Report

Potret Toleransi di Masjid Syuhada dan Gereja HKBP Kotabaru, Jogja

2 Mins read

IBTimes.ID Kotabaru, Yogyakarta baru saja menjadi pembicaraan netizen di media sosial. Pasalnya, pada Sabtu (13/11/2021) ada salah satu kedai makanan di Kotabaru yang digruduk ratusan driver ojol. Konon, masa yang menggruduk mencapai 800 driver. Aksi masa tersebut dipicu oleh cek cok antara karyawan kedai tersebut dengan seorang driver pada siang hari.

Pada malamnya, 800 driver ojol mendatangi kedai dan menyampaikan beberapa tuntutan. Antara lain kedai tersebut harus ditutup, karyawan yang dianggap melakukan pelanggaran harus dipecat dan diproses hukum. Kasus tersebut berakhir damai setelah kedua belah pihak bertemu beberapa jam kemudian.

Kotabaru adalah salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta. Ia berbatasan dengan Kelurahan Terban, Kelurahan Klitren, Kelurahan Bausasran, dan Kelurahan Gowongan, Jetis. Kotabaru adalah daerah yang menarik. Selain karena terjadi aksi masa oleh driver ojol, di daerah tersebut juga terdapat cerita toleransi yang begitu apik.

Di Kotabaru terdapat dua tempat ibadah yang cukup representatif, yaitu Masjid Syuhada dan Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan). Keduanya, mewakili Islam dan Kristen Protestan memiliki corak keagamaan yang puritan. Masjid Syuhada memiliki kultur Muhammadiyah, sedangkan Gereja HKBP memiliki kultur Protestan.

Pada awalnya, Gereja HKBP merupakan bangunan Gereformeede Kerk Djogja. Bangunan gereja yang pada zaman penjajahan Belanda difungsikan sebagai tempat dansa dan musik Muziekenten. Pada masa pendudukan Jepang bangunan ini dipakai sebagai rumah tahanan wanita Belanda (Internerens Camp Belanda). Kemudian pada tahun 1940an banyak orang Batak datang ke Pulau Jawa, termasuk di Yogyakarta mengalihkan bangunan tersebut berfungsi kembali menjadi gereja.

Di antara kedua tempat ibadah tersebut terjadi kisah yang menarik. Gereja HKBP dibangun pada masa penjajahan Belanda tahun 1923. Kawasan tersebut didominasi oleh orang-orang Belanda. Pasca kemerdekaan, umat Islam di sekitar Gereja tersebut ingin mendirikan masjid, karena sebelumnya tidak memiliki masjid.

Baca Juga  Belajar Toleransi Otentik Muhammadiyah di UNIMAJU

Menariknya, sebelum Masjid Syuhada berhasil dibangun pada tahun 1952, umat muslim di sekitar Kotabaru sering meminjam Gereja HKBP untuk shalat jumat dan pengajian. Kisah ini ditulis oleh Nurainun Mangungsong dan Vita Fitria dalam jurnal “Jurnal Civics” Vol. 16 No. 1 Tahun 2019 berjudul Pancasila dan Toleransi Pada Tradisi Keagamaan Masyarakat Yogyakarta.

Menurut penelitian keduanya, Masjid Syuhada akhirnya bisa dibangun pada 1952 atas kesepakatan antara Ir. Soekarnom Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Ketua Yayasan Kanjeng Jatiningrat dari Keraton Yogyakarta.

Kedua tempat ibadah tersebut, karena jaraknya yang berdekatan, juga sering meminjamkan tempat parkir masing-masing. Jika masjid yang menjadi cagar budaya tersebut mengadakan kegiatan besar, maka ia akan meminjam tempat parkir Gereja, karena tempat parkir masjid saja tidak cukup. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya. Ketika Gereja HKBP mengadakan kegiatan besar, dan tempat parkirnya tidak cukup, maka ia akan meminjam tempat parkir di masjid.

Masjid Syuhada sebagai masjid yang relatif besar di Kota Yogyakarta memiliki berbagai macam kegiatan diantaranya adalah kajian rutin yang sudah terjadwal. Mulai dari Pengajian Putri Yogyakarta (PPY), pengajian Husnul Khotimah untuk para lansia, pengajian Al- Hijrah dan terakhir adalah pengajian Sajadah yang diadakan setiap sabtu pagi dan keliling di beberapa masjid yang ada di Yogyakarta.

Peran takmir masjid dan pengurus gereja begitu penting dalam menjaga toleransi di dua ikon agama tersebut. Menurut penelitian tersebut, pernah ada seorang muslim berpaham radikal yang ingin menggelar konsolidasi di Masjid Syuhada untuk aksi bela Islam di Jakarta. Namun, kegiatan tersebut tidak diizinkan oleh takmir masjid dan yayasan.

Hal tersebut adalah usaha untuk menjaga masjid dari segala bentuk politik praktis, sekaligus menjaga keharmonisan masjid dengan masyarakat. Yayasan dan takmir Masjid Syuhada tidak pernah melarang jamaahnya untuk mengikuti aksi apapun, selama tidak membawa nama masjid atau yayasan.

Baca Juga  Pelatihan LOVE, Ikhtiar MAARIF Institute untuk Menguatkan Nilai Inklusi Sosial-Keagamaan

Reporter: Yusuf

Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI.

Avatar
1341 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanan Haedar Nashir sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…
Report

Hamim Ilyas: Islam Rahmatan Lil Alamin Tidak Sebatas Jargon

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan, Islam Rahmatan Lil Alamin harusnya tidak sebatas jargon belaka,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *