Tanggal 22 Februari, 15 tahun silam (2005), bangsa ini telah kehilangan salah satu putra terbaiknya. Tepatnya pada hari Selasa pukul 16.00 WIB, Kuntowijoyo, Guru Besar Emeritus pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), telah berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta. Beliau meninggal dalam usia 61 tahun setelah sebelumnya pada tahun 1991 mengidap penyakit meningo enchepalitis.
Konon, penyakit ini telah menghilangkan sebagian memori Kuntowijoyo. Penyakit ini juga yang mengakibatkan beliau mengalami kesulitan untuk berkomunikasi. Namun, satu hal yang patut dicontoh darinya: sekalipun penyakit meningo enchepalitis telah merampas sebagian memorinya, tetapi tidak menjadi penghambat baginya untuk menulis dan berkarya.
Tokoh yang satu ini dikenal sebagai sejarawan, budayawan, sastrawan, cendekiawan, dan akademisi kritis. Karya-karyanya dalam bentuk buku seperti: Paradigma Islam dan Politik Islam. Karya-karyanya dalam bentuk artikel telah bertebaran di media massa nasional. Sementara karya-karya beliau dalam bentuk cerpen dan novel seperti: Mantera Penjinak Ular, Khotbah Di Atas Bukit, Isyarat, Impian Amerika, dan lain-lain. Beberapa novel dan cerpennya telah mendapatkan penilaian dan penghargaan dari beberapa lembaga nasional maupun internasional. Misalnya, untuk cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga memperoleh penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999) dan novel Mantera Penjinak Ular memperoleh penghargaan dari Majlis Sastra Asia Tenggara (2001).
Karya-karya Kuntowijoyo dalam bentuk buku telah diakui oleh kalangan cendekiawan Indonesia melalui teori-teori sosial kritisnya. Bahkan, dalam buku Paradigma Islam, Kuntowijoyo telah meletakkan suatu dasar paradigma ilmu sosial yang berbasis pada “kesadaran profetik” (ilmu sosial profetik). Paradigma baru tersebut kemudian terus bergulir sampai saat ini dan telah menambah khazanah keilmuan tersendiri bagi dunia intelektual Islam di Indonesia.
Kuntowijoyo mengungkap suatu konsep struktural dalam ilmu sosial berbasis pada kesadaran profetik. Berdasarkan pada surat Ali Imran ayat 110, terdapat sintesis antara tiga pilar keilmuan sekaligus, yaitu “humanisme”, “liberalisme” dan aspek “transendensi”. Dalam konsep terakhir ini, aspek transendensi dalam ajaran Islam membentuk struktur yang sifatnya transendental.
Struktur tersebut meliputi: 1) Tauhid, sebagai struktur paling utama (dasar) dalam ajaran Islam, atau merupakan manifestasi dari prinsip lailaha illallah; 2) Akidah, yang kemudian termanifestasikan dalam keyakinan (iman); 3) Ibadah, yang kemudian diterjemahkan ke dalam ritual-ritual; 4) Akhlak, yang kemudian diterjemahkan dalam etika dan moral; 5) Syariah, yang kemudian diterjemahkan secara nyata dalam perilaku normative; 6) Muamalah, yang kemudian diterjemahkan dalam sikap hidup sehari-hari (M. Fahmi, 2004).
Struktur-struktur tersebut sebenarnya terbagi dalam dua kategori, yaitu “struktur dalam” dan “struktur permukaan” (manifestasi). Struktur dalam itulah kemudian disebut sebagai “struktur transendental.”
Kerangka konseptual sebagai dasar-dasar pembentukan paradigma ilmu sosial profetik tersebut jelas berbeda dengan paradigma strukturalisme yang pernah berkembang di Barat. Oleh karena itu, konsep-konsep yang digagas oleh Kuntowijoyo telah membuka cakrawala baru berkaitan dengan paradigma ilmu sosial baru. Tidak berlebihan kiranya jika kita menyebut Kuntowijoyo sebagai bapak “Strukturalisme Transendental.” Beliau telah telah meletakkan prinsip-prinsip dasar bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial profetik.
Editor: Arif