Saat ini penggunaan media sosial di masyarakat tidak asing lagi, terutama dalam penerimaan informasi dari telepon seluler. Pengguna ponsel di Indonesia menurut survei We Are Social pada tahun 2019 berjumlah 355,5 juta (We Are Social, 2019). Ini membuktikan penerimaan sumber informasi di masyarakat Indonesia begitu cepat.
Definisi informasi menurut Gordon B. Davis (1991: 28) data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi pengambilan keputusan saat ini atau mendatang. Dari definisi di atas membuktikan bahwa informasi yang valid tentu akan berpengaruh terhadap seseorang yang akan mengambil keputusan.
Saat ini, banyak masyarakat kita yang cepat mendapatkan informasi dari media sosial. Hasil survei Hootsuite We Are Social, dari 268,2 juta penduduk Indonesia, 83% dari populasi tersebut merupakan pengguna aplikasi Whatsapp, 81%-nya adalah pengguna Facebook, dan pengguna Instagram berada di 80% dari populasi penduduk Indonesia. sedangkan waktu penggunaan media sosial rata-rata Masyarakat Indonesia sebanyak 3 jam 26 menit (We Are Social, 2019).
Maka tidak aneh sebagian masyarakat Indonesia memperoleh informasi dari media sosial, namun masalahnya adalah tidak semua informasi di media sosial terbukti kebenarannya, terkadang masih saja banyak berita bohong yang bertebaran di masyarakat.
Penyebab Hoax Bertambah Subur
Di tengah wabah covid19 pada awal tahun ini, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) per 1 April 2020 telah menemukan 405 berita bohong (hoax) tentang Virus Korona (katadata, 2020). Sedangkan, data dari Agustus 2018 hingga November 2019 Kominfo menemukan konten berita bohong sebanyak 3.901 konten hoax (Detik.com).
Hoax Politik mendominasi sebanyak 973 konten hoax, Pemerintahan sebanyak 743 konten hoax bahkan kesehatan berjumlah 401 konten hoax. Tentu ditengah pandemi ini berita bohong cukup bertebaran di media sosial. Sehingga meningkatnya konten hoax hingga April 2020 berjumlah 405 konten.
Lalu mengapa konten hoax terus meningkat? Tentu bagi sebagian oknum merupakan keuntungan ketika menciptakan konten hoax. Lalu mengapa masyarakat masih menerima dan menyebarkan? Menurut penulis ada beberapa penyebab kenapa sebagian masyarakat cepat membagikan konten hoax ke media sosial.
Pertama, karena sebagian masyarakat kita masih latah menghadapi konten hoax ini sehingga masih mudahnya membagikan konten hoax. Apalagi jika ada tanda pagar atau hastag “Bagikan jika kamu peduli” atau tanda pagar lain yang berupa ajakan. Maka secara refleks otak dan jari pun langsung membagikan konten hoax tersebut.
Kedua, masyarakat Indonesia masih mempunyai mimpi yang cukup tinggi dengan cara mudah atau ingin sesuatu dengan cara mudah. Contoh saja banyak konten hoax tentang pulsa gratis ataupun konten hoax tentang dunia kerja.
Sebagian masyarakat kita masih sering melakukan hal ini terutama yang baru mengenal media sosial ataupun yang hanya mengetahui media sosial sebagai sarana hiburan saja. Tidak mengetahui dampak yang terjadi ketika kita menekan link gratis kuota tersebut sehingga ponsel yang mengekliknya terkena malware dan akhirnya terhubung ke suatu website yang banyak iklannya. Ini cukup menguntungkan bagi si creator hoax ini.
***
Ketiga, sebagian masyarakat Indonesia juga masih ketakutan terhadap suatu hal yang mengerikan seperti halnya sebuah penyakit. Contoh ditengah pandemi covid 19 ini, banyak hoax yang berisi ancaman ataupun cara sembuh dengan cepat. Karena merasa takut terhadap covid 19 sehingga konten hoax tentang pencegahan covid19 penting dibagikan untuk seluruh anggota keluarganya atau bahkan seluruh lingkungannya. Padahal yang dibagikan merupakan berita bohong.
Contoh lain adalah hoax tentang pencegahan penyakit paru dan penyakit lainnya dengan cara yang tidak sesuai dengan ilmiah bahkan tidak masuk akal, sehingga cukup menyesatkan bagi masyarakat jika masyarakat mengikuti anjuran dari berita-berita hoax tersebut.
Kesadaran adalah Sebuah Solusi
Untuk mengurangi kasus berita bohong atau bahkan menghapuskannya masih belum bisa kita lakukan jika sebagian masyarakat kita masih memiliki perilaku-perilaku yang penulis sebutkan di atas tentu akan sulit untuk menguranginya. Sehingga pastinya kasus hoax akan terus bertambah dan terjadi pembatasan kecerdasan karena terus”disuapi” berita bohong.
Namun penulis akan mencoba memberikan sebuah solusi yang bisa dilakukan sebagai kerja sama pemerintah dan masyarakat yang sudah paham akan hoax untuk mengurangi kasus-kasus hoax. Pertama membangun kesadaran anak muda untuk sadar akan hoax. Kenapa anak muda? Anak muda bisa menyosialisasikan tentang bahaya hoax dan pencegahan hoax baik ke umur yang lebih tua ataupun lebih muda. Serta anak muda mempunyai daya pikir yang kritis sehingga bisa menyeleksi yang mana berita hoax yang mana berita valid.
Selain itu anak muda juga bisa menggunakan daya kreatif untuk membuat kampanye pencegahan hoax ke sesama anak muda dengan media-media yang menarik. Sehingga dengan satu anak muda mengajak 10 anak muda lainnya untuk mengkampanyekan gerakan pencegahan hoax. Cepat atau lambat kasus hoax akan terus berkurang.
Kedua. Kolaborasi antar komunitas dan organisasi untuk kampanye pencegahan hoax. Komunitas dan Organisasi memiliki banyak anggota sehingga bisa kampanye pencegahan hoax secara masif. Melalui kolaborasi ini juga bisa mengajak masyarakat secara luas karena tidak sedikit komunitas dan organisasi yang memiliki tokoh yang diikuti oleh masyarakat secara luas.
***
Ketiga, memaksimalkan peran pemerintah. Pemerintah saat ini sudah melakukan kampanye pencegahan hoax tetapi belum maksimal, pemerintah dapat melakukan kampanye secara masif di media elektronik hingga media sosial. Pemerintah dapat membayar media untuk kampanye pencegahan hoax dengan singkat jelas dan padat.
Selain itu pemerintah dapat membayar Influencer untuk ikut mengkampanyekan pencegahan hoax karena banyak Influencer yang diikuti juga oleh masyarakat awam. Sehingga pemerintah bisa maksimal melaksanakan kampanye anti hoax ini.
Tentu solusi dan permasalahan diatas hanya sedikit catatan yang penulis lihat dalam menanggapi kasus hoax yang terus bertambah. Dengan artikel ini penulis juga untuk mengajak gerakan #Berhentidikamu jika menerima konten – konten hoax di berbagai media sosial.