IBTimes.ID, Yogyakarta- Pada hari Kamis, 24 September 2020, Prof. Dr. Abdul Munip dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Studi Islam (Tarjamah) di hadapan Sidang Senat Terbuka Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Dalam pengukuhannya, Abdul Munip membacakan teks pidato pengukuhannya yang bertema “Penerjemahan Teks Berbahasa Arab dan Dinamika Studi Islam di Indonesia”.
Setelah menyinggung maraknya praktik penerjemahan buku-buku Arab ke dalam bahasa Indonesia dalam pidatonya, Abdul Munip menyebutkan beberapa dampak penerjemahan teks berbahasa Arab terhadap dinamika studi Islam di Indonesia.
Pertama, menurut Munip, penerjemahan tersebut menandai kebangkitan intelektualislme Islam di Indonesia. Menurutnya, pada saat mulai munculnya kerajaan Islam di Indonesia, seperti Kerajaan Pelak yang disinyalir sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, penerjemahan menjadi salah satu cara menyebarkan ilmu-ilmu keislaman kala itu.
“Beberapa karya terjemahan dan atau komentar terhadap kitab berbahasa Arab telah muncul pada era kerajaan ini. Abdur Rauf as-Sinkili (1615-1693 M) telah menulis buku yang berjudul Mir’ah at-Thullab pada tahun 1663 dalam bidang fikih atas permintaan Sultanah Safiyatuddin Syah (memerintah 1641-1675). Menurut Bruinnesan, karya as-Sinkili tersebut ternyata terjemahan dari kitab Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Ansari (wafat 926) dalam bahasa Melayu” kata Munip.
Kedua, terjemahan buku-buku berbahasa Arab menjadi bahan ajar pembelajaran. Munip melihat bahwasannya keberadaan buku-buku terjemahan dari bahasa Arab ini berdampak pada pendidikan Islam.
“Sejak lama, buku-buku terjemahan dari bahasa Arab telah menjadi bahan ajar di pesantren dan madrasah. Pendidikan Islam di Nusantara selama beberapa abad sangat kental dengan penggunaan aksara Pegon sebagai media untuk menuliskan ajaran Islam. Huruf Pegon ini digunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu maupun Jawa. Beberapa kitab kuning yang membahas berbagai aspek ajaran Islam sering diterjemahkan dan dijadikan sebagai bahan ajar di madrasah maupun sebagai media pembelajaran untuk masyarakat umum” ujar Munip.
Ketiga, karya terjemahan juga dipakai untuk mengkritik praktik Islam tradisional. Menurut Munip, buku-buku terjemahan tersebut umumnya ditulis oleh ulama yang berkecenderungan Salafi Wahabi. Umumnya, isi buku tersebut membicarakan tentang ketidakbolehan melakukan ritual yang dianggap tidak memiliki dalil yang kuat di dalam Al-Qur’an dan sunah.
Keempat, buku terjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia berdampak pada menguatnya identitas Arabisme. Munip berkata: “Pada tataran wacana keislaman, bisa dilihat dari bagaimana ideologi Hizbuttahrir (HT), Ikhwan al-Muslimin, dan Salafi-Wahabi yang berpusat di Timur Tengah berhasil tertanam dalam sebagian umat Islam Indonesia. Semua itu tidak bisa dilepaskan dari buku-buku terjemahan dari bahasa Arab yang menjadi bagian penting sebagai materi ajar dalam pengkaderan”.
Terakhir, selain menguatnya identitas Arabism, Munip melihat bahwa karya terjemahan ini bisa menjadi media penyebaran ideologi jihadis-teroris. Ini didasarkan pada fakta bahwa buku-buku berbahasa Arab karya para jihadis (teroris?) global bisa ditemukan edisi terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
“Meskipun buku-buku tersebut tidak bisa dijumpai secara bebas di toko atau kios buku, namun, siapapun bisa mengaksesnya karena disebarkan melalui website. Pembaca bisa men-download secara gratis dalam situs millahibrahim, thoriquna.wordpress, alqoidunsitesled.com, dan juga situs-situs lainnya” tutup Munip.