Akhlak

Politik Moral, Korupsi, dan Etika Pancasila

3 Mins read

Sistem politik dan pemilu yang bebas, fair, dan dedemokratis setelah rezim Orde Baru (Orba) telah berlangsung sejak tahun 1999. Lima orang presiden, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Sukarnoputeri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, secara berturut-turut telah menggantikan Soeharto. Namun obsesi pemerintah yang bersih, bertanggung jawab, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme masih terus ada.

Harapan masyarakat agar pemerintah menjalakan tugas sesuai cita-cita founding fathers kita. Cenderung hanya sebagai mimpi indah di siang bolong. Betapa tidak, karut marut dinamika politik hampir tidak pernah berhenti menghantui perjalanan bangsa kita hingga detik ini. Adapun Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Pencapain tersebut justru berbanding terbalik dengan tata kelola politik dan kinerja pemerintah yang justru tidak pernah membaik secar signifikan.

Seperti ditulis Larry Diamond, tatkala hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia meningkat pesat dan signifikan dibandingkan Tailand dan Filipina. Di sisi lain kualitas tata kelola negara, pemerintahan, kebijakan, penegakan hukum serta pemberatasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Justru relatif rendah dibandingkan Amaerika Serikat, India dan dua negara yang disebut di atas.

Ketika pemilu semakin bebas, demokratis dan langsung, justru kita cenderung krisis elit politik yang bermoral, lihat saja berapa banyak para elit politik, penyelenggara negara sering terungkap kasus korupsi. Penyalahgunaan APBN dan APBD perlahan-lahan bisa dibuka secara publik.

Korupsi dan Politik Transaksional

Etno politik transaksional atas dasar kepentingan sesaat dan jangka pendek sering mendominasi interaksi, kerjasama dan persaingan para elit politik pada setiap perhalatan pemilu. Jargon anti korupsi, penyalagunaan kekuasaan serta manipulasi kepentingan rakyat sering diwacanakan. Bahkan menjadi menu politik ketika berpidato, diucapkan dengan lantang oleh para elit politik dan penyelenggara negara tentang pentingnya memberantas korupsi dan mendahulukan kesejahteraan rakyat.

Baca Juga  Seni Dialog Orang Tua dan Anak ala Ibrahim

Ironinya semangat memberantasi korupsi, selalu beriringan dengan temuan-temuan baru kasus korupsi. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya mentri kelautan dan perikanan Edi Prabowo pada tanggal 25 November 2020. Kasus tindak pidana korupsi dalam perizinan usah dan pengelolaan perikanan atau komuditas perairan sejenis lainya tahun 2020. Termasuk mentri sosial Juliari P. Batubara pada tanggal 5 Desember 2020 kasus tindak pidana korupsi bantuan sosial Covid-19 jabodetabek tahun 2020.

Dilangsir dari situs resmi, KPK menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dan salah satunya adalah EP (Mentri kelautan dan perikanan), SF dan APM (Staf kusus mentri kelautan dan perikanan), SWD (Pengurus PT ACK, swasta), AF (Staf Istri Mentri kelautan dan perikanan), dan AM (Swasta). Satu orang lainya diduga sebagai pemberi yakni SJT (direktur PT DPPP, Swasta). KPK juga menetapkan lima orang tersangka salah satunya adalah JPB (Mentri sosial), MJS dan AW (Pejabat pembuat komitmen di kemensos) AM dan HS (swasta).

Dengan demikian, meminjam kata-kata Buya Ahmad Syafii Maarif yang menyatakan bahwa elit bangsa kita mengalami “mati rasa”. Penilain tersebut betolak dari keprihatinan realitas elit yang cenderung berorientasi kepada kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan ketimbang bangsa kita. Para elit yang harusnya memberikan teladan budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran dan idealisme. Justru berbanding terbalik malah mempertontonkan sikap yang melenceng dari nilai-nilai pancasila.

Etika Pancasila

Polemik bangsa akhir-akhir ini disebabkan para elit politik, peyelenggara negara tidak mengamalkan dan memahami pancasila. Satu sisi memahami pancasila hanya sebatas simbol bangsa, disisi lain  pengamalan secara nilai cenderung terkikis.  Baik di dalam bernegara, berbangsa maupun bermasyarakat, jelas bahwa dipersyaratkan suatu sikap prilaku yang sesuai idiologi pancasila. Tentang sikap prilaku bangsa Indonesia digariskan bahwa kita harus memelihara budi pekerti kemanusiaan dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Baca Juga  Etika ‘Transenden’ Anti Korupsi, Seperti apa Itu?

Tepatnya pada tahun 1978 dengan ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) dapat dirumuskan penuntun, dan pegangan hidup  dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rumusan ini dikenal dengan 36 butir sikap prilaku berdasarkan ekapersetia pancakarsa, atau pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila, disingkat menjadi (P4). Pada dasarnya sasaran utama dari (P4) yaitu melahirkan manusia Indonesia seutuhnya. Kuutuhan disini bukan berarti harus menjadi manusia yang sempurna secara fisik, namun, keutuhan sikap prilaku (etika) agar dapat mengembang fungsi yang digariskan di dalam idiologi pancasila

Yang dimaksud manusia untuh secara etis ialah bahwa manusia tersebut mengilhami nilai-nilai: (1) mengejar kemajuan lahir seperti sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan sebagainya secara serasi, selaras dan seimbang dengan kepuasan batinia seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, rasa keadilan yang sebagainya.

(2). Ada keselarasan hubungan manusia dengan tuhanya dan juga keselarasan antara cita-cita hidup didunia dan mengejar serta mencapai kebahagiaan di akhirat. (3). Ada keselarasan antara sesama manusia, serta lingkungan alam sekitarnya, dan keserasian antar bangsa. Dan yang terahir (4). Menjunjung nilai keserbaselarasan hubungan antar kehidupan manusia dan masyarakat.

Empat pokok –pokok nilai inilah yang menetukan sikap prilaku (etika) manusia, pemimpin Indonesia sehingga mampu mengemban tugas membentuk masyarakat yang maju, adil dan makmur, berdasarkan pancasila.

Keutuhan Manusia

Dengan demikian bahwa berdasarkan ideologi pancasila, keutuhan manusia bukan dicapai dengan memperoleh kekayaan dan kekuasaan sebesar-besarnya seperti yang diajarkan dalam teori Machiavelli, atau keutuhan dicapai dengan kemurnia ras, seperti diajarkan teori Nazli, atau keutuhan diperoleh karena keanggotaan seseorang pada lapisan buru sebagaimana diajarkan oleh teori Marxis, ataukah keutuhan karena seseorang memperoleh kebebasan sebesar-besarnya seperti ajaran individualism.

Namun yang dimaksud dengan keutuhan (etis/etika) yaitu pemimpin yang mempunyai sikap prilaku, mendukung nilai-nilai dasar tersubut dan mengamalkan 36 butir sikap prilaku tentang Ekaprasetia Pancakarsa atau Pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4).

Baca Juga  Pilkada di Tengah Covid-19: Ilusi dan Dosa Sosial

Jika nilai-nilai dasar dan sikap prilaku (P4) diamalkan oleh pemangku kekuasaan saat ini maka Indonesia  akan menuju pada cita-cita masyarakat adil, makmur dan sejahtera yang “thoybatun warobul ghofur”

Editor: Dhima Wahyu Sejati

Avatar
2 posts

About author
Warga Muhammadiyah
Articles
Related posts
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…
Akhlak

Hidup Sehat ala Rasulullah dengan Mengatur Pola Tidur

4 Mins read
Mengatur pola tidur adalah salah satu rahasia sehat Nabi Muhammad Saw. Sebab hidup yang berkualitas itu bukan hanya asupannya saja yang harus…
Akhlak

Jangan Biarkan Iri Hati Membelenggu Kebahagiaanmu

3 Mins read
Kebahagiaan merupakan hal penting yang menjadi tujuan semua manusia di muka bumi ini. Semua orang rela bekerja keras dan berusaha untuk mencapai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *