Oleh: M Husnaini
Sudah lama saya mengintip buku Lentera Kehidupan. Sejak masih berupa draf dan sering diunggah penulisnya di Facebook, saya sudah berniat membelinya. Saya menyukai karya-karya Profesor Mulyadhi Kartanegara. Pemikiran-pemikiran pakar filsafat dan tasawuf ini mengagumkan, namun selalu dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami. Membaca buku Prof Mulyadhi, seberat apa pun masalah yang dikupas, seperti mengalir begitu saja, dan tahu-tahu khatam.
Pertanyaan Penting dan Filosofis
Buku berjudul “Lentera Kehidupan” ini. Menurut saya, buku ini berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan penting dan filosofis seputar Tuhan, alam, dan manusia. Argumen-argumen yang dikemukakan Prof Mulyadhi sulit dibantah, karena menggunakan berbagai pendekatan disertai bukti-bukti yang kuat.
Pertanyaan tentang apakah Tuhan itu ada dan bagaimana membuktikannya, padahal kita tidak pernah dapat melihat-Nya, dijawab Prof Mulyadhi dengan tiga argumen, yaitu argumen kosmologis, argumen ontologis, dan argumen teleologis. Berikutnya, tentang tauhid. Berbeda dengan pembagian tauhid yang selama ini kita kenal, Prof Mulyadhi membagi tauhid menjadi tiga kategori, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid wujudiyah.
Dua tauhid pertama dan kedua, pasti kita sudah banyak tahu. Tetapi, untuk memahami apa yang dimaksud dengan tauhid wujudiyah, juga berbagai versinya, silakan membuka halaman 38-47 dari buku kece ini.
Yang menarik pula dari buku ini, Prof Mulyadhi tidak sekadar menuangkan berbagai pendapat pakar. Lebih dari itu, Prof Mulyadhi kerap melakukan kompromi dari dua, bahkan beberapa, pendapat yang berseberangan. Dalam konteks ini, Prof Mulyadhi telah menjadi—meminjam istilah fikih—mujtahid mutlak atas masalah-masalah kontroversial yang sedang dibahas.
Lentera Kehidupan dan Tauhid Wujudiyah
Contoh yang bisa disebut, misalnya, tentang transendensi dan imanensi Tuhan. Transendensi mengatakan bahwa Tuhan melampaui batas-batas dunia fisik dan bersifat metafisik, sehingga tidak tampak pada indra manusia. Sementara itu, imanensi memahami Tuhan sebagai amat dekat. Tuhan, menurut pandangan imanensi, tidak dipandang sebagai sesuatu yang berada di luar diri, tetapi justru berada di lubuk hati manusia yang terdalam.
Pandangan imanensi itulah yang kemudian menyebabkan Al-Hallaj mengatakan, “Akulah Kebenaran (Tuhan)” dan Abu Yazid Al-Busthami menyatakan, “Mahasuci Aku”. Tentu saja, ungkapan tersebut dipandang menyimpang, dan kedua tokoh sufi itu dihukum bunuh. Namun, Prof Mulyadhi berhasil melakukan pendekatan antara transendensi dan imanensi dengan menggunakan dalil surah As-Sajdah/32: 4-5. Prof Mulyadhi, dengan demikian, telah bertindak sebagai mufasir, sebagaimana dapat kita baca penjelasannya secara rinci dalam halaman 54-56.
Kemudian, dalam bab “Alam”, uraian Prof Mulyadhi juga sangat mengagumkan. Berbicara tentang teori penciptaan alam, misalnya, Prof Mulyadhi membeberkan teori-teori ilmuwan muslim tanpa terjebak pada pemahaman yang cenderung sempit, literal, dan simplistis. Sebagai ilmuwan muslim, Prof Mulyadhi ternyata piawai menjelaskan fenomena alam dengan mengambil hujah dari sumber-sumber non-Islam, dari era klasih hingga modern.
Pemaparan tentang dependensi dan otonomi alam lebih keren lagi. Dari halaman 106-130, Prof Mulyadhi berlompatan dari teori ke teori seputar ketergantungan dan kemandirian alam terhadap Tuhan. Berpijak pada berbagai pendapat dari ilmuwan muslim dan ilmuwan non-muslim, yang semuanya berat, Prof Mulyadhi mampu menyajikannya secara mudah dimengerti pikiran awam.
Sementara dalam bab “Manusia”, pembahasan sangat menarik, bagi saya, adalah tentang takdir. Berbekal pandangan Jalaluddin Rumi tentang amanah, Prof Mulyadhi telah membawa pembaca keluar dari perdebatan klasik soal takdir yang selama ini melahirkan dua kutub ekstrem, yaitu aliran Jabariah dan aliran Qadariah.
Belum lagi tafsir dinamis Prof Mulyadhi atas hadis Rasulullah yang berbicara tentang rezeki, ajal, dan jodoh. Apakah rezeki manusia sudah ditentukan Allah, bagaimana Allah menakdirkan ajal dan jodoh manusia, kemudian di mana posisi kebebasan manusia sebagai makhluk berdaya dan berakal, kita dapat membaca penjelasan gamblang itu di halaman 194-206.
Tiga Perkara Sensitif
Bagaimana memahami takdir rezeki, dan apakah orang yang mati bunuh diri itu memang ditentukan ajalnya oleh Tuhan untuk meninggal secara demikian? Pun, benarkah jodoh sudah ditentukan, dan bagaimana pula memahami pasangan yang menikah kemudian beberapa waktu setelah itu bercerai?
Ketiga perkara sensitif itu diulas secara bagus dan rasional. Dan, satu lagi. Penjabaran kenapa manusia disebut “alam kecil” dan alam disebut “manusia besar” juga sayang jika dilewatkan.
Buku setebal 296 ini benar-benar bagus dan wajib dibaca. Jika Anda termasuk orang sibuk dan tidak sempat membaca buku ini secara keseluruhan, silakan langsung menuju “Epilog”. Di situ, disarikan intisari buku Lentera Kehidupan dari bab ke bab. Dengan membaca “Epilog”, insya Allah Anda terbantu memahami isi buku secara utuh. Selamat membaca.