Awal kehidupan bermula di pagi hari dengan membuat narasi puitis di whatsapp dan instagram story. Audio visual yang ditampilkan mengekspresikan kebahagiaan yang cukup hakiki, serta kopi dan senja menjadi instrumen penting dalam progresifitas hidup sehari-hari.
Yuk nongki dimana nih? Itu adalah sebuah kalimat yang cukup masif di jagat kehidupan warga milenial +62 abad 21 ini. fashion yang di tonjolkan pun bernuansa ke indie- indie an, dengan seperangkat outfit topi bucket, celana jeans yang tidak isbal, dengan kaos polos dan sepatu branded nya.
Cukup menarik bukan, kalau kehidupan kita setiap harinya seperti itu? Berasa hidup keren dan mewah tanpa adanya beban masalah. Di tulisan ini, penulis bukannya iri dan dengki sama milenial saat ini. Akan tetapi sedikit kepikiran, kenapa aktivitas sehari-hari mereka sama semua? Jangan-jangan ide keterampilan berkehidupan sudah habis dan lenyap di semesta.
Teringat dengan quote yang disampaikan oleh Sartre, sosok filsuf kontemporer dari perancis, ia mengatakan bahwa “ Hidup yang disajikan kepada kita bukan hidup yang dikemas dengan tujuan dan makna, melainkan hidup yang kita bangun dengan sendirinya”. Quote tersebut dirasa penulis relevan untuk menggambarkan kehidupan milenial bumi pertiwi. Orientasi cita-cita dan profesi sudah bergeser, dari dokter menjadi youtuber, tentara atau polisi berganti jadi influencer dan selebriti, dan masih banyak yang lainnya lagi.
Saatnya penulis membatasi konteks perbincangan agar tidak terlalu melebar. Dimulai dengan beranggapan kalau identitas yang menjadi ciri khas milenial adalah sebagai generasi kopi senja yang dekat dengan aktivitas ‘ngopi’. Konon, budaya nongkrong dan minum kopi di Indonesia tidak hanya sebatas diskusi dan berinteraksi. Akan tetapi sebagai sarang perlawanan dan ketidakpatuhan terhadap kondisi situasi politik.
Mencoba untuk menelaah sejarah dunia tentang warung kopi di Inggris, yang difungsikan sebagai tempat untuk berdiskusi dan berinteraksi seputar sosial politik. Pada tahun 1675, saking panasnya diskusi dan interaksi sosial politik bertempat di warung kopi di Inggris, Raja Charles II mengeluarkan dekrit khusus untuk menentang warung kopi. Ia menuduh warung kopi sebagai tempat untuk menyusun rencana melawan Raja.
Kondisi yang serupa, mengenai aktivitas ‘ngopi’ kalau di kontekstualkan dengan keadaan di Indonesia saat ini, kita sangat jarang menemukan fenomena tersebut. Milenial menggeser makna yang semestinya ‘ngopi’ di warung kopi adalah mediator untuk berdialektika sekarang menjadi aktivitas kebutuhan gaya hidup. Tentunya kita juga mengetahui, warung kopi atau saat ini lebih layak dan modern disebut sebagai kafe dengan seting lokasi yang cozy sebagai ajang kebutuhan daily story .
Tawaran logika, Anti Zona Nyaman
Sudah saatnya milenial sebagai bonus demografi setelah generasi X yang tidak ada batas waktu awal dan akhir ini, harus mengintrospeksi diri. Mengupayakan agar budaya yang di berikan di zamannya menjadi alat penting demi terciptanya gerakan sosial. Bukannya malah mengakomodir ide – ide yang tidak penting, hanya untuk kepuasan dan bahan pencitraan.
Mengartikan gerakan sosial, penulis meminjam konsep dari Anthony Giddens yang menuturkan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.
Jadi, ketika di warung kopi jangan hanya melamunkan diri. Mendadak melankolis karena adanya musik mengingatkan pacar yang telah undur diri. Ada banyak kok, aktivitas yang bisa membuat tingkat produktifitas tinggi.
Milenial yang hidup dengan ketergantungan akan teknologi dan media sosial bisa memfungsikan sebagai alat kreatif seperti membuat konten yang menarik untuk menggerakkan kesadaran sosial dengan aksi kemanusiaan yang nyata. Tidak hanya bergerak di dunia maya saja dengan memanfaatkan platform petisi online sudah puas dengan peranannya.
Seharusnya milenial Indonesia berkaca terhadap gerakan pelajar di Amerika Selatan, mereka melakukan aksi demonstrasi untuk menentang kebijakan “ Youth Slave Law” atau hukum perbudakan anak muda. Pelajar memprotes kebijakan terkait tidak mendapatkan upah atau tidak diberikan intensif gaji saat pemagangan.
Boro-boro menentang, milenial Indonesia sudah diberikan kesempatan magang di perusahaan bergengsi aja uda bersyukur kok. Rasanya bangga dan senengnya gak ketulungan. Kalau kata-katanya sih, lumayan buat nambahin curriculum vitae.
Persis sama yang diistilahkan oleh almarhum Benedict Anderson sosok Indonesianis, beliau pernah mengatakan bahwa kondisi masyarakat Indonesia khususnya milenial yang mendominasi kelompok kelas menengah perkotaan dengan withdrawal symptoms atau suka untuk berada di zona nyaman.
Dengan persepsi cari aman saja, kemungkinan besar bisa dipastikan milenial akan kesulitan untuk survive dalam hidupnya. Contoh, misalnya youtube ditutup oleh pemerintah kita. Bagaimanakah nasib vloger atau youtuber yang hanya menggantungkan hidupnya di situ?
Dari sini kita sedikit menggaris bawahi bahwa percuma saja kalau milenial mengorganisir dirinya suka ‘ngopi’ mempunyai kemampuan yang kreatif, koneksi yang luas, keunggulan dalam berteknologi tetapi tidak menyuarakan aspirasi mereka terkait ketidakadilan yang selama ini ada di depan mata mereka.