak asasi manusia internasional.
Sehingga pada akhirnya jargon ajaran Islam yang shalih likulli zaman wa makan dapat benar-benar direalisasikan dalam kehidupan. Selamat Membaca dan Menafsir!
Editor: Yahya FR