Tidak lama setelah pemerintah Indonesia mulai memperlakukan agak serius isu pandemi coronavirus bernama Covid-19 pada pertengahan Maret, orang-orang di jagat maya twitter dan facebook (FB) sudah ramai bicara lockdown. Mereka tidak sekadar ngobrol. Di Jogja, dampaknya mulai terasa menjelang akhir bulan Maret.
Beberapa kawan di FB membagi informasi bahwa kampungnya menerapkan “lockdown” alias swakarantina lokal. Apa yang seminggu kemarin ramai diperbincangkan kini mulai menuai hasilnya. Blokade gapura dan gang di kampung-kampung mulai dilakukan.
Seorang dosen UIN Sunan Kalijaga berbagi cerita, di lingkup RW-nya yang punya lima akses jalan, empat di antaranya sudah ditutup. Di tempat saya, ada tiga akses jalan, dua ditutup. Kawan saya, seorang pengusaha percetakan, membagikan foto “lockdown lokal” di tempatnya sembari melampirkan gambar spanduk bertuliskan “lock down!! ngeyel, smack down”. Tidak sekadar dihalangi portal, ada petugas penyemprotan disinfektan yang mangkal di depan akses jalan terbuka.
Mengapa Orang tertarik dengan Lockdown?
Mengapa kita tertarik dengan gagasan mengisolasi area? Penerapan lockdown, terlepas tepat atau tidaknya penggunaan istilah ini (tidak begitu penting), dalam praktiknya justru tidak aneh dan ambivalen. Praktik-praktik pembatasan atau penghambatan akses jalan di kampung-kampung Jogja bukan ide baru, dan bukan hanya didorong oleh wabah pandemi.
Ide ini sudah bersemayam dengan menjamurnya markah kejut alias polisi tidur, jalan berportal dan pos ronda. Jauh sebelum muncul keterpaksaan mengisolir diri, praktik-praktik menutup akses jalan merupakan perkara sehari-hari. Meski berangkat dari motif yang berbeda dan saling beririsan, gagasan karantina selalu memuat misi proteksi sekaligus negosiasi kehadiran.
Munculnya situasi genting pandemi membuka pintu praktik isolasi jalan kampung. Sekali lagi, ide ini sangat lawas. Jogja selama beberapa tahun terakhir meliberalisasi orientasi ekonominya. Meningkatnya jumlah hotel, mall dan perumahan premium, mengubah tatanan sosial dan kebudayaan.
Banyak bangunan-bangunan mewah dan boros energi tadi dicangkok dan menjadi slilit di antara perkampungan padat warga di Jogja. Sangat penting bagi warga kampung memproteksi keistimewaan lokalnya masing-masing. Kehadiran bangunan-bangunan tadi menambah beban ekosistem sekitar kampung karena menstimulasi kepadatan populasi temporer.
Sebagai akibat langsung liberalisasi tata ruang kota dan alihfungsi lahan, situasi ini menelanjangi eksistensi kehidupan warga kampung. Warga kampung jadi tontonan atau latar hidup pembangunanisme. Mengecor jalan dengan polisi tidur hingga menjalari jalan terkecil kampung adalah ekspresi berebut “penampakan” atau “kehadiran”. Sebuah pertentangan kontras antara yang besar dan kecil.
Kebanyakan negara yang menerapkan pilihan lockdown selain didorong oleh semangat menghambat penyebaran coronavirus, juga karena sebetulnya lalu lintas sosial-ekonomi menjadi begitu kompleks. Warga-warga kampung punya pemahaman serupa. Ruang hidup mereka sehari-hari menjadi kompleks dan rumit. Tak ada otoritas hirarki yang berpeluang mampu mengelola kepentingan mobilitas setiap orang.
Masa-masa darurat pandemi seperti saat ini, memungkinkan kepengaturan mobilitas muncul. Setelah sekian lama praktik mengawasi orang dari pos ronda kelihatan sebagai kepentingan sepihak, kini merazia siapa saja yang mondar mandir di kampung akan menjadi masuk akal.
Kebanyakan warga kampung area urban menganggap swakarantina lokal merupakan cara paling ampuh menolak bala. Jika virus ini menyebar melalui kontak sosial dan mobilitas antar tempat, maka mengisolasi diri adalah pilihan paling waras. Meski hitung-hitungan kebutuhan konsumsi bagi warga dengan akses terbatas seperti lansia, difabel, atau pekerja informal selalu absen dalam praktik swakarantina yang tengah berlaku saat ini.
Akan Sejauh Apa Lockdown?
Isi pesan spanduk lockdown yang bertebaran di gapura masuk kampung punya beragam kombinasi nada persuasi. Mulai dari “kurangi aktivitas keluar masuk kampung”, “lockdown, tidak menerima tamu”, “tamu harap lapor”, “sementara LDR dulu, kalau kangen VCS aja”, “di rumah rasah dolan”, “lockdown, rasah ngeyel, nek mati kubur dewe”, “lockdown tahan dulu, keluar di dalam”, “sementara jalan ditutup, boleh keluar tapi di dalam”, “ojol paket stop di sini!!”.
Kombinasi seruan, humor, intimidasi, panik, seksis, paranoid, bercampur aduk. Gapura atau gerbang depan kampung mengenang lagi masa-masa kejayaannya sebagai palang pertahanan.
Apakah lockdown kampung efektif mencegah penyebaran Covid-19? Kita tidak bisa memastikan. Karantina lokal adalah solusi praktis yang kita miliki karena kita tidak benar-benar punya pilihan lain, setidaknya hingga angka kasus virus ini menurun. Pemerintah pusat kita memang ceroboh dan kelewat main-main menghadapi kemungkinan serangan Covid-19.
Tiadanya kebijakan signifikan selama wabah berlangsung, membuat warga kampung harus menemukan sendiri bentuk proteksi diri. Kerentanan asuransi kesehatan publik telah mendorong upaya-upaya swakarantina menjadi terlihat problematik tapi praktis.
Problem Swakarantina Lokal
Kisah-kisah swakarantina kampung punya sisi mengkhawatirkan. Warga yang tetap harus bekerja menjadi kebingungan dengan swakarantina lokal. Saya menyaksikan sendiri dua orang perempuan berusia 30an, karyawan salah satu swalayan di samping Balai Kota, berjalan mondar-mandir dari satu portal ke portal lain untuk menemukan jalan.
Mereka harus segera pergi bekerja, karena itulah satu-satunya cara mereka mendapat makan sehari-hari untuk keluarganya. Sejauh ini juga tampaknya tidak ada fasilitas dapur umum bagi orang-orang paling rentan dengan dampak isolasi kampung ini.
Setidaknya satu hari sejak tren lockdown di kampung-kampung Jogja pecah, kepanikan menyebar. Saya pergi ke swalayan malam hari ketika kesepakatan swakarantina dilakukan di RW kami. Ikan kaleng, susu, mie instan ludes di rak toko. Ini baru hari pertama lockdown, atau tiga hari sejak gelombang swakarantina ini menyebar ke berbagai penjuru kota. Ini jarang terjadi.
Inisiatif swakarantina lokal ini harus diikuti oleh kesadaran sosiologis yang tepat dan relevan. Kita perlu menghitung berapa warga lansia, single-parent, difabel, pekerja informal, orang-orang yang butuh perawatan medis dan obat-obatan, dan banyak lagi warga yang akan sangat rugi dengan pembatasan mobilitas. Bagi mereka, swakarantina harus diikuti dengan kejelasan daya tahannya masing-masing.
Bagaimana jika swakarantina berpotensi membunuh sumber ekonomi mereka? Pasca wabah, apakah nasib mereka bisa terprediksi? Saya tidak membayangkan berapa banyak pekerja informal yang berpotensi kehilangan pekerjaan, dan bahwa mereka bahkan tidak punya asuransi hidup apapun. Perkaranya bisa berubah pelik.
Warga-warga rentan ini, justru adalah orang yang paling efektif mengelola rutinitas. Jadi, ketika swakarantina dilakukan, akan lebih arif jika mereka diberi perlakuan khusus. Pencegahan penyebaran Covid-19 adalah tanggungjawab semua orang, tapi mengabaikan konsekuensi bawaannya akan menjadi problem tersendiri.
Editor: Nabhan