Oleh: Muhamad Rofiq*
Wael Hallaq adalah nama yang sangat tidak asing bagi siapa saja yang menekuni bidang Islamic studies. Ia adalah sarjana terkemuka yang menekuni hukum Islam, sejarah intelektual Islam, dan belakangan banyak menulis kritik terhadap ideologi liberalisme Barat dan keterputusan epistemik di kalangan umat Islam yang disebabkan oleh ideologi tersebut. Hallaq juga dikenal karena kritiknya terhadap karya-karya orientalis. Karyanya paling akhir, Restating Orientalism, bahkan mengkritik pendahulunya, Edward Said, yang dianggapnya kurang radikal dalam mengkritik orientalisme.
Hallaq lahir dari keluarga berlatar belakang Kristen di Palestina. Ia memperoleh gelar PhD dari Universitas Washington. Sebelum ia menjadi professor di Universitas Colombia, tempat di mana ia mengajar sekarang, Hallaq lama mengajar di Universitas McGill Kanada. Di kampus ini, ia banyak mendidik dan membimbing murid-muridnya dari Indonesia.
Hallaq adalah penulis prolifik (produktif). Ia telah menulis puluhan buku, artikel jurnal, dan entri ensiklopedia. Salah satu karyanya yang membawa pengaruh cukup besar dan menjadi perbincangan hangat para sarjana bidang keislaman adalah bukunya yang berjudul, the Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicaments. Buku ini terbit tahun 2013 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab hanya setahun setelah versi aslinya terbit dalam bahasa Inggris.
Menurut Ridwan Sayyid, pemikir politik Islam dari Lebanon alumni Universitas al-Azhar Mesir dan Universitas Tubingen Jerman yang mereview buku ini, karya-karya Hallaq umumnya jadi bahan perdebatan panas di kalangan intelektual Arab karena sifatnya yang mendobrak aksioma. Saya membayangkan, buku ini akan melahirkan polemik keras seperti halnya al-Islam wa Ushulul Hukm karya Ali Abdur Raziq pada tahun 1929. Buku ini, menurut Ridwan, bisa dikategorikan sebagai karya dekolonial atau kritik terhadap ideologi kolonialisme (naqd idiulujiya al-isti’mariyyah) seperti karya Edward Said dan Talal Asad, dua orang penulis terkemuka di bidang ini.
Secara umum, buku ini memuat empat gagasan penting: pertama, kritik terhadap modernitas dan konsep negara modern; kedua, deskripsi aspek epistemologis dari Islamic governance (pemerintahan Islam); ketiga, kemustahilan konsep negara Islam; dan keempat, jalan keluar bagi umat Islam untuk keluar dari krisis modernitas.
Tulisan ini akan menjelaskan dua poin pertama, yaitu argumen-argumen Hallaq tentang problem filosofis terkait modernitas dan negara modern serta dimensi epistemik pemerintahan Islam yang menurutnya jauh lebih superior daripada negara modern.
Pandangan Muslim yang Tidak Kritis
Paska lahirnya konsep negara bangsa pada abad ke delapan belas di Eropa setelah melalui proses panjang; reformasi gereja, perang antar agama, kemudian perjanjian Westphalia, tatanan global berubah secara drastis. Kawasan di Eropa yang sebelumnya tidak mengenal konsep nation (bangsa), mulai mengidentifikasi diri berdasarkan batasan teritori dengan sistem pemerintahan yang tersentralisasi.
Dunia Islam juga pada awalnya asing dengan konsep ini. Namun, perjumpaan dengan bangsa-bangsa Eropa melalui perdagangan dan kemudian kolonialisme, telah mengubah paradigma dan orientasi umat Islam. Setelah jatuhnya Imperium Mughal di kawasan Asia Selatan dan runtuhnya Imperium Usmaniyyah di Eropa Tenggara, Asia Barat, dan Timur Tengah, satu persatu lahirlah negara-negara Muslim.
Tidak hanya transformasi radikal dalam lanskap politik, pemikiran umat Islam juga mengalami pergeseran. Para pemikir muslim di awal abad dua puluh (termasuk sampai hari ini) beranggapan bahwa konsep negara bangsa adalah sistem yang lebih ideal dari konsep yang selama ini telah dijalankan dalam sejarah Islam. Mengutip istilah Hallaq, selain negara bangsa, yang lainnya adalah konsep inferior.
Hallaq menemukan kecendrungan di mana konsep ini telah diambil secara for granted (tanpa kritik sama sekali) dan dianggap sebagai realitas alami. Konsep ini diasosiasikan sebagai konsep yang value-free (bebas nilai) dan valid secara universal. Para pemikir Muslim tidak menyadari dampak epistemik dari konsep ini terhadap tradisi dan ajaran Islam. Hallaq menyebut bahwa krisis yang ditimbulkan oleh modernitas, mulai dari kekosongan spiritual, manusia yang hedonistik, terfragmentasinya keluarga dan masyarakat, sampai kerusakan lingkungan, sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari konsep negara bangsa itu sendiri.
Dengan tranplantasi konsep ini di dunia Islam, cara berfikir sebagian sarjana Muslim juga menjadi anakronistik: seolah-olah konsep negara bangsa sudah dipraktekkan oleh generasi Muslim sebelum zaman modern. Ketika dikawinkan dengan konsep Eropa lainnya seperti progress (kemajuan), rasionalisme, dan peradaban, konsep ini kemudian dianggap sebagai gagasan yang timeless (tidak terbatas waktu).
Masyarakat Muslim generasi awal dipersepsikan telah mempraktekkan demokrasi, kewarganegaraan, dan suffrage (hak pilih). Padahal, beberapa orang pemikir Barat sendiri, seperti Carl Schmitt, pemikir politik dari Jerman, bahkan dengan tegas menyebut: “state has been possible only in the West” (konsep negara bangsa hanya mungkin ada di Barat).
Tidak hanya itu, umat Islam kemudian juga menjadi apologetik. Negara bangsa dipersepsikan seolah-oleh mendapatkan sanction (persetujuan) dari kitab suci al-Quran. Mereka lupa bahwa genealogi dunia modern dan negara bangsa adalah Eropa yang memiliki konteks spesifik. Ada nilai-nilai eurocentric yang inheren di dalamnya. Mereka lupa bahwa negara modern bukan buatan mereka (not their own making).
Hallaq mengatakan bahwa fenomena sakralisasi konsep negara bangsa di tengah-tengah umat Islam ini sungguh ironi sekali. Di negara Barat sendiri, banyak para teoretikus ilmu politik dan pakar masalah globalisasi yang sudah mulai mempertanyakan masa depan dan durability (daya tahan) negara bangsa.
Epistemologi Pemerintahan Islam
Hallaq menjelaskan bahwa paradigma dan praktek dalam tradisi Islam dalam mengelola pemerintahan sesungguhnya jauh lebih unggul dari konsep state. Hallaq menyebut produk tradisi Islam ini dengan istilah “Islamic governance (pemerintahan Islam)”. Hallaq tentu saja menghindar dari istilah “Islamic state” untuk menggambarkan kekayaan tradisi Islam di bidang politik. Istilah ini membawa konsekuensi epistemologis yang fatal. Lebih dari itu, Hallaq sendiri beragumen bahwa ide Islamic state (negara Islam) tidak pernah ada dalam sejarah Islam dan merupakan suatu kemustahilan.
Hallaq menjelaskan apa yang ia maksud dengan “pemerintahan Islam”. Ia menyebut bahwa ketika istilah ini ia gunakan, ia merujuk pada paradigma dan praktek pemerintahan sebelum zaman kolonialiasi. Inilah cermin representatif konsep Islam dalam pemerintahan. Turas-lah yang menyediakan gambaran ideal tentang bagaimana epistemologi Islam bekerja dalam hal tata kelola pemerintahan. Hallaq mengajak pembaca untuk mengabaikan praktek bernegara yang dilakukan oleh Muslim di era modern. Menurutnya eksperimen dunia Islam di era modern adalah sebuah kegagalan politik dan hukum yang sangat sangat serius. Tidak ada sama sekali pelajaran yang dapat dijadikan teladan di balik pengalaman modern ini (It serves no lesson at all on how Muslims may govern themselves properly).
Hallaq menegaskan bahwa pemerintahan Islam pra kolonialisme berpijak pada fondasi yang sama sekali berbeda (dramatically different) dengan pijakan negara modern. Perbedaan tersebut terkait konsep tentang metafisik, moral, hukum, sosial, dan politik. Pada artikel selanjutnya saya merangkum argumen Hallaq tentang perbedaan antara pemerintahan Islam dan negara modern menjadi tiga poin.
*Alumni PCIM Mesir dan saat ini menjadi anggota PCIM Amerika Serikat