Dalam kehidupan masyarakat, terutama dari sosial, kita sering berjumpa dengan berbagai permasalahan. Bahkan dibeberapa hal, tak jarang kita melihat kejanggalan ketika dihadapkan dengan sebuah masalah, yang pastinya banyak sekali yang latar belakang yang menjadi runtutan dari sebuah masalah, salah satunya dari personal orang yang bermasalah. Tidak dipungkiri, memang itu menjadi salah satu faktor ketika kita memandang sebuah peristiwa, namun kadang juga dapat membuat kita lupa akan substansi topik yang ada.
Banyak kejadian yang membuat kita miris, seakan ada standar ganda, seakan berat sebelah, hanya karena perasaan suka dan tidak suka (like and dislike). Tentunya, hal ini masalah yang serius ketika dihadapkan dengan permasalahan yang serius pula. Sehingga, membuat kita menutup mata apabila kesalahan yang diperbuat oleh orang atau kelompok yang kita suka. Namun, kita bergegas bersuara saat yang berbuat salah adalah orang atau kelompok yang tidak di sukai. Maka, lahirlah ketidakadilan dalam memandang suatu permasalahan yang bersumber dari rasa bukan dari pokok masalah.
Ketika Like dan Dislike Menjadikan Ketidakadilan
Padahal, kita sudah diberi peringatan oleh Allah SWT tentang berlaku adil terhadap setiap mengambil keputusan dari suatu persoalan, dengan mengesampingkan perasaan like dan dislike tersebut. Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ma’idah: 8)
Ayat di atas sangat jelas, bahwa Allah SWT memerintahkan kita agar berlaku adil, entah orang atau kelompok yang melakukan kesalahan merupakan teman kita, saudara kita, atau justru yang paling kita benci. Maka dalam hal keadilan, tidak seharusnya didasari dengan rasa like atau dislike.
Apabila kita masih merasakan itu, maka bisa jadi kita berlaku tidak adil. Oleh sebab itu, ketika ada suatu masalah, seharusnya kita kembali kepada ayat Allah SWT tersebut. Kita harus memperlakukan suatu kelompok atau orang dengan sama saat melakukan sebuah kesalahan yang sama, mau siapapun orangnya, apapun golongannya, di mata hukum semuanya setara.
Dalam mitologi Yunani, dengan memakai lambang “Sang Dewi Keadilan” yang bernama Themis yang matanya ditutup oleh kain hitam, sebagai tanda bahwa hukum tidak melihat siapapun orangnya, semua diperlakukan secara sama. Sebagaimana salah satu asas dalam hukum acara pidana, “Equality Before The Law“, semuanya sama di mata hukum.
Oleh karena itu, kita yang sebagai manusia biasa, haruslah melihat sesuatu permasalahan itu fokus terhadap objek (pokok masalah), bukan melihat siapa orangnya. Bukan karena faktor suka atau tidak suka terhadap personal, namun memandangnya dari inti permasalahan. Agar kita dapat berlaku adil ketika bersikap dan berucap, meski seorang raja jika melakukan kesalahan maka tetap salah. Meski yang bersalah adalah kerabat kita, maka kita juga berlaku sebagaimana mestinya.
Like and Dislike dan Fanatisme Buta
Sekarang ini, tidak jarang kita melihat hal semacam ini. Fanatisme yang buta, membuat mereka yang tidak kita sukai, akan selalu terlihat salah di mata kita. Begitupun sebaliknya, mereka yang kita suka, akan selalu baik di mata kita meski melakukan kesalahan. Dari Abu Hurairah radiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺃَﺣْﺒِﺐْ ﺣَﺒِﻴﺒَﻚَ ﻫَﻮْﻧًﺎ ﻣَﺎ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺑَﻐِﻴْﻀَﻚَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻣَﺎ، ﻭَﺃَﺑْﻐِﺾْ ﺑَﻐِﻴْﻀَﻚَ ﻫَﻮْﻧًﺎ ﻣَﺎ ﻋَﺴَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﺣَﺒِﻴﺒَﻚَ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻣَﺎ
“Cintailah orang yang kamu cintai sekadarnya. Bisa jadi orang yang sekarang kamu cintai suatu hari nanti kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci sekadarnya, bisa jadi di suatu hari nanti dia menjadi orang yang kamu cintai.” (HR. At-Tirmidzi no. 1997 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 178).
Dari hadis di atas, kita telah jauh hari diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW, kita tidak diperbolehkan terlalu memiliki sifat fanatik yang berlebihan. Fanatik berlebihan terhadap seseorang, kelompok, atau bahkan terhadap persepsi diri sendiri (egois).
Dalam hal-hal tertentu, fanatik memang baik, seperti terhadap keyakinan (iman dan akidah), namun akan menjadi tidak baik ketika fanatik tersebut menjadikan kita berlaku tidak adil, seperti dengan mudahnya menuduh mereka yang berbeda dengan kita atau prinsip diri kita.
Oleh karena itu, ketika orang yang kita suka namun melakukan kesalahan, maka kita juga harus mengakui kesalahannya, serta mengingatkannya, dalam artian memberikan nasihat agar tidak mengulangi kesalahan tersebut, begitu pula sebaliknya.
Apabila sifat fanatisme kita tidak buta, maka rasa like dan dislike juga tidak mendominasi dalam sudut pandang serta pola pikir kita. Sehingga, saat ada masalah, kita dapat fokus terhadap permasalahan, memandang masalah secara objektif, dan keadilan akan hadir di tengah-tengah masyarakat yang menghadirkan manfaat.
***
Berlaku adil memang sangatlah berat, apalagi ketika kita dihadapkan dengan permasalahan yang melibatkan orang yang secara personal dekat dengan kita. Namun, keadilan akan ada saat kita mengesampingkan perasaan suka atau tidak suka (like and dislike) terhadap personal yang sedang menghadapi permasalahan. Dalam kehidupan sosial, politik, ataupun beragama, kita masih sering menjumpai hal tersebut. Tetapi, di negeri yang sangat menjunjung hukum sebagai payung keadilan, maka sudah seharusnya kita mengambil dan memakai asas hukum saat melihat suatu masalah. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, hal ini selaras pula dalam hukum agama. Semuanya sama di mata Allah SWT, yang membedakan hanyalah ketakwaan.
Maka, sebagai orang yang beriman serta sebagai warga negara yang baik, sudah seharusnyalah kita berlaku adil kepada sesama manusia. Melihat suatu persoalan dari subtansi permasalahan, secara objektif. Bukan berdasarkan like atau dislike, apalagi rasa sentimen pribadi. Sehingga keadilan akan ada dalam kehidupan, jika keadilan sudah merata dan ada, kesejahteraan serta ketentraman akan tercipta dengan sendirinya. Keharmonisan hubungan, kehangatan persaudaraan, serta kerukunan antar sesama dapat terjalin dan kita termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk. Sebagaimana firman Allah SWT.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103).
Editor: Yahya FR