Ketika COVID-19 atau virus korona merebak di Wuhan, lalu menjalar masuk ke beberapa negara Asia, seperti Korea, Thailand, Singapura, bahkan Malaysia, saat itu Indonesia masih “merasa” aman-aman saja. Bahkan pendatang China masih leluasa keluar masuk ke negara ini.
Ketika itu, saya sempat menulis sebuah artikel singkat dengan judul Luar Biasa, Indonesia itu Kebal! Tulisan itu sempat dimuat oleh banyak media nasional. Salah satunya di sini.
Tulisan saya sebenarnya bukan takjub. Justru saya heran kok masalah korona ini disikapi Indonesia secara biasa-biasa saja. Bahkan ada pejabat tinggi negara saat itu mengatakan bahwa Indonesia itu negara tropis dan panas. Karenanya, virus itu tidak akan bertahan. Sebuah pernyataan yang tidak rasional karena udara negara-negara tetangga Thailand, Singapura, dan Malaysia, persis sama saja dengan udara Indonesia.
Belakangan, justru di saat Singapura dan negara-negara tetangga lain mulai keluar dari krisis, Indonesia justru menjadi episentrum di Asia. Semua pihak baru kelabakan dan kebingungan bagaimana menghadapi pandemi yang mematikan ini.
Setelah beberapa saat kemudian dinyatakan membaik, tiba-tiba COVID-19 kembali mengganas. Memaksa beberapa daerah untuk memperlakukan PSBB (pembatasan sosial berskala besar). Jakarta mengistilahkan “menarik rem darurat”.
Ada apa yang terjadi? Kenapa korona masih juga meninggi di negara ini?
Dalam dua hari ini saja, saya dikejutkan oleh beberapa berita tentang orang besar yang saya kenal dan terdampak korona. Salah satunya adalah Dubes Dino Patti Djalal, mantan Wamenlu dan mantan Dubes RI untuk Amerika Serikat.
Bahkan, pagi ini saya kembali dikejutkan dengan berita meninggalnya Bapak Saefullah, Sekda DKI, seorang tokoh Betawi, meninggal dunia karena korona.
Pengalaman Amerika
Amerika saat ini saya kira sedang ditimpa cobaan besar. Selain gonjang ganjing politik, bahkan krisis politik dan kepemimpinan, cobaan terbesar Amerika adalah kenyataan bahwa kendati dikenal sebagai negara super power, Amerika menjadi negara dengan korban kasus maupun kematian tertinggi di dunia karena korona.
Hingga pagi ini, sudah lebih 6 juta kasus dan hampir 200 ribu yang meninggal dunia akibat COVID-19. Belum lagi permasalahan eokonomi, sosial, pengangguran, dan lain-lain. Dan semua ini terjadi di tengah memanasnya perpolitikan di negara ini.
Sebab Amerika Menjadi Negara dengan Kasus Korona Tertinggi
Saya melihat ada beberapa penyebab utama kenapa Amerika terkapar berat oleh korona ini.
Pertama, kelambatan mengambil tindakan ketika virus ini pertama kali masuk ke negara ini. Bahkan ketika itu, Presiden Trump sempat mengatakan, “This is hoax and will go away like a wind (ini hanya hoax dan akan hilang seperti angin)”. Juga pernah mengatakan virus ini akan hilang dengan “miracle” (mukjizat).
Kedua, karena memang Amerika sedang berada di musim politik, isu korona kemudian dijadikan isu politik. Kritikan Demokrat atas kelambanan Trump menangani korona disikapi oleh Trump dan Republican secara politis. Sehingga semua masukan atau usulan Demokrat dianggap sebagai tekanan politik.
Ketiga, tidak adanya koordinasi yang baik antara pemerintahan federal dan pemerintahan lokal (Gubernur/Walikota). Apalagi Amerika memang berbentuk negara federal. Sehingga seringkali hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak harmoni, Khususnya ketika mereka berbeda partai politik.
Keempat, masih adanya elemen-elemen pengambil kebijakan yang tidak atau kurang mengambil “science” (ilmu) sebagai solusi terhadap masalah ini. Sehingga, seringkali dalam merespon masalah korona ini sikap politik lebih dikedepankan ketimbang pertimbangan keilmuan.
Kelima, di beberapa daerah yang terpengaruh oleh sikap politik para elit di negara ini, menjadi tidak disiplin dalam menjaga semua aturan-aturan untuk melawan virus ini. Hal ini terjadi khususnya di daerah-daerah yang dikuasai oleh Republican. Memakai masker misalnya dianggap “politisasi”. Bahkan korona itu sendiri dianggap isu politik dan hoax.
Keenam, adanya elemen-elemen masyarakat yang beragama secara fatalis. Barangkali mirip dengan mereka yang berpandangan “jabariyah” dalam perdebatan konsep qadar dalam agama Islam. Mereka meyakini bahwa dengan percaya Tuhan, semua akan selesai dengan sendirinya.
Ketujuh, memang ada juga kalangan yang masih kurang disiplin dalam menjaga semua aturan yang ada untuk melawan virus ini. Khususnya kalangan anak-anak muda yang merasa sehat dan kuat. Itu terjadi khususnya di kalangan kampus ketika musim sekolah kembali dibuka.
Tanggalkan Mazhab Politik!
Tentu, semua poin di atas sangat penting untuk menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Korona ini nyata. Bukan mainan (joke) apalagi diada-ada (hoak).
Karenanya, menghadapinya diperlukan kesungguhan, kedisiplinan, dan tentunya kerja keras dan kerbersamaan semua pihak. Semua pihak itu artinya pemimpin politik dan agama, tokoh masyarakat, tokoh bisnis, hingga kepada para pendidik, budayawan, dan masyarakat umum.
Semua harus mengambil peranannya dalam memerangi virus ini. Dan untuk memerangi virus ini, diperlukan kebersamaan dalam kejauhan. Unik memang. Bersama tapi berjarak.
Tapi yang terpenting dari semua itu, yang ingin saya ingatkan adalah mereka yang berada di posisi kepemimpinan, khususnya kepemimpinan politik, agar menjaga kebersamaan dalam menghadapinya.
Isu korona adalah isu hidup manusia. Karenanya, jadikan isu ini sebagai isu “darurat” yang seharusnya dikedepankan di atas segala kepentingan apapun, termasuk kepentingan kelompok. Apalagi kepentingan itu sekedar kepentingan politik sesaat.
Saya berkali-kali menyampaikan agar kiranya dalam menyikapi masalah korona ini, hendaknya “warna atau madzhab politik” untuk sementara dikesampingkan. Bangun kebersamaan dengan menjadikan keselamatan bangsa secara keseluruhan sebagai prioritàs utama.
Jika kebersamaan ini terbangun, akan terwujud kebijakan yang baik, dan dengan dukungan kedisiplinan warga, insyaAllah peperangan melawan COVID-19 ini akan kita menangkan.
Saya bangga dengan New York State dan New York City, kampung saya saat ini. Dari eipisentrum dengan tingkat kematian tertinggi, kini menjadi daerah/kota yang cukup aman untuk beraktivitas. Walau tentunya kehati-hatian itu selalu dijaga.
InsyaAllah dengan usaha keras, kerjasama dan koordinasi yang baik, kedisiplinan tinggi, dan dengan doa serta tawakal, semua ini akan kita lalui dengan baik. InsyaAllah!