Dalam bulan Ramadan ini, pimpinan kampus Muhammadiyah di mana saya mengabdi mewajibkan dosen dan karyawan untuk menyaksikan kajian-kajian Ramadan yang disiarkan melalui kanal YouTube resmi milik UMM (Universitas Muhammadiyah Malang). Kajian ini adalah bagian dari agenda Baitul Arqam, agenda yang biasanya diselenggarakan untuk mendidik calon aktivis Muhammadiyah.
Seandainya tidak ada pandemi, seyogyanya kegiatan itu dilakukan dengan metode tatap muka seperti biasa. Para dosen dan karyawan akan dikumpulkan dalam satu forum dan belajar serta berdiskusi dengan pemateri-pemateri yang biasanya tokoh-tokoh Muhammadiyah atau perintis UMM.
Materi pertama yang bertema misi gerakan Muhammadiyah dibawakan oleh Ayahanda Pradana Boy, PhD. Ia seorang intelektual Muda alumni NUS, Singapura dan ANU, Australia. Seperti kami, Dr. Pradana Boy juga dosen di UMM. Bedanya, ia sudah 10 tahun lebih dahulu merasakan asam garam mengabdi di UMM.
Sementara mayoritas kami, para audiens ini baru bekerja paling lama 5 tahun. Ketika kami masuk, kampus ini gedungnya sudah menjulang megah, jadi primadona bagi mahasiswa luar Jawa dan hashtag-nya selalu viral di media.
Sebagaimana yang bisa kita tebak dari Mas Boy, begitu kami biasa merujuknya, ceramahnya penuh dengan data-data historis dan teori-teori. Meski demikian, seluruhnya tersusun secara sistematik dan dibawakan dengan bahasa yang lugas sehingga mudah dimengerti.
Mas Boy pula bukan pembicara yang senang bermanis-manis, ia dengan segera akan menuju ke inti pembicaraannya. Ia tidak ngalor-ngidul, berhaha-hihi, atau umbar kisah pribadi yang tidak relevan dengan materi. Ceramahnya padat, cerdas, aktual, dan penuh inspirasi bagi kami yang memang mau serius mengabdi di Muhammadiyah.
Dalam ceramah itu, Mas Boy menyugesti agar kami sebagai bagian dari Amal Usaha Muhammadiyah turut aktif menggembirakan dakwah Muhammadiyah. Mas Boy sendiri berkesesuaian antara teori dan praktiknya, sebagaimana dia juga aktivis Muhammadiyah sejak masih sekolah menengah hingga puncaknya menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur di tengah kepadatan jadwalnya sebagai dosen di UMM beberapa waktu silam.
***
Sebagian rekan sejawat saya ada yang kurang berkenan. Ada yang bertanya, misalnya, ”Apakah kalau kerja di perusahaan Muhammadiyah maka harus turut bergabung ke organisasi Muhammadiyah?”. Juga ada yang tanya, ”Kalau saya sudah bergabung di Ormas lain, maka apa saya harus ‘murtad’ ke Muhammadiyah? Dan, bagaimana jika saya memilih bertahan saja disana? Apakah saya akan dipecat?”
Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menyiratkan kritik kepada himbauan Mas Boy untuk aktif di Muhammadiyah. Seolah, Muhammadiyah adalah organisasi yang kerap memaksa. Organisasi yang sedikit kader sehingga harus merekrut anggota dari pegawai yang bekerja di Amal Usahanya. Seolah pula Muhammadiyah adalah organisasi intoleran yang tidak bisa menghargai kemajemukan gerakan sebagai rahmat Tuhan.
Jika saja mereka menyaksikan dengan seksama, pastilah mereka dapat menangkap yang dimaksudkan sesungguhnya oleh Mas Boy. Bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang multinasional, besar di segala aspek, dan memahaminya begitu sulit sekalipun kita sudah beraktivisme di Muhammadiyah begitu lama.
Bermuhammadiyah juga tidak satu ragam. Anda bisa jadi Muhammadiyah secara organisasi, namun berideologi berbeda. Atau Anda bisa jadi bermuhammadiyah, namun menyerap pula manhaj dari gerakan maupun ideologi lain. Anda bisa ber-munu (Muhammadiyah-NU), ber-musa (Muhammadiyah-Salafi), ber-munas (Muhammadiyah-Nasionalis), dan sebagainya.
Muhammadiyah bukan organisasi politik yang butuh massa untuk memenangkan pemilu. Ia juga tidak mencari kader dengan buaian-buaian murahan sekelas mie instan atau kaos bergambar Ketua Umumnya. Muhammadiyah tidak juga menggantungkan diri pada sosok tokoh karismatik, yang retorikanya membius akal sehingga taklid atas apa pun arahan pemimpinnya.
Sebaliknya, Muhammadiyah adalah organisasi amal. Orang-orangnya rela berkorban harta dan nyawa demi Muhammadiyah. Aset yang melimpah dan tersebar merata di seluruh penjuru nusantara bukan pemberian cuma-cuma dari politikus pencari suara. Semua itu diawali dari iuran anggota, dan pengorbanan para pengabdi Muhammadiyah yang tidak mencari makan di Muhammadiyah.
***
Kader Muhammadiyah jelas bukan kader yang menye-menye. Mereka rela dikirim ke pelosok daerah, berdakwah di perkampungan dengan akses yang sulit dan gaji yang hanya Allah yang tau dari mana datangnya. Sesulit apa pun medan perjuangan, kader Muhammadiyah pantang sambat, mengeluh. Film Laskar Pelangi adalah satu di antara bukti hebatnya perjuangan kader Muhammadiyah yang terlepas dari bermacam keterbatasan, dapat menghasilkan murid yang bisa berkuliah di Sorbonne, Prancis.
Aktivis Muhammadiyah juga bukan aktivis kosong. Mereka orang-orang yang terdidik yang gigih belajar untuk membangun agamanya. Gelar doktor dan profesor dari berbagai bidang sudah jamak. Sebut saja bidang keilmuan apa, Muhammadiyah pasti punya seorang kader yang pakar di sana.
Kepakaran dalam keilmuan adalah penting bagi Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu yang senantiasa berada di garis depan untuk mengentaskan umat Islam dari kebodohan. Kader Muhammadiyah selalu yang paling pertama berinovasi dan karenanya sering dihujat, karena ide-ide mereka selalu melampaui zamannya.
Lahirnya kader-kader itu tentu melibatkan proses yang bukan main. Mereka harus menempuh berbagai tempaan. Belajar Muhammadiyah tidak dari buku-buku atau ceramah satu ke ceramah yang lain. Melainkan lewat pengabdian-pengabdian yang tak kenal habisnya untuk persyarikatan.
Untuk sebab itu, kenapa Amal Usaha Muhammadiyah juga besar, bukan karena uluran tangan orang lain dan support politik tertentu, tapi kehebatan para kader yang aktif di AUM dalam menjalankan organisasi.
Kader Muhammadiyah sadar, bahwa AUM yang dikelola tidak profesional, tidak akan bisa berkompetisi dengan model bisnis lain yang sejenis. Modal ideologi saja tidak cukup, strategi usaha dan integritas dalam bekerja harus selalu dijunjung dalam mengelola AUM.
***
Namun ada satu ciri yang paling penting dari para aktivis Muhammadiyah yang tidak semua kader di organisasi Islam lain miliki. Ciri itu adalah keikhlasan yang mendalam. Mereka bekerja dan mewakafkan diri dengan penuh sadar, secara sukarela, dan penuh tanggung jawab. Bagi mereka, bekerja di Muhammadiyah adalah bekerja untuk agama. Artinya bermain-main dengan Muhammadiyah sama dengan bermain-main dengan agama pula.
Kader-kader Muhammadiyah boleh pandai sedikit langit, tapi apa pun prestasi mereka, itu disematkan untuk Muhammadiyah dan agamanya. Kader Muhammadiyah boleh puluhan tahun berdakwah, namun tidak boleh pamrih mengharap dielu-elu. Kader Muhammadiyah boleh membangun berbagai Amal Usaha untuk Muhammadiyah, namun semua itu kembali untuk Muhammadiyah, bukan untuknya pribadi. Begitulah menjadi kader Muhammadiyah, Ikhlas mengabdi, terbaik memberi.
Tentunya, sebagai organisasi yang berbasis keikhlasan, Muhammadiyah tidak memaksa seseorang mengabdi di Muhammadiyah. Pantang Muhammadiyah berbuat demikian. Sebab berjuang di Muhammadiyah sungguh berat, bila tidak kuat, silakan mundur segera. Toh di luar sana ada ribuan kader Muhammadiyah yang siap sedia kembali ke Muhammadiyah mana kala diperlukan. Tidak perlu khawatir Muhammadiyah akan kekurangan kader lantas memaksa seseorang menjadi kader.
Sekali lagi, tidak ada paksaan dalam bermuhammadiyah. Anda bebas, bermuhammadiyah atau tidak bermuhammadiyah.
La ikraha fimuhammadiyah!