Inspiring

Kuntowijoyo, Sastrawan yang Cemerlang

4 Mins read

Walaupun karya sastra merupakan sebuah hasil kegiatan imajinatif, namun tidak dapat disangkal kembali bahwa ia menyimpan bejibun tata nilai figur yang telah ditaburkan pengarang di dalamnya. Hal ini tentunya dikarenakan karya sastra menjadi potret dari realitas hidup didukung oleh segala ziarah dan penjelajahan yang telah dilalui oleh pengarangnya.

Sehingga sangat wajar apabila karya sastra dikatakan mampu membawa perubahan bagi para pembacanya, entah dalam misi berdakwah, menyebarkan agama Islam, ataupun untuk gerakan kemanusiaan. Ini mungkin saja yang menjadi alasan Kuntowijoyo dalam menciptakan semua racikan-racikan profetiknya.

Pengarang karya sastra dikenal sebagai wakil masyarakatnya. Dengan begitu, tentu saja ia akan berteriak tentang keadaan sosial masyarakat yang diwakili olehnya. Sebagai seorang budayawan, Kuntowijoyo juga dikenal dengan seorang sastrawan yang cemerlang.

Bahkan dalam suatu narasi, Budayawan Ainun Najib menuturkan bahwa Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang tekun dan orang yang luar biasa. “Pak Kunto tidak pernah mati. Karena itu ia tak bisa digantikan oleh siapapun. Namun kita juga tidak boleh kehilangan dia,” begitu katanya saat melepas kepergian Kuntowijoyo dilansir dari laman resmi detiknews.

Kuntowijoyo dan Misi Pencerahannya

Kuntowijoyo merupakan budayawan yang sangat mengenal nilai keluhuran seni. Baginya, seni adalah perpaduan antara olah rasa masyarakat dan keyakinan kepada Sang Pencipta. Pun dengan sastra. Ia menekankan bahwa sastra bisa menjadi ruh pencerahan, selaras dengan konsep profetiknya.

Abu Kasan Sapari berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya, kalau ada yang benjol-benjol dalam masyarakat, seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api, seni akan menyiraminya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, Abu Kasan Sapari berpendapat bahwa seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni (Kuntowijoyo dalam “Mantra Pejinak Ular”, 2000: 153).

Baca Juga  Kaidah Demokrasi Versi Kuntowijoyo

Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian itu membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh, kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap, Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.” (Kuntowijoyo dalam “Mantra Pejinak Ular”, 2000: 83).

Tidak ada orang Jawa yang lain. Juga camat, juga kepala polisi. Ah, tahunya apa camat-camat sekarang. Adu jago saja patohan, membuat candra sengkala mesti ke Pak Mantri. Inilah kelirunya. Zaman dulu pegawai itu mesti tahu sastra. Bukan sekadar bisa baca tulis (Kuntowijoyo dalam “Pasar”, 2002: 63-64).

***

Seni itu seperti air, terlihat jelas bahwa Kuntowijoyo mengusulkan pandangan bahwa seni mempunyai tanggung jawab untuk menempatkan diri sebagai anasir keseimbangan terhadap anasir-anasir lainnya.

Kesenian itu membujuk, kekuasaan memaksa. Ia adalah bentuk lain dari kekuasaan dengan batas dan wujud yang berbeda. Ia pun seharusnya memberikan kesadaran kepada khalayak dengan keluhuran-keluhuran yang dikandungnya. Ini dilandasi oleh dunia religius profetik milik Kuntowijoyo dan segala maklumat sastra profetiknya.

Ia mengatakan bahwa sastra itu bagain dari ibadah. Ibadah yang bukan hanya mengedepankan jangkauan Tuhan, namun juga harus mampu menjejak bumi, menggandeng masyarakat. Inilah mengapa Kuntowijoyo sangat kesal saat kesenian ataupun sastra dijadikan alat politisasi, komersialisasi, maupun dehumanisasi. Sangat tidak wangun, tidak bijak bestari dan akan berimbas tidak baik, anggapnya.

Racikan Sastra Profetik Kuntowijoyo

Dengan melihat pandangan profetiknya, itu bukan hanya sekadar konsep tanpa aplikasi. Ketika membaca di setiap karya-karyanya, sangat terlihat di setiap karya pasti setidaknya tidak luput akan tiga hal; humanisasi (‘amar ma’ruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minunna billaah).

Baca Juga  Penggambaran Sifat Religius dalam Tiga Cerpen Kuntowijoyo

Rumusnya adalah kebahagiaan bagi orang banyak. Sesuaikanlah kepentinganmu dengan kepentingan yang lebih besar. Inilah yang diperbuat Arjuna ketika menghadapi Resi Bima. Tidak salah lagi, pahlawan itu mencintai musuhnya, yang juga moyangnya. Tetapi layapkanlah dirimu bersama tujuan yang mulia. Muliakanlah dirimu bersama dengan kepentingan manusia. Mungkin itu menyiksamu. Menyedihkanmu. Menyengsarakanmu. Tetapi apa arti setitik air dalam samudera luas? Dan siapakah sangkamu Adipati Karna itu? Ia tahu Pandawa itu saudaranya sendiri. Tetapi ia memihak Kurawa, padahal sudah jelas bahwa ia akan hancur? Mengapa? Ia seorang pemberani. Dia itu menempatkan dirinya sebagai bagian dari warga yang hidup di Astina. Ia adalah bagian dari negara itu. Ia hanya satu bagian yang harus ikut dalam arus besar yang disebut Perang Baratayuda.” (Kuntowijoyo dalam “Pasar”, 2002: 270-271)

“Ah, lebih baik beras itu diberikan pada fakir miskin daripada burung!” (Kuntowijoyo dalam “Pasar”, 2002: 254)

***

Dua kutipan dari salah satu karya Kuntowijoyo ini, cukup mewakliki ruh sastra profetiknya. Ia bersuara tentang gerakan humanis dan filantropis. Kuntowijoyo ingin mengajak untuk memuliakan diri dengan berusaha melayani khalayak masyarakat. Memberikan keteladanan, memupuk tanggung jawab kebersamaan, hingga menanamkan jiwa-jiwa filantropis.

Hal ini didasari adanya lapisan sosial berdasarkan kelas yang pada dasarnya akan menjadi hal utopis jika ingin menghilangkannya. Sehingga Kuntowijoyo memberikan usulan untuk membangun keseimbangan interaksi sosial hingga melahirkan timbal balik yang positif. Ia ingin interaksi sosial di kalangan masyarakat itu dilakukan dalam rangka mencapai kebersamaan tanpa menciderai sesamanya dan tetap dibarengi dengan nilai religius sebagai kontrol hubungan transedental.

Ketika Pendekar Tingkat Desa ada tanda-tanda hamil, Pendekar Tingkat II mengusulkan seorang dukun yang bisa menggugurkan. Tapi Pendekar menolak, “Ini bayi, bayiku sendiri. Jangan gelem mangan nangkane, emoh pulute.” (Kuntowijoyo dalam “Waspirin dan Satinah”, 2003: 115).

Baca Juga  Mengapa Kristen jatuh Sekuler dan Islam tetap Autentik?

“Jangan, Pak. Seperti kata peribahasa itu namanya ‘air susu dibalas dengan air comberan’.” (Kuntowijoyo dalam “Waspirin dan Satinah”, 2003: 219)

Di dalam karya Kuntowijoyo selalu bertabur anasir-anasir keteladanan. Tentunya ini adalah bentuk reaksi dari seorang Kuntowijoyo saat melihat realita masyarakat Indonesia. Ia memandang bahwa bangsa Indonesia berkali-kali mengalami dekadensi nilai dan moral. Akar dari masalah tersebut karena adanya krisis keteladanan, tidak ada rujukan yang bisa dianut dalam berperangai.

Bahkan kuntowijoyo pernah mengatakan bahwa generasi muda sudah menjadi yatim piatu, berjuang menghadapi gejolak dunia tanpa ada gandengan, tidak ada orang tua bak dilempar dalam dunia asing. Sehingga ketidaksadaran bertingkah merugikan bukanlah suatu yang ganjil. Sering, bahkan selalu dilakukan. Inilah mengapa Kuntowijaya, berangkat dari sastra profetiknya; ia berupaya untuk menyebarkan nafas-nafas mencerahkan. Menjadi cermin edukasi guna mengejewantahkan setiap idealismenya. “Inilah cara bagi saya untuk mengabdi pada Tuhan dan tanah air,” tulisnya dalam Maklumat Sastra Profetik.

Editor: Yahya FR

Eka Nur Wahyuni
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds