Kontroversi Lagu “Aisyah Istri Rasulullah” terus berlanjut. Kali ini lagu yang banyak di-cover oleh Youtuber ini, mulai diramaikan dengan bermunculannyanya lagu-lagu alternatif. Di antaranya lagu dengan judul yang sama tapi lirik berbeda. Muncul pula lagu “Khadijah Istri Rasulullah” yang bertema sama tetapi tampil dengan warna yang berbeda.
Musik alternatif ini mulai berkontestasi di jagat media sosial untuk merebut hati masyarakat digital. Kemunculannya diiringi juga dengan narasi yang menyebutkan bahwa lagu-lagu alternatif ini dinilai lebih pas dan lebih sopan oleh para pengusungnya.
Percintaan “Alay” Rasulullah dan Aisyah
Dalam hermeneutika modern, pemahaman seseorang terhadap teks dipengaruhi oleh kondisi psikologis sekaligus konteks sosio-historis yang menyertai. Perbedaan kondisi psiko-sosio historis berpengaruh pada cara pandang terhadap suatu obyek sekaligus berdampak pada perbedaan cara menarasikan obyek tersebut. Perbedaan ini melahirkan perbedaan perspektif yang pada akhirnya melahirkan keragaman dalam mengekspresikan pemahaman terhadap satu obyek yang sama.
Kerangka teori ini dapat digunakan untuk memotret fenomena maraknya lagu alternatif dari lagu “Aisyah Istri Rasulullah”. Lagu-lagu alternatif yang muncul agak berbeda karakter. Lirik-liriknya lebih merepresentasikan percintaan orang dewasa. Ini berbeda dengan lagu “Aisyah Istri Rasulullah” yang merepresentasikan tema percintaan generasi muda yang cenderung alay.
Perbedaan budaya antar generasi ini menyebabkan adanya perbedaan konsep percintaan. Misalnya, dalam sudut pandang generasi muda, kata-kata “minum di bekas bibir”, “main lari-lari”, dan “mencubit hidung”, bisa saja diiringi banyangan asyiknya percintaan yang dilakukan generasi mereka di cafe-cafe, taman, pantai, atau di tempat-tempat romantis lainnya.
Mendengar lagu ini, generasi muda akan menilai percintaan Aisyah dan Rasulullah dengan kalimat ekspresif “so sweet”, sebagaimana yang diekspresikan juga dalam lirik lagu tersebut. Gambaran percintaan seperti ini tentu sangat sesuai dengan kultur alay yang mendominasi generasi muda sekarang ini. Dalam bahasa generasi muda, mereka akan mengekspresikan gambaran percintaan itu dengan kalimat gue banget!
Situasi kebatinan seperti ini tidak akan dimiliki oleh generasi yang lebih tua. Apalagi bagi yang memiliki literasi luas tentang kondisi sosio-historis era agraris empat belas abad yang lalu. Mereka tentu memiliki banyangan yang sangat jauh berbeda. Wajar jika generasi ini merasa tidak nyaman dengan percintaan “alay” ala Rasulullah dan Aisyah.
Namun mereka juga tidak bisa menolak karena secara tekstual lirik lagu ini bersumber dari referensi yang cukup otoritatif. Meskipun demikian, rasa tetap berbeda. Karena itulah mereka rata-rata cenderung mengusung dan mempromosikan lagu alternatif di media sosial dengan titipan narasi “lebih sopan”.
Tantangan Dakwah
Menampilkan percintaan Rasulullah dan Aisyah dalam balutan budaya alay bisa jadi memang tidak nyaman bagi sebagian orang, khususnya generasi “kolonial” seperti saya. Namun kenyataannya tampilan ini dapat diterima dengan sangat luas di kalangan generasi muda. Ini dibuktikan dengan viralnya lagu ini.
Saya agak yakin kalau lagu-lagu alternatif yang ditawarkan tidak akan sesukses lagu ini. Bukan semata-mata karena lagu alternatif ini sekedar menjadi follower bukan trendsetter, tapi dikarenakan tuntutan budaya alay yang lebih mendominasi generasi muda muslim sekarang ini.
Fenomena ini menjadi catatan bagi para pegiat dakwah. Selama ini kegiatan dakwah masih dirasa sulit mendapatkan tempat dalam diri generasi muda. Ini dikarenakan dakwah ditampilkan dalam budaya masa lalu yang didominasi oleh karakter yang mapan, berisi khotbah, dan bersifat doktriner.
Akibatnya, generasi muda belajar sesuatu di luar dirinya dan di luar budayanya. Inilah yang menyebabkan secara umum kegiatan dakwah cukup sulit menyatu dalam diri generasi muda.
Melalui lagu ini, pesan bahwa hubungan cinta Rasulullah dan Aisyah adalah percintaan sepasang suami istri yang romantis dapat diterima oleh generasi muda. Walaupun tampilan keromantisan itu terbatas ruang dan waktu, namun esensinya bukanlah praktik keromantisan zaman dulu atau zaman sekarang.
Esensinya adalah pelajaran bahwa percintaan sepasang suami istri itu harus dibangun di atas suasana yang romantis dan egaliter di antara kedua pasangan. Khayalan tentang dunia rumah tangga yang romantis dan egaliter dapat dijadikan sebagai pintu masuk bagi generasi muda untuk menyiapkan masa depan mereka yang romantis penuh kebahagiaan sekaligus memperoleh keridaan Tuhan. Dalam konteks ini, kemasan pesan yang ada dalam lagu sangat mudah diterima oleh generasi muda.
Kontroversi lagu “Aisyah Istri Rasulullah” ini memberikan beberapa pelajaran kepada para pegiat dakwah. Pertama, agar dakwah diterima oleh generasi muda maka agama harus ditampilkan dalam kondisi psikologis dan sosiologis anak muda.
***
Kedua, penerimaan oleh generasi muda perlu dijadikan sebagai tujuan utama sekaligus antara. Tujuan utama dimaksudkan agar generasi muda dekat dengan tradisi keagamaan. Sedangkan tujuan antara dimaksudkan agar kedekatan ini dijadikan sebagai pintu masuk bagi generasi muda untuk mendalami agama lebih lanjut.
Ketiga, perlu kreativitas dari para pegiat dakwah agar agama bisa ditampilkan dalam budaya yang sesuai dengan karakteristik generasi muda.
Pendekatan ini harus dijadikan pilihan bagi para pegiat dakwah agar generasi muda lebih mudah menerima agama dalam budaya mereka. Jika tidak, agama hanya akan diterima secara eksklusif oleh sebagian kecil generasi muda. Ini akan mengarah pada timbulnya eksklusivitas dalam dakwah.
Sementara eksklusivitas dakwah bisa mengarah pada keberagamaan generasi muda yang cenderung radikal yang tentunya tidak sesuai dengan karakter Muhammadiyah yang mengusung bendera Islam wasatiyah dan juga keberagamaan bangsa Indonesia yang moderat dan rahmatan lil alamin.