Learning from home yang diterapkan di Indonesia selama masa pandemi bisa menjadi awal revolusi pendidikan. Namun, ada berapa catatan yang patut diperhatikan.
Catatan Minus Learning From Home
Dampak Learning from home tidak semuanya positif, ada banyak sekali catatan minus yang perlu menjadi perhatian kita khususnya para pendidik dan pengambil kebijakan.
Pertama, ketimpangan digital yang semakin lebar. Beberapa hari lalu viral seorang pengajar sekolah dasar asal Sumenep, namanya Pak guru Avan Fathurahman yang menggungah aktivitas belajar dirumah melalui akun Facebooknya.
Pak guru Avan mendatangi satu persatu siswa ke rumahnya meski dengan jarak yang jauh. Diakui olehnya aktivitas tersebut melanggar himbauan pemerintah untuk tidak melakukan kontak fisik disaat masa pandemi karena berpotensi menjadi pintu masuk penyebaran Covid 19.
Namun apa daya, banyak siswa sekolah tersebut tidak memiliki smartphone bahkan Televisi. Karena dedikasi yang tinggi bagi pendidikan membuatnya mengambil keputusan berat dengan mengunjungi satu persatu siswanya. Realitas Pak Avan adalah potret kebanyakan pendidikan kita. Maka menjadi penting pemerataan infrastruktur teknologi yang akan berdampak pada kualitas pendidikan kita.
Kedua, Beban tambahan bagi orang tua. Tugas anak adalah tugas orang tua juga ketika dibawa kerumah. Banyak keluhan dari wali murid akan banyaknya tugas harian yang mau tidak mau melibatkan orang tua.
Bagi orang tua yang punya latar pendidikan cukup baik saja merasa kewalahan, apalagi orang tua yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik, bahkan mungkin tidak lulus SD pasti akan sangat merepotkan. Meski kurikulum menuntut para guru untuk membuat daily report, perlu penyesuain agar tidak terlalu membebani kognitif siswa.
Ketiga, Situasi pembelajaran yang tidak kondusif. Fokus, kedisiplinan dan pengawasan akan lebih mudah dilakukan guru dan siswa saat di kelas. Namun saat di rumah bisa jadi ambyar karena gangguan gangguan sekitar seperti televisi, game dan aktivitas dirumah lainnya.
Keempat, Belajar dari rumah mudah membuat bosan karena tidak ada interaksi dengan orang lain selain keluarga, walhasil mereka akan mencari aktivitas yang lain. Kita berharap pandemi segera berakhir dan pembelajaran bisa kembali dilakukan secara normal.
Babak Baru Pendidikan Indonesia
Pendidikan Indonesia akan mengalami episode baru dalam sejarah. Ujian Nasional telah dihapuskan, perjalanan panjang Ujian Nasional dimulai dari Ujian Penghabisan (1950-1965), Ujian Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS, 1980-2001), Ujian Akhir Nasional (2002-2004), Ujian Nasional (2005-2012), Ujian Nasional Berbasis Komputer (2014-2015) hingga Ujian Nasional (UN) dihapus pada tahun 2020.
Ada atau tidaknya pandemi saat ini, penulis berkeyakinan UN tetap akan dihapuskan oleh Mas Menteri. Beberapa kritik tentang UN seperti materi yang terlalu padat sehingga siswa dan guru cenderung menguji penguasaan konten, bukan kompetensi penalaran.
UN menjadi beban bagi siswa, guru dan orangtua karena menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu. UN seharusnya berfungsi untuk pemetaan mutu sistem pendidikan nasional, bukan penilaian siswa. UN hanya menilai aspek kognitif dari hasil belajar, belum menyentuh karakter dan potensi siswa secara menyeluruh.
UN sebagai satu-satunya syarat kelulusan membuat pressure bagi setiap siswa sehingga membuat kelelahan fisik dan mental. UN dianggap penilaian yang tidak adil, belajar bertahun tahun di tentukan oleh beberapa mata pelajaran melalui multiple choice. Ditambah karena tuntutan nilai membuat guru & murid lakukan manipulasi dan kecurangan. Berdasar UU Sistem Pendidikan Nasional evaluasi itu ada pada guru dan kelulusan ada di sekolah.
Bersatu Membenahi Pendidikan
Melalui pernyataan Mendikbud pada laman resmi kemdikbud.go.id, pada tahun 2021 Ujian Nasional akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Terdiri dari terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi) dan penguatan pendidikan karakter.
Kebijakan ini mengacu pada praktik baik di level internasional seperti PISA dan TIMSS. Selama ini ukuran standar siswa berprestasi adalah nilai kognitif, padahal setiap individu di lahirkan dengan potensi, bakat dan keunikan masing-masing.
Penulis berharap dengan tradisi-tradisi baru yang sedang kita lakukan menggunakan teknologi dalam dunia pendidikan selama masa pandemi ini dan dihapuskannya UN mampu merubah wajah pendidikan hari ini dan di masa depan.
Kemampuan kognitif matematik bukan satu-satunya ukuran kecerdasan individu. Masih ada kecerdasan lingustik, karakter, kinestetik, musical, interpersonal, intrapersonal dan lainnnya sebagaimana teori Multiple Intelligences yang sangat revolusioner milik Howard Gardner (1993).
Saatnya semua elemen bangsa ini bersatu, bertekad membenahi pendidikan. Sehingga tak adalagi adagium yang menyebut Pendidikan di Indonesia itu siswanya siswa abad 21, gurunya guru abad 20 dan sekolahnya sekolah abad 19.
***
Kemajuan teknologi yang cepat menuntut kesigapan anak Indonesia yang berkualitas dan berkarakter. Tanpa itu semua, negeri ini hanya menjadi bangsa penonton dibanding dengan negara lain di dunia. Rasanya masa depan itu sudah semakin dekat dengan segala keterbatasan dan kekuatan yang kita miliki.
Esok setelah pandemi ini berakhir kita akan bersiap menghadapi kenyataan bahwa pendidikan, sekolah, kelas akan semakin meriah dan bergairah dengan budaya, optimisme, dan harapan baru.
Editor: Nabhan