Perspektif

Mengkultuskan itu Rontoknya Iman

3 Mins read

Mungkin pembaca apabila mendengar kata-kata kultus, sudah tidak asing terngiang, bagaikan angin terhembus didalam telinga. Kita akan menerka-nerka bahwa, mengkultukan tersebut sebagai bentuk penggantungan segala sesuatu atau mengangkat seorang tokoh untuk menjadi dasar panutan tanpa terkecuali dengan mutlak.

Ketika mengarungi kedalam sejarah, beberapa negara Asia telah menunjukkan gerakan kultus yang sangat menghawatirkan. Seperti peristiwa di Majalengka yaitu terjadinya suatu gerakan Haur Koneng, yang telah memakan korban beberapa orang tewas, sipil dan militer. Koran-koran menyebut gerakan Haur Koneng ini sebagai “Gerakan Sesat”. Sekaligus ada pula yag membantah dan memandang bahwa gerakan tersebut sebaga gerakan kriminal biasa.

Kemudian seperti munculnya sebuah gerakan Waco di Texas. Yang diketahui dengan pasti bersangkutan dengan sebuah kultus yang menamakan dirinya sebagai “Ranting Daud” Branch Davidian.

Mungkin sekali bahwa, penilaian peristiwa kultus hanyalah sebuah kriminalitas biasa adalah benar adanya. Dan mungkin sekali benar pula bahwa, peristiwa kultus lebih banyak disebabkan oleh kesenjangan sosial-ekonomi (untuk tidak menyebutnya ketidak adilan sosial), yang menyebabkan seseorang yang tidak mampu itu putus asa dan lari kepada suatu paham tertentu, sebagai cara menyatakan diri dan nasib mereka.

Pengertian Kultus

Untuk sebuah negeri yang luas ini, yang bernama Indonesia. harus selalu membuat sebuah antisipasi. Mengingat bahwa negeri kita tidak kebal dengan pengaruh dari dunia pada umumnya termasuk pengaruh kultus. Waspada bahwa, pengkultusan bisa terjadi baik dari pengaruh luar maupun dalam. Hal tersebut sangat sulit sekali untuk dipahami oleh masyarakat. Sebab kultus adalah hal yang sangat merugikan bahkan membahayakan masyarakat.

Masalah kultus telah menjadi sasaran kajian ilmiah, yang melibatkan berbagai disiplin, khususnya antropologi, sosiologi agama, teologi, psikologi dan lain-lain. Dalam kajian ilmiah tersebut mengarah kepda pencirian umum, gejala penyimpangan keagamaan, sekitar hal-hal berikut:

Baca Juga  Dakwah Virtual dan Peran Milenial dalam Masa New Normal

Pertama, kultus sebagai bentuk pemujaan, selalu berpusat pada otoritas pribadi sang pemimpin. Yang membangun mind set sifat kepatuhan dan ketergantungan yang sangat kuat

Kedua, adalah gabungan antara otoritarianisme sang pemimpin dengan pola keorganisasian yang ketat. Sehingga terbentuknya sebuah gerakan cobbalistic (penuh kerahasiaan).

Maka tidak heran bahwa, banyak kultus yang kemudian mengembangkan pandangan-pandangan dan sikap-sikap anti sosial. Sehingga kejahatan oleh kultus sulit sekali dilacak dan diatasi.

Pengkultusan di Indonesia

Ketika mengamati tentang corak keindonesiaan, maka tidak terlepas dari corak keislaman, baik itu dalam interaksi sosial. Maka akan menemukan sebuah kejanggalan tentang Indonesia itu sendiri. Penulis sedikit mengamati tentang corak permasalahan keindonesiaan, khususnya permasalahan tentang kultus.

Ketika melihat kepada mayoritas penduduk Indonesia yaitu muslim, maka sedikit kita akan menemukan sebuah kepatuhan kepada tokoh anutan. Yang mana kebanyakan masyarakat, menjadikan seorang tokoh agama sebagai tempat bergantung ajaran.

Pada dasarnya masyarakat muslim, untuk selalu menggali keilmuan-keilmuan, untuk melapangkan pola pikir keislamannya. Sehingga pola pikir keislaman, kemodernan dan keindonesiaan tidaklah stagnan.

Sebagai contoh tolak ukur adalah dinasti Ottoman yang berada di Turki, sebelum meletusnya gerakan Ataturk. Disebabkan masyarakatnya yang selalu menggantungkan dan pengkultusannya kepada pemimpin, maka dinasti tersebut senantiasa tergilas dan hampir jatuh ketika belum menerimanya era kemodernan.

Iman sebagai Penangkal Kultus

Ketika melihat bahayanya dan berbagai macam ciri-ciri dari kultus tersebut, maka perlunya sebuah pola meningkatkan keimanan dalam setiap diri  manusia.

Syahadat pertama “Tiada Tuhan Selain Allah” sebagai kemestian pertama dan utama seseorang menerima Islam. Dan rumus syahadat terdiri dari nafy (peniadaan) dan itsbath (pengukuhan). Yaitu peniadaan suatu tuhan atau sesembahan apapun yang mutlak, dan pengukuhan adalah satu sesembahan saja yaitu Allah SWT, yang Maha Besar, Yang Maha Esa.

Baca Juga  Kesadaran Beriman Orang-Orang Modern

Mengapa rumus syahadat dimulai dari rangkaian kata negatif atau peniadaan. Adalah karena manusia secara alamiyahnya memiliki kecenderungan dan hasrat untuk memuja, menyembah, tunduk kepada sesuatu.

Dengan sikap persoalan bahwa setiap sikap pemujaan, penyembahan dan penundukan diri dengan sendirinya mengandung arti penyerahan kebebasan, sebagian atau seluruhnya bagi yang bersangkutan.

Oleh karena itu dalam diri manusia perlu adanya sebuah pembebasan tentang hal pengekangan sasaran pemujaan. Dengan pengucapan kalimat nafy atau peniadaan pada bagian pertama kalimat syahadat. Sasaran pemujaan itu tidak boleh membelenggu melainkan harus membebaskan. Sasaran pemujaan itu tidak semata-mata menguasai manusia, tetapi lebih spesifikasi lagi juga mencintainya.

***

Sebagaimana telah difirmankan “Dan mereka yang menjauhi thaghut dari menyembahnya, serta kembali kepada Allah, bagi mereka adalah kabar gembira (kebahagiaan). Maka berilah kabar gembira (hai Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku! Yaitu mereka yang mau mendengarkan perkataan (pendapat), lalu mengikuti yang terbaik dari padanya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang berfikir mendalam.” (Q 39 : 17 18)

Jikalau direnungkan secara lebih mendalam, maka akan ketemu sebuah titik di mana seseorang dapat menemui kabar gembira, apabila mampu menghindar dan membebaskan diri dari kemungkinan menyembah, memuja, atau berserah diri kepada thaghut. Para ulama ada yang mengartikan perkataan thaghut sebagai berhala.

Dinukil dari Al-Qur’an, tokoh yang sering ditutur sebagai epitom thaghut adala Fir’aun dari Mesir kuno. Yang mana peristiwa tersebut ketika perintah dari Allah SWT kepada Musa, tentang seruan Tuhan kepada Fir’aun yang sekaligus disertai keterangan bahwa Fir’aun adalah seorang yang thagha (berperangai dan bertindak sebagai thaghut), yaitu menciptakan suasana masyarakat yang tiranik.

Baca Juga  Problem Pernikahan Dini yang Tak Kunjung Usai

Kemudian sikap kritis yang perlunya melakukan suatu penimbangan terhadap suatu perkara, sehingga dapat diketahui mana yang terbaik, adalah akibat langsung dari pandangan dasar. Bahwa, manusia itu tidak memuliki kebenaran mutak. Dan pertanda orang bersangkutan adalah tergolong mereka yang berpikir mendalam (ulu al-albab).

Avatar
4 posts

About author
Mahasiswa pondok hajjah nuriyyah shabran ums 2018, program study ilmu al Qur'an dan Tafsir, asal Lampung , organisasi IMM
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *