Orang-Orang Persyarikatan cukup jarang berbicara tentang tradisi. Orientasi ke depan, kemajuan dan membangun lebih menjadi prioritas dibandingkan membincangkan masa lalu, kecuali masa lalu itu adalah kehidupan Nabi Muhammad. Oleh karena itu ketika orang Muhammadiyah ditanya apa sumbangsihnya pada kebudayaan, sering bingung.
Lima belas tahun lalu pun jika orang Muhammadiyah ditanya siapa orang Muhammadiyah yang menjadi pahlawan nasional, mungkin tidak bisa menjawab. Bahkan ada yang menjawab: “Sudahlah jangan bahas masa lalu. Yang penting apa yang bisa kita lakukan dan berikan untuk saat ini!”
Jawaban demikian tampak ikhlas meski terkadang tampak naif. Disebut jawaban ikhlas karena perilaku ikhlas kadang dicontohkan seperti buang air besar. Orang tidak pernah mencari atau mengingat kembali apa yang telah dikeluarkan. Disebut jawaban naif karena kebaikan dan prestasi bukan kotoran, tetapi hal baik yang bisa menjadi inspirasi untuk generasi selanjutnya, bukan untuk klaim mengklaim kepemilikan atas negara.
Untuk urusan pahlawan nasional ini sekarang sudah selesai. Setiap tahun di WA group beredar daftar para pahlawan nasional dari kalangan persyarikatan. Di beberapa media online atau majalah yang dikelola persyarikatan atau warga persyarikatan pun sejarah para tokoh dan ashhabul awwalin pun sudah mendapatkan perhatian. “Jas Merah!”, kata Bung Karno.
Tentu untuk urusan budaya jarang orang Muhammadiyah membicarakannya, meskipun sejak tahun 2000 sudah digagas Dakwah Kultural. Mungkin karena pengertian budaya yang dipahami juga model klasik, yaitu: “kebiasaan, ritual atau seni yang unik atau aneh.” Padahal pengertian budaya lebih luas, keseluruhan pikiran/ keyakinan, cara dan pola hidup serta peralatan dan teknologi. Jadi, budaya itu ada pula di masa sekarang dan produk masa sekarang.
***
Budaya pendidikan orang Indonesia sekarang, misalnya, adalah bersekolah sejak usia dini sampai lulus Perguruan Tinggi. Orang Indonesia sekarang seminar secara daring. Setiap Idul Adha ada hari libur, shalat Id dan penyembelihan hewan kurban. Ini budaya yang hidup, berulang dan aktual, tidak harus hal-hal aneh dari masa lalu, meskipun yang dari masa lalu tetap juga bagian kebudayaan juga.
Nah jika sosok budaya Muhammadiyah dirangkum boleh bisa dirumuskan sebagai budaya: “Santri Bercelana.” Santri, menurut Clifford Geertz dalam The Religion of Java, adalah orang yang taat pada ajaran dan ritual Islam. Geertz membagi santri menjadi dua kategori: santri kota dan santri desa. Orang Muhammadiyah termasuk kategori santri kota pada saat Geertz meneliti akhir tahun 1950-an.
Santri bercelana adalah santri sekolahan, yang tidak hanya belajar agama, tetapi pengetahuan umum. Yah, karena sebelum Kiai Ahmad Dahlan menawarkan pengajaran agama di sekolah-sekolah pemerintah, di sekolah umum tidak ada pelajaran agama Islam. Kiai Ahmad Dahlan juga mempelopori pendidikan agama yang dengan memasukkan mata pelajaran umum.
Orang belajar di sekolah umumnya memakai celana atau jarik dan bersepatu. Kelas ditata dengan model klasikal: ada bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar dengan interaktif dan menjelaskan agama dengan mengkontekskan dengan kehidupan dan perkembangan ilmu dan teknologi.
Hal itu berbeda dengan pendidikan tradisional yang dilaksanakan melalui pembacaan buku, tanpa tanya jawab. Pembelajaran dilakukan secara lesehan di masjid atau rumah guru.
Etos santri bercelana itu kemudian berkembang lebih luas. Shalat di masjid tidak harus pakai sarung atau berpeci, meski tidak dilarang pula bersarung atau berpeci. Belajar mengaji pun pakai celana panjang. Berceramah dan berkhutbah pun tidak salah pakai celana panjang atau sarung.
***
Para haji yang sepulang dari tanah suci biasanya memakai jubah ketika shalat ke masjid, sekarang cukup bercelana. Khatib menjelaskan dengan bahasa Indonesia, tidak harus dengan bahasa Arab.
Praktik-praktik demikian awalnya dipandang tidak patut. Anak mengaji atau shalat ke masjid dengan bercelana akan ditegur temannya atau dicela. Santri mengaji, lalu bertanya kritis pada guru akan dianggap tidak sopan.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman, etos dan praktik santri bercelana semakin diterima luas. Hal itu lebih memudahkan bagi orang-orang yang bekerja di perkantoran dan mal-mal. Semua adalah bagian dari kepraktisan dan budaya efisiensi.
Orang Muhammadiyah mungkin tidak ingat lagi atau tidak perduli dengan perubahan kultural tersebut. Mereka juga tidak sadar bahwa arus pembaharuan pemikiran Islam melahirkan kultur “Santri Bercelana”. Kultur itu turut membentuk realitas Islam di Indionesia saat ini.
Santri bercelana adalah representasi dari ke-Islaman, kemodernan, bahkan ke-Indonesiaan. Santri bercelana mewakili etos muslim modern di Indonesia dan membentuk budaya Islam di Indonesia. Kadang orang melihat dimensi negatif semata dari perkembangan modern.
Budaya tradisional masa lalu pun juga tidak semua baik, seperti jika hendak bertemu pejabat harus berjalan merangkak dan menyembah. Atau anak perempuan harus dipingit sejak usia akil baligh sampai ia menikah.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kultur santri modern (bercelana) ini sudah sedemikan merasuk dalam kehidupan masyarakat kita.
Ibarat gula, meski banyak orang melarang gula karena alasan kesehatan, tetapi 90% kue kita mengandung gula. Sulit rasanya hidup tanpa gula, karena nasi putih pun mengandung gula.
Yang pasti, selalu ada plus dan minus dari budaya yang ada sehingga budaya terus berkembang untuk mengatasi kelemahan yang ada. Santri bercelana pun juga harus beradaptasi dengan perubahan.
Apabila dahulu santri bercelana hanya bersekolah dan belajar agama di sekolah, mereka sekarang pun mendirikan pesantren. Pesantren yang klasik diakui manfaatnya, meski sistem pembelajaran dan kelasnya tetap berasa modern.
Editor: Yahya FR