Hipermoderatisme | Kendati telah dianulir sendiri oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), namun rekomendasi LDNU terkait pelarangan Wahabisme memberikan pelajaran tersendiri. Sebelumnya, sebagaimana dimafhum bersama, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama meminta bantuan pemerintah untuk melarang ekspansi paham Wahabi.
Implikasi lain hal tersebut yakni permohonan pelarangan HijrahFest dan HijabFest. Tentu kita tidak perlu kaget dan bertanya mengapa hal tersebut terjadi. Dengan ungkapan yang berbeda, kita tidak mesti menyoal kenapa LDNU merekomendasikan demikain.
Jika mau jujur, sudah menjadi pemahaman umum bahwa gaya berislam ala mereka tidak sama. Kedua belah pihak, baik NU atau secara spesisifk LDNU maupun orang-orang yang dituding Wahabi, memiliki gaya keberislaman sendiri-sendiri. Sebagai perumpamaan, jika yang pertama bersikap agak lentur berhadapan dengan tradisi lokal, berbeda halnya dengan yang kedua. Bahkan kelompok terakhir ini sangat ketat dan bahkan tidak segan untuk menjegal tradisi lokal. Jika yang terakhir sedikit ketat ketika membincang amaliah yang tidak dicontohkan nabi, berbeda dengan kelompok pertama.
Itu hanyalah sekapur sirih contoh dari sekian banyak pandangan-pandangan dua kubu. Apakah ada yang salah dengan keberagamaan model demikian? Tentu tidak ada yang keliru apalagi ketika menyangkut hal-hal yang nonfondasional. Problematiknya kemudian muncul ketika salah satu pihak, baik Wahabi maupun LDNU, saling sikut dan anulir satu sama lain. Saya tidak akan masuk terlalu jauh pada bagian tersebut, karena bukan itu yang saya maksud.
Sebagaimana saya tuturkan di awal bahwa hal itu memberikan pelajaran(koreksi?) yang berarti. Setidaknya ada dua catatan yang saya tangkap dalam membaca rekomendasi itu. Mulai dari reduksionisme kalangan moderat hingga narasi toleransi yang mulai overdosis. Dua hal ini penting untuk diperhatikan bersama sebagai langkah autokritik terhadap orang-orang yang mendaku barisan tengah cum tawasut.
Reduksionisme Kaum Moderat
Memahami sebuah fenomena tentu tidak etis jika terlalu reduktif dan simplistis. Dalam konteks diskusi ini, menjadi kurang komprehenshif jika menarik akar radikalisme pada pemahaman orang Wahabi. Menaruh jangkar masalah radikalisme pada golongan Wahabi tentu merupakan reduksi besar-besaran.
Persoalan sesungguhnya lebih komprehensif. Memahami radikalisme, terorisme, dan sebangsanya tidak sesederhana menarik akarnya pada pemahaman tekstualis ala kaum kanan dan angan-angan kembali ke masa nabi.
Untuk memahami radikalisme, tentu butuh pendekatan yang kompleks juga. Vedi R. Hadiz mengungkapkan untuk dapat memahami gerakan radikal itu dapat ditinjau dari fenomena sosial yang mengitarinya. Bahkan dengan sangat keras ia mengatakan, tidak banyak gunanya menjadikan patologi individu (bahkan kelompok) atas fanatisme agama sebagai sebuah perspektif.
Ini sebagai sebuah acuan bahwa sejujurnya persoalan radikalisme bukan semata-mata persoalan yang sederhana. Ia dipicu lebih dari sekadar pemahaman terkait teks keagamaan yang rigid atau juga hasrat besar untuk kembali ke masa lalu.
Kebiasaan—untuk tidak mengatakan blunder—lain yang sering ditemui di kalangan pendaku moderat yakni memukul rata orang yang berseberangan. Pada titik inilah, perlu untuk mengidentifikasi aliran satu-satu jika memang ingin berkonfrontasi.
Maksud saya adalah orang-orang atau juga kelompok yang berada di seberang orang moderat itu beraga. Setiap kelompok ideologis memiliki atribut definitif dan ciri khas yang tidak sama. Menyamakan semuanya dalam satu atap bernama ‘kaum radikal’ adalah hal naif.
Hipermoderatisme
Lama ini saya dapatkan di salah satu buku yang diklaim sebagai usaha lompat pagar oleh penulisnya. Sebuah buku bertajuk Menuju Aswaja Materialis yang mencoba mendobrak ortodoksi Aswaja. Hipermoderatisme digunakan oleh penulisnya untuk memperlihatkan moderatisme yang berlebihan.
Namun, di titik yang sama disebabkan posisinya yang netral justru jinak di hadapan ketidakadilan sosial dan ketimpangan. Ini adalah pembacaan atas rekomendasi LDNU yang bagi saya menarik. Setidaknya hal tersebut memberikan gambaran umum bahwa problem yang diurusi masih kurang fundamental.
Saya mengamini apa yang dikatakan oleh Ahmad Sahidah bahwa kita sudah harus mulai beranjak. Isu-isu strategis hari ini yang dihadapi oleh organisasi-organisasi Islam sudah bukan persoalan kekerasan atas nama agama. Ada kekerasan yang jauh lebih konkret dari itu semua.
Dalam tesmak Sahidah, industri ekstraktif, penggundulan hutan, polusi, sampah, atau bahkan krisis iklim jauh lebih molek. Sayangnya, LDNU luput melirik hal tersebut dan malah berkutat pada masalah moderatisme dan radikalisme. Atau mungkin hal itu dipandang tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama(?).
Untuk itulah, sebagai juga rekomendasi agar dikurangi untuk membuang tenaga dalam mengurus kekerasan atas nama agama. Mengampanyekan gagasan untuk selalu toleran terhadap perbedaan. Sudah terlalu banyak diskusi, seminar, buku, jurnal, yang diproduksi untuk menggaungkan wacana tersebut. Atas dasar itu saya meminjam lema yang dipakai Roychan untuk menyebut rekomendasi LDNU terkait pelarangan Wahabi sebagai representasi dari hipermoderatisme.
Porsi penggunaan lema moderat kemudian menjadi tidak jelas dan terasa seperti karet. Padahal di hadapan isu-isu yang lebih fundamental mereka bisa toleran, mengapa ketika di hadapkan dengan Wahabisme justru menjadi kolot seketika? Jangan-jangan ada yang salah dengan moderatisme mereka. Nauzubillah.
Editor: Yahya FR