Dunia pernah menghadapi wabah mematikan sebelumnya, seperti flu Spanyol dan flu burung. Namun mengapa wabah COVID-19 lebih menghasilkan kepanikan? Deliberasi akses informasi dalam era digital ini mungkin bisa menjadi jawabannya.
Siapapun dapat mengakses informasi jika memiliki dua modal utama, yaitu keterampilan bahasa asing dan kuota internet! Batas dunia bukan lagi teritori administrasi, melainkan adalah bahasa. Pembicaraan tentang COVID-19 di Indonesia telah marak jauh sebelum COVID-19 mewabah di Indonesia: saat penyebaran COVID-19 di dunia masih dipandang potensi ekonomi pariwisata oleh Pemerintah Indonesia sehingga memberikan insentif ekonomi dan mengampanyekan ‘ayo wisata jangan takut corona’.
Kini COVID-19 telah sampai ke pelosok Yogya, sehingga banyak desa secara mandiri menutup akses keluar-masuk ke wilayahnya.
Kepanikan di Indonesia, terutama yang tergambar dalam perbincangan di media sosial bukan semata ancaman kematian yang dibawa COVID-19, tetapi lahir dari komparasi berbagai informasi mengenai wabah tersebut di dunia. Kita mengomparasikan Vietnam yang dengan sigap mampu menghadapi dengan Italia yang kedodoran. Sehingga angka kematian akibat wabah di sana lebih tinggi dari Vietnam.
Tentu saya tidak berwenang mengatakan perihal tingkat kematian COVID-19. Saya tidak memiliki pengetahuan mengenai itu. Namun, hukum besi pengetahuan, adalah hubung banding menyamakan dan hubung banding membedakan. Kita, di Indonesia, membandingkan pola penanganan COVID-19 di Indonesia dengan informasi-informasi yang kita peroleh.
Misalnya mengenai penanganan di Vietnam dan Italia, atau belahan dunia lain. Tindakan hubung banding itu yang menghasilkan kesimpulan. Kesimpulan bahwa kita lebih mendekati seperti yang terjadi di Italia, misalnya ditunjukkan dengan tingkat kematian kedua negara yang bersaing ketat.
Tentu penyimpulan demikian membuat kita was-was. Hal demikian merupakan hal yang wajar karena menurut Immanuel Kant pun kepentingan untuk hidup adalah kepentingan manusia yang utama.
***
Maka dari itu, kita menekan pemerintah memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Pemerintah melakukan negoisasi dengan penghimbauan social and physical distancing dan isolasi mandiri untuk meredam tuntutan. Narasi ekonomi yang terancam lumpuh menjadi narasi yang menopang himbauan.
Namun, lagi-lagi, sirkus kepanikan dan kekhawatiran kita masih belum berhenti, karena keterhubungan informasi membuat kita mengetahui bahwa Bill Gates, seorang jutawan AS pun mengatakan membangkitkan ekonomi yang ambruk itu sulit, tetapi masih bisa dilakukan, kita tidak bisa membangkitkan orang hidup kembali.
Terlebih, Presiden Ghana, negara yang tingkat ekonominya di bawah Indonesia, yang katanya baru saja dianugerahi negara maju, mengatakan hal serupa. Hubung banding berbagai realitas informasi tersebut membuat kita menatap masa depan dengan suram. Tak mengherankan bila kita menghela nafas dan bertanya, ‘ada apa dengan pemerintah Indonesia yang kekeuh dengan kebijakan seperti itu?’
Hidup berpengetahuan adalah hidup bergemuruh, semakin kita banyak mengoleksi pengetahuan, semakin besar kemungkinan kita hidup kita dilingkungi kekhawatiran, kegugupan, dan ketakutan. Mungkin memiliki pengetahuan adalah bagian ujian hidup. Dan ujian mengelola, menghadapi, dan menggunakan informasi merupan bagian dari upaya mencapai kualitas hidup yang patut dijalani.
Socrates pernah mengatakan hal demikian, bahwa hidup yang tak teruji adalah hidup yang tak layak dijalani. Mungkin itu sebab murid Socrates, Plato, lebih memilih untuk keluar goa dan menghadapi gemuruhnya dunia, daripada tinggal dalam ketenangan goa. Karena hanya di luar goa itulah, prinsip keabadian yang disimbolkan dengan matahari dapat ditemukan.
Pemerintah Tenang Saja, ada Rakyat!
Lalu bagaimana, dengan segala informasi yang kita miliki ini dipergunakan di masa krisis COVID-19? Ya tidak lain untuk bertahan hidup, baik bertahan hidup sebagai individu untuk melakukan pencegahan mandiri, maupun bertahan hidup sebagai bagian komunitas rakyat Indonesia dengan mendialogkannya dengan pemerintah. Hal demikian pun sudah berlangsung, minimal melalui media sosial, maupun saluran aspirasi lain.
Hanya saja, dialog antara pemerintah dan rakyat memang belum berjalan secara wajar. Dialog mensyaratkan kesetaraan posisi sehingga menjadi interaktif. Pemerintah masih berjalan dalam lorong yang sama, berbicara dalam hierarki. Masyarakat dianggap hanya perlu mematuhi himbauannya, tanpa perlu mengetahui latar belakang himbauan tersebut.
Terutama alasan utama mengapa karantina wilayah tak juga dilaksanakan. Alih-alih mengetengahkan narasi potensi ambruknya ekonomi, narasi lockdown tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Hidup di era digital, hidup di era yang informasi di belahan dunia mana pun bisa diakses. Pola penarasian secara demikian adalah sebuah kesia-siaan. Masyarakat bisa segera mengakses informasi apakah karantina wilayah atau lockdown merupakan kebijakan yang berdasarkan karakteristik budaya tertentu dan mengidentifikasi karakteristik budaya negara-negara yang telah memberlakukan lockdown.
Saat aspirasi dibantah dengan narasi yang tidak sepadan, perasaan curiga kalau pemerintah lebih mementingkan ekonomi dibanding keselamatan rakyatnya menjadi konsekuensi logis.
Bila sedemikian gawat dampak ekonomi bagi Indonesia, sajikan dan informasikan hasil kajian tersebut secara utuh kepada publik. Dialog berbantahan dalam kehidupan demokratis adalah keniscayaan. Bila berat bagi negara ambil keputusan karantina wilayah karena kengerian dampak ekonominya, serahkan pada rakyat untuk memilih sendiri.
Bukankah kita sudah mendapat contoh dari Yunani yang menggelarkan referendum untuk menentukan sikap terhadap syarat-syarat pinjaman IMF dan Britania Raya dalam memutuskan keluar dari keanggotaan Uni Eropa.
Terlepas dari tepat tidaknya hasil yang ditentukan, mekanisme demikian menunjukan bahwa bernegara adalah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Pemerintah kalau capek, nangis ya nangis, gausah sok kuat, ada rakyat!