Siang itu, Farah sedang mengerjakan tugas kuliah di kamar salah temannya bernama Marshela Kristian. Shela, panggilan akrab Marshela, merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia adalah penganut Kristen Protestan yang cukup relijius.
Saban hari, ia melakukan Pujaan Penyembahan. Pujian itu ia nyanyikan setiap hari di kamar kontrakannya. Ia juga selalu membaca Al Kitab berukuran A5 yang ia letakkan di salah satu sudut kamar. Ia membaca Al Kitab setiap hari. Di salah satu dinding kamarnya juga ada salib berukuran 30 cm tergantung.
Kontrakannya tak jauh dari UNS, dekat dengan Rumah Sakit Jiwa Kentingan, Solo. Di rumah itu, ia tinggal bertiga dengan teman muslimnya. Sebelumnya, Farah terbilang cukup sering datang ke tempat Shela. Mereka adalah teman sekelas sejak awal kuliah dulu. Suara adzan sayup-sayup menembus dinding kamar Shela.
Biasanya, Farah akan shalat di ruang tengah. Namun, siang itu, ruang tengah sedang berantakan sehingga tidak nyaman digunakan untuk shalat. Tanpa Farah sadari, Shela merapikan kamarnya. Ia membersihkan satu space ruangan di sudut kamar. Ia ingat, dulu ia pernah mendapatkan bingkisan sajadah ketika acara nikahan temannya. Sajadah yang tersimpan rapi di lemari tanpa pernah ia sentuh, akhirnya ia keluarkan.
“Nih, shalat di sini aja. Pake sajadah ini. Ini nggak pernah aku pake,” ujar Shela kepada Farah.
Sontak Farah kaget. “Loh nggak di depan aja?” tanyanya.
Shela menjelaskan bahwa ruang depan sedang tidak nyaman digunakan untuk shalat.
“Udah di sini aja. Ini udah aku siapin.”
Farah kemudian salat di kamar tersebut. Mengingat pertemanannya dengan orang-orang non muslim, ia sama sekali tidak terganggu ketika harus menunaikan salat di tempat tersebut. Saat itu, ia tengah menunaikan shalat ashar.
Pada pukul 17.00, Farah membaca berita yang berseliweran di ponselnya, tentang anak-anak yang merusak makam Kristen di Solo. Awalnya, ia merasa berita itu hanya hoaks. Namun, setelah ia cek di beberapa media mainstream, mereka juga menampilkan berita tersebut. Farah tidak habis pikir, apa yang ada di benak anak-anak tersebut. Bahkan, masa remaja pun belum mereka rasakan.
“Shel, baca nih,” pintanya kepada Shela.
“Maafin saudara-saudaraku ya,” imbuhnya setelah Shela membaca berita itu sambil menghela nafas panjang.
“Nggak papa rah. Aku udah biasa sama cerita-cerita kaya gitu,” jawab Shela.
***
Kisah itu diceritakan oleh Shela. Selain aktivis Persatuan Mahasiswa Kristen (PMK), ia juga merupakan aktivis Peace Generation. Di Peace Generation, Shela berupaya memberikan pemahaman kepada anak-anak muda bahwa sungguh tidak ada masalah dengan perbedaan. Toh, sejatinya setiap manusia itu berbeda. Jadi, tidak ada alasan sama sekali untuk menolak perbedaan. Maka, sejatinya manusia bisa hidup dengan penuh kedamaian kendati penuh dengan perbedaan pula.
Ketertarikan terhadap kampanye perdamaian ia rasakan sejak kecil. Sebagai orang yang lahir dengan identitas minoritas, ia kerapkali mendapatkan ‘bully’an dari teman-teman sebayanya. “Eh itu babi ya?” ejek teman SMPnya ketika ia membawa bekal makanan ke sekolah. Kalimat-kalimat itu tentu membuat hatinya sakit. Namun, sebagai minoritas yang hidup di Indonesia, ia bisa apa?
Ia kemudian bertekat agar perundungan terhadap minoritas berhenti di dirinya. Ia tidak ingin anak cucunya kelak mendapatkan perundungan yang sama. Maka ia bergabung dengan berbagai komunitas perdamaian.
Sebagai aktivis, ia tidak hanya mengkampanyekan nilai-nilai yang ia anggap benar. Ia juga mempraktikkan laku toleransi dalam hidupnya. Ia dengan tulus berteman dengan orang-orang muslim maupun agama lain. Di sisi lain, ia menyadari bahwa perjuangan mewujudkan perdamaian dan toleransi tidak mudah.
Pada saat ia tengah menjalani hubungan yang begitu harmonis dengan umat beragama lain, justru ada sebagian orang yang merusak makam umat beragama lain. Hatinya begitu tersayat. Padahal, ia telah mengorbankan begitu banyak hal. Bahkan, ia rela mengenakan jilbab ketika harus menjadi fasilitator perdamaian di sebuah pesantren di Sukoharjo. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada resistensi terhadap kehadiran dirinya.
Kita sama-sama berdoa, semoga semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya nilai-nilai toleransi dan perdamaian, di tengah menguatnya virus kebencian dan prasangka yang difasilitasi oleh media sosial. Kita berdoa agar api perdamaian dan toleransi selalu menyala, menyinari kehidupan di atas muka bumi. Amin.
Editor: Yusuf
Konten ini hasil kerja sama IBTimes dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI