Riset

Krisis Kecerdasan Emosional di Ruang Virtual

3 Mins read

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lainnya, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) itu lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan panggilan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk kepada seseorang sesudah ia beriman dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat ayat 11)

Beberapa waktu yang lalu masyarakat dihebohkan dengan aksi prank atau olok-olok yang dilakukan oleh beberapa anak muda yang memberikan bingkisan berisi sampah kepada sekelompok transpuan di Bandung. Kasus ini menjadi ramai setelah video prank yang diunggah di akun YouTuber Ferdian Paleka tersebut beredar di media sosial dan mendapat sorotan publik. Para pelaku akhirnya harus berurusan dengan polisi karena terjerat Undang-Undang ITE.

Fenomena aksi prank untuk menarik perhatian dan menaikkan jumlah penonton di media sosial  belakangan ini, semakin marak seiring dengan semakin ketatnya kompetisi para pencipta konten di media social. Untuk mendapatkan popularitas di ruang virtual.

Kasus Ferdian Paleka tersebut hanya salah satu diantara fenomena gunung es aksi mencari sensasi yang sebelumnya banyak difasilitasi oleh industri media massa terutama televisi. Kini bergeser ke aksi individu atau sekelompok kecil pemilik akun media sosial yang haus popularitas dan tergiur godaan penghasilan besar. Fenomena ini tidak lepas dari karakter media baru yang memungkinkan partisipasi pengguna menjadi lebih bebas dan terbuka sehingga cenderung mengabaikan empati.

Karakter Publik di Era Media Sosial

Danah boyd, seorang peneliti media baru, mengidentifikasi tiga karakter penting publik di era media social. Yang mana, ia sebut dengan publik yang berjejaring (networked publics). Tiga karakter tersebut adalah audiens yang tidak nampak (invisible audiences), hilangnya konteks sosial (collapsed context), dan pudarnya batas antara ranah publik dan ranah privat (the blurring of public and private).

Baca Juga  Mohammed Arkoun: Toleransi Gagal Akibat Monopoli Kebenaran
***

Karakter yang pertama, yaitu audiens yang tidak nampak. Itu menunjukkan bahwa interaksi di media sosial membuat kita sulit untuk mengidentifikasi karakter audiens. Tanpa informasi tentang karakter audiens yang jelas, kita juga mengalami kesulitan untuk mendesain pesan yang sesuai dengan kebutuhan audiens. Pengguna media sosial juga banyak yang bersembunyi di balik identitas palsu sehingga menjadi lebih sulit untuk dikenali. Pengguna identitas palsu ini cenderung merasa bebas untuk berbuat apa saja dan kemudian lepas tanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan di media sosial.

Karakter yang kedua, yaitu hilangnya konteks sosial. Hal ini seringkali membuat interaksi di media sosial menimbulkan kesalahpahaman. Dalam interaksi tatap muka, konteks sosial dari sebuah interaksi, relatif mudah untuk dipahami. Sehingga, kita bisa menyesuaikan sikap dan pesan komunikasi sesuai dengan konteks sosial yang ada. Hilangnya konteks dalam interaksi di media sosial membuat konsep sopan santun dan empati sulit untuk dibangun. Apalagi jika pihak-pihak yang berinteraksi belum pernah saling mengenal sebelumnya.

Karakter yang ketiga, yaitu pudarnya batas antara ranah publik dan privat. Ini merupakan fenomena yang sebenarnya sudah banyak ditemui di era media massa. Isu-isu privasi dibawa ke ruang publik untuk menarik perhatian dan menaikkan rating. Di era media sosial, fenomena ini menjadi semakin menguat. Karena pelaku media tidak lagi harus berupa institusi resmi, tetapi siapapun bisa membuat dan mengelola media secara individu maupun secara berkelompok. Menjamurnya pelaku media amatir yang tidak dibekali dengan keterampilan dan etika jurnalisme yang memadai, semakin membuat komodifikasi privasi menjadi sesuatu yang dianggap biasa dijumpai di media sosial.

Tiga karakter publik di era media sosial ini menjadi alasan kuat bagi pentingnya penumbuhan kecerdasan emosional di ruang virtual. Bekal kecerdasan emosional menjadi modal dasar yang harus dimiliki oleh para pengguna media social. Baik itu yang berada pada level kreator, editor,  ataupun hanya sebatas komentator.

Baca Juga  Ketertarikan Barat dalam Mengkaji Ajaran Islam

Kecerdasan Emosional Digital

Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum beriman untuk mengembangkan dan merawat kecerdasan emosional. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengajarkan kepada kita untuk bersikap empatik. Di antaranya dengan tidak saling mengolok-olok dan memanggil dengan panggilan buruk. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang dikutip di atas.

Konsep kecerdasan emosional berkembang ketika masyarakat mulai merasakan bahwa fokus pada kecerdasan kognitif dalam masyarakat industry, telah membuat manusia kehilangan sentuhan-sentuhan emosional dalam hidupnya. Banyak orang cerdas yang abai dan tidak sensitif dengan situasi di sekitarnya. Ketika interaksi antar manusia sekarang mulai banyak di mediasi oleh teknologi informasi, maka kecerdasan emosional juga harus hadir dalam model interaksi baru tersebut.

Inisiatif pengembangan konsep kecerdasan emosional digital ini di antaranya dilakukan oleh DQ Institute. Sebuah organisasi nirlaba internasional yang bergerak di bidang pendidikan masyarakat digital. Ada satu aspek penting dalam konsep kecerdasan digital yang masih jarang dielaborasi dalam berbagai kajian literasi digital. Yaitu kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence). Menurut DQ Institute, ada tiga keterampilan yang harus dilatih untuk menumbuhkan kecerdasan emosional digital. Yaitu empati digital (digital empathy), kesadaran dan manajemen diri (self awareness and management), dan yang ketiga adalah manajemen relasi (relationship management).

Empati digital berhubungan dengan sensitifitas dan sikap suportif terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain di dunia digital. Kesadaran dan manajemen diri berhubungan dengan kemampuan untuk memahami dan menyelaraskan antara sistem nilai dan kompetensi digital dengan lingkungan digital yang dihadapi oleh masing-masing individu. Sedangkan manajemen relasi terkait dengan kemampuan untuk mengelola hubungan di ruang digital melalui persuasi, kerjasama, dan manajemen konflik.

Baca Juga  Relasi Kebudayaan dan Kekuasaan
***

Tiga keterampilan di atas sangat penting untuk dikuasai oleh generasi milenial dan generasi pasca milenial yang cenderung semakin sulit dipisahkan dari interaksi di dunia digital. Pembumian konsep kecerdasan emosional digital, menjadi agenda penting yang harus diperhatikan dalam agenda literasi digital di Indonesia. Untuk menyiapkan masyarakat digital yang siap secara kognitif maupun emosional dalam menjalin interaksi di ruang virtual.

Editor: Yahya FR

Avatar
3 posts

About author
Wakil Rektor I Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds