Perspektif

Kritisisme atau Prasangka? Tanggapan untuk Muhammad Abdullah Darraz

4 Mins read

Oleh: Hatib Rahmawan*

Saya senang sekali dengan pembelaan Saudara Darraz terhadap pemikiran kritisisme Syahrur terkait dengan hadits al-’asyrah al-mubasysyirin bi al-jannah. Dalam artikel yang ditulis Darraz untuk saya dengan judul “Pembacaan Kritis Terhadap Hadits” (22/2/2020) membuat permasalahan semakin jelas. Saya semakin paham alasan Syahrur meragukan otentisitas hadits tersebut.

Namun sayangnya, argumentasi tersebut malah memperkuat tesis saya bahwa prasangka (prejudice) tidaklah kuat untuk menggugurkan otentisitas sebuah hadits. Fakta-fakta sejarah dominasi Quraish dalam politik Arab pasca Nabi Muhammad SAW dalam narasi yang ditulis Saudara Darraz hanyalah menyebabkan prasangka (prejudice) untuk membangun opini bahwa ada kegaduhan dan perhelatan kepentingan kekuasaan.

Sampai akhir tulisan Saudara Darraz, tidak satupun bukti yang menunjukkan adanya reproduksi hadits palsu (maudlu) akibat konflik Quraish dan Anshar. Sejarah mencatat lahirnya hadits palsu akibat konflik pasca Ali bin Abi Thalib tewas dibunuh. Pasca kejadian itulah reproduksi hadits palsu terjadi untuk mengukuhkan kekuasaan.

Kritisisme dalam Kajian Hadits

Saya sebenarnya sangat berharap Syahrur menyajikan sebuah kritisisme terhadap hadits dengan pendekatan sejarah yang kongkrit, sebagaimana para orientalis hadits. Mulai dari Joseph Schacht, GHA Juynboll, dan Michael Cook. Sebab, para orientalis ini memiliki dasar metodologi yang kuat.

Joseph Schacht menyimpulkan bahwa hadits tidak otentik dari Nabi SAW. Sebab diproduksi pada abad kedua Hijriyah oleh para tabi’in di saat pemikiran fikih mulai berkembang. Hadits barulah disusun pada zaman tersebut untuk memenuhi kebutuhan fikih belaka. Jadi, para tabi’in-lah yang menciptakan hadits kemudian disambungkan kepada Nabi SAW. Itulah teori penelusuran kebelakang (projecting back). Dari para tabi’in tersebut, kemudian hadits ditransmisikan ke murid-murid menjadi sebuah atau beberapa percabangan jalur sanad (common link). Oleh Juynboll, pembuat percabangan inilah yang paling bertanggungjawab atas pemalsuan hadits.

Baca Juga  Perlukah Muhammadiyah Menunda Penggunaan KHGT?

Dua teori di atas sejalan dengan pemikiran sejarawan Italia Benedetto Croce. Ia mengatakan bahwa sejarah itu ditulis untuk memenuhi kebutuhan zaman (saat ini). Jadi, sejarah menurutnya, bukanlah cerita masa lalu, melainkan fakta-fakta yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan saat ini.

Saya melihat Syahrur tidak memiliki metodologi sebagaimana para kritikus hadits dengan pendekatan sejarah seperti tergambar di atas. Saya melihat Syahrur baru sebatas membangun narasi keraguan bahwa konflik antara Anshar dan Muhajirin Quraish berpotensi menghasilkan hadits-hadits palsu. Hal yang mengherankan saya dan yang belum terjawab mengapa keraguan itu hanya dituduhkan kepada Muhajirin Quraish? Mengapa bukan kepada Anshar? Padahal, banyak sekali hadits yang mengukuhkan kemuliaan Anshar.

Generalisasi dan Prasangka

Pada bagian ini saya fokuskan pada metodologi yang dibangun Syahrur, khususnya upaya untuk meruntuhkan otentisitas hadits al-’asyrah al-mubasysyirin bi al-jannah.

Pertama, Syahrur mudah sekali melakukan generalisasi. Adanya fakta sejarah terjadinya perhelatan kepentingan politik pasca Nabi SAW menyebabkan Hadits yang berbicara tentang dominasi Muhajirin Quraish dianggap palsu. Seolah-olah upaya jujur dari pemerhati hadits, yang mencoba memverifikasi kualitas sanad tidak dihargai sama sekali.

Jika kita membuka karya Syahrur Dirasat Islamiyyah fi ad-Daulah wa al-Mujatama’ maka akan ditemukan jawabannya. Dalam pendahuluan, Syahrur dengan jelas mengatakan bahwa bangunan teologis, fikih, dan ibadah, termasuk hadits tentunya, dikonstruksi di bawah kepemimpinan tiran. Maksud kepemimpinan tiran adalah model kepemimpinan kekhalifahan monarki yang absolut yang bebas kritik. Di bawah kepemimpinan tiran inilah semua bangunan keilmuan Islam terbentuk. Itulah yang menyebabkan keilmuan Islam tidak empiris, sakral, dan anti kritik. Segala sesuatunya dimaknai secara teologis yang tidak membutuhkan perdebatan.

Berawal dari asumsi inilah Syahrur berupaya keras merekonstruksi semua hal terkait dengan Islam. Mulai dari cara baca terhadap al-Qur’an hingga, hadits, hingga  ilmu-ilmu keislaman, meskipun belum tuntas. Syahrur ingin membuat hal baru, yang terbebas dari kuasa tiran. Artinya, Syahrur sesungguhnya tidak percaya dengan konstruksi keilmuan Islam yang ada sekarang.

Baca Juga  Apakah Gempa Bumi Murni Kehendak Allah?

Sekali lagi saya tegaskan, gara-gara generalisasi ini Syahrur tidak menghargai kerja keras para ulama idealis, jujur, ikhlas yang tidak mau mengabdikan diri pada penguasa, meskipun ancaman kematian harus menimpanya. Kelompok minoritas seperti ini luput dari pengamatan Syahrur.

Hamim Ilyas dalam bukunya Fikih Akbar, secara tidak langsung membantah argumentasi Syahrur tersebut. Menurutnya, sejak awal Islam hadir, motivasi ber-Islam bangsa Arab tidak semuanya didasarkan karena alasan agama. Ada yang didasarkan karena ekonomi, status sosial, dan politik. Hal ini dibenarkan al-Qur’an, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (Al-Hujurat/49: 14).

Jadi, meskipun ada dominasi tiran dan sejarah Islam, namun bukan berarti segala hal dapat diatur sesuai dan sesuka kekuasaan tiran. Pasti ada hal-hal lain yang tumbuh dan berkembang secara independen. Kekuasaan tiran adalah bagian kecil dari sejarah Islam yang sangat luas, melakukan generalisasi seperti pendapat Syahrur dapat mengkerdilkan sejarah Islam itu sendiri.

Kedua, Syahrur terjebak pada prasangka (prejudice). Saya setuju bahwa prasangka merupakan langkah awal untuk mendeteksi apakah sebuah hadits palsu atau tidak. Dalam studi hadits, prasangka harus diikuti dengan langkah metodologis, yakni kritik sanad. Apakah sanadnya bersambung atau tidak? Apakah ada cacat atau tidak? Apakah ada sadz atau tidak?

Tanpa proses tersebut sama saja kita memperkosa hadits. Sebab, hadits terdiri dari matan dan sanad. Dua hal tersebut saling terkait. Jika sanadnya dhaif, bukan berarti matanya tidak dapat dipakai. Prof. Syamsul Anwar mengatakan hadits dhaif jangan diabaikan begitu saja. Sebab, hadits tersebut mencerminkan etos dan dinamika sejarah pada waktu itu.

Langkah seperti ini tidak saya temui dalam kritisisme historis Syahrur. Jika tidak terbukti, mestinya Syahrur masuk pada kritik eidetis —meminjam istilah Hassan Hanafi—dengan membuang semua dogma, madzhab, ideologi, atau praduga-praduga. Selama prasangka-prasangka tersebut tidak dilebur (fusions of horizon), menurut Gadamer, tidak akan ada makna otentik yang dihasilkan dari sebuah penafsiran, termasuk dalam memahami hadits. Jadi, bagaimana mungkin Syahrur dapat memaknai hadits atau al-Qur’an secara objektif sementara prasangka masih dominan dalam pikirannya?

Baca Juga  IMM: Agensi Pikir, Zikir, dan HOTs

Ketiga, saya setuju bahwa kebebasan dan kritisisme dalam studi keislaman jangan dibunuh. Karena hal tersebut adalah modal utama membangun keilmuan Islam yang lebih objektif. Tanpa dua hal ini bangunan keilmuan Islam akan kerdil.

Sebagai akhir dari tulisan ini saya ingin bertanya kepada Saudara Darraz, ada kepentingan apa Syahrur mengkritik otentisitas hadits al-’asyrah al-mubasysyirin bi al-jannah? Padahal, Syahrur menolak nubuwwah Muhammad SAW terkait persoalan politik. Aneh bukan? Wallahu’alam.

* Penulis adalah Dosen Ilmu Hadits Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Editor: Arif

Avatar
30 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds