IBTimes.ID – Daerah metropolitan seperti Jabodetabek memang sering menyisakan masalah pelik. Banyak kasus-kasus kekerasan berbasis agama hidup dan berkembang di kota-kota besar. Kultur masyarakat perkotaan yang individualis dan instan menjadi inang yang cocok bagi virus intoleransi dan radikal.
Namun, tentu saja tidak semua daerah perkotaan memiliki corak yang sama. Di Kampung Sawah, Kota Bekasi, Jawa Barat, terjadi praktik baik toleransi yang layak untuk dijadikan pelajaran bagi seluruh umat beragama. Di daerah tersebut, terdapat segitiga emas, sebuah istilah untuk menyebut tiga tempat ibadah beda agama yang berdekatan dan berdampingan.
Tiga tempat ibadah tersebut antara lain Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi, Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah, dan Gereja St. Servatius. Masjid mewakili agama Islam, GKP mewakili Kristen Protestan, dan Gereja St. Servatius mewakili Kristen Katholik. Segitiga emas ini dijaga oleh ketiga umat beragama di Kampung Sawah.
Di daerah ini, toleransi bukanlah sebuah konsep atau teori yang harus dipelajari di ruang kelas. Toleransi sudah menjadi denyut nadi warga Kampung Sawah. Ia menyatu bersama dengan aliran darah setiap warga. Konon, toleransi ini telah dipraktikkan sejah zaman Belanda. Tak heran, dua gereja segitiga emas tersebut telah berdiri sejak abad ke-19. Sedangkan Masjid Agung justru baru berdiri pada tahun 1965.
Toleransi di Kampung Sawah, salah satunya disebabkan oleh ikatan darah yang ada. Dulu, banyak terjadi proses perkawinan lintas agama. Hal ini membuat masyarakat awal Kampung Sawah menjadi begitu biasa dengan perbedaan agama. Maka, banyak keluarga di Kampung Sawah yang anggotanya berbeda-beda agama. Bahkan, ada suami-istri yang beda agama, dan anak-anaknya pun juga memeluk agama yang berbeda.
Umat beragama yang tengah merayakan hari raya biasa berkunjung ke umat beragama lain dan saling memberikan hadiah atau makanan. Hal ini byukan berarti mengikuti peribadatan agama lain, melainkan sebagai bentuk silaturahmi kepada tetangga. Di tahun baru, sebagai hari raya universal yang dirayakan oleh seluruh umat beragama, warga Kampung Sawah saling bersalaman, berkeliling, dan membaur tanpa sekat.
Saat Natal, umat Islam akan membantu mengamankan lingkungan. Mereka mengatur lalu lintas dan parkir kendaraan para jemaat Sebaliknya, ketika hari raya Idulfitri atau Iduladha, umat Kristiani akan turut mengamankan. Perilaku seperti ini sudah mendarah daging di Kampung Sawah. Mereka juga saling bertukar lahan parkir jika sedang merayakan hari raya.
Kampung Sawah kini terbagi menjadi beberapa kelurahan. Secara administratif, sebagian wilayah Kampung Sawah terletak di Jatiwarna, Jatimelati, Jatimurni (Kecamatan Pondok Melati Kota Bekasi), dan Jatiranggon (Kecamatan Jatisampurna Kota Bekasi).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kecamatan Pondok Melati 2016, jumlah penduduk berdasarkan agama adalah sebagai berikut. Di Kelurahan Jatiwarna ada 17.187 penduduk beragama Islam, Kristen 782, Katolik 612, Hindu 453, dan Budha 533.
Di Kelurahan Jatimelati ada 10.112 orang Islam, 2.240 Kristen, 2.098 Katolik, 85 Hindu, dan 192 Budha. Di Kelurahan Jatimurni, ada 15.423 orang Islam, 2.581 Kristen, 5.153 Katolik, 625 Hindu, dan 726 Budha. Di Kelurahan Jatiwarna ada 9 mesjid dan 7 musala. Di Jatimelati ada 11 mesjid, 3 musala, dan 4 gereja. Di Jatimurni ada 16 mesjid, 2 musala, dan 12 gereja.
Berdasarkan data BPS Kecamatan Jatisampurna 2017, di Kelurahan Jatiranggon ada 21.229 penduduk beragama Islam, 1.628 Kristen, 459 Katolik, 59 Budha, 104 Hindu, 15 Konghucu, dan 73 lainnya. Ada 20 mesjid, 19 musala, dan 2 gereja Kristen
Dengan komposisi masyarakat yang begitu majemuk, tidak pernah ada gesekan antar agama sedikitpun di Kampung Sawah. Bahkan, jika ada ceramah atau khutbah yang isinya menyerang agama lain, maka pengkhutbah tersebut tidak diizinkan untuk berkhutbah lagi.
Reporter: Yusuf
Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.