Di tengah suasana krisis akibat pendemi Virus Corona (Covid-19) ini bagi warga negara Indonesia selalu menyisakan cerita-cerita menarik untuk dikaji. Seperti baru-baru ini terlihat di beberapa titik daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah ramai-ramai menutup akses daerahnya sendiri. Beberapa warga kampung membuat tulisan dan pagar pembatas di masing-masing daerah mereka dengan aneka tulisan yang menunjukan kebijakan lockdown lokal daerah setempat. Tentu saja ini adalah keputusan kolektif yang hanya melibatkan warga dan pemegang kebijakan daerah masing-masing.
Keputusan seperti ini diawali oleh Walikota Tegal, Dedy Yon Supriyono. Namanya sempat beredar di dunia maya. Dedy mengaku dirundung dilema untuk memutuskan perkara tersebut. Dengan rasa penuh tanggung jawab ia mengatakan “lebih baik saya dibenci daripada maut menjemput mereka,” begitulah salah satu perkataan Dedy yang sempat ramai di dunia maya.
Tak urung kebijakan Walikota Tegal tersebut ramai-ramai diikuti juga oleh daerah-daerah lain, seperti di kampung-kampung yang terletak di Kecamatan Pakem, Sleman Yogyakarta yang mulai menerapkan penutupan wilayah daerah kampung. Dikutip dari laman tirto.id bahwa mereka khawatir dengan Virus Corona, walaupun di kampung mereka belum ada yang terdeteksi positif Corona.
Penutupan wilayah atau lockdown lokal dilakukan warga dengan amat sederhana. Mereka menutup jalan akses keluar masuk kampung dengan spanduk tulisan dan bambu. Selain melakukan lockdown wilayah warga juga meminta kepada pendatang atau yang baru saja pulang kampung dari daerah terpapar Virus Corona (Covid-19) untuk mematuhi protokol kesehatan, yaitu melakukan isolasi diri di rumah selama 14 hari.
Peristiwa ini tentu sangat menarik untuk dicermati, di tengah-tengah pemerintah daerah atau pusat yang masih dilanda kebingungan untuk me-lockdown sejumlah kota terpapar Covid-19 (daerah merah). Di mana para pemangku kebijakan pusat lebih sibuk menganalisa akibat-akibat yang mungkin terjadi jika diterapkannya lockdown, seperti kekhawatiran ekonomi dan konflik sosial yang nantinya akan ditimbulkan jika kebijakan lockdown benar-benar diberlakukan.
Sebagai negara yang benyak dihuni oleh pekerja lapangan alias pekerja harian keputusan lockdown sejumlah daerah memang sangat sulit, seperti disampaikan oleh Jubir Mentri Kesehatan Bapak Yurianto yang mengatakan bahwa jika di-lockdown orang-orang yang mencari makan dengan mengandalkan keramaian jalanan akan kesulitan dan justru konflik sosial akan muncul.
Tentu perkataan Pak Juru bicara itu ada benarnya. Para pekerja harian seperti penjual makanan kaki lima, driver ojek, tukang becak, supir angkot, jasa bangunan, jasa angkut, dan lain-lain akan kesulitan memenuhi keperluan hidupnya sehari-hari. Tapi yang perlu diingat di sini adalah bahwa Pemerintah tidak sendiri. Kita adalah bangsa yang dikenal paling dermawan, pundi-pundi bantuan tanpa diminta sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok.
Penggalangan dana untuk tenaga medis yang rawan terpapar virus karena bersentuhan langsung dengan pasien pengidap Covid-19 menjadi perhatian utama warga Indonesia. Sejumlah LSM lantas langsung beramai-ramai membuat pengggalangan dana untuk pembelian APD para pekerja medis, selain itu yang jauh-jauh hari dipikirkan masyarakat adalah bahwa akan banyak yang kehilangan mata pencaharian dengan adanya wabah ini. Orang-orang yang jika tidak keluar rumah tidak dapat makan adalah yang menjadi fokus penggalangan dana. Akhirnya, ramai-ramai sejumlah LSM, komunitas ataupun perorangan juga membuat galang dana program pembagian makanan dan sembako untuk warga miskin rawan kehilangan sumber pencaharian akibat Covid-19, bahkan juga pembuatan dapur umum.
Melihat hal ini kok kita menjadi amat terharu. Sungguh warga negara Indonesia memang warga negara yang mandiri. Warga negara ini amat tanggap jika korban Virus Corona terus bertambah sendi-sendi kehidupan akan turut hancur. Di samping kesadaran perlengkapan medis yang tentu tidak akan cukup menampung untuk jumlah penduduk nomor 4 di dunia ini.
Menyangkut ekonomi keluarga dan pangan yang akan turut terganggu, yang dipikirkan warga mereka tidak akan lagi bisa bertanam di sawah, menjual hasil pertanian ke pasar, sepi pembeli, dan tentu saja tidak bisa membuka warung angkringan. Jika situasi tersebut terjadi pasti akan menjadi kenyataan yang amat pelik bagi bangsa yang suka berkumpul dan rembug desa ini. Sehingga atas kesadaran itu warga memilih mencegah korban terus bertambah dengan membatasi daerah masing-masing.
Terlepas dari kebijakan lockdown lokal yang tidak mendapat restu dari pemerintah pusat atau daerah, nyatanya peristiwa seperti ini sangat memperlihatkan bahwa bagaimanapun semangat gotong-royong dan bahu membahu benar-benar sudah menjadi bagian kehidupan warga negara kita. Ini adalah modal sosial yang amat berharga untuk sebuah negara, sehingga rasanya kita juga harus melihat bahwa rupanya warga negara ini telah turut membantu tugas pemerintah menekan penyebaran Virus Corona.
Pembatasan wilayah lokal bisa jadi adalah salah satu bentuk ikhtiar yang bisa dilakukan dari masing-masing daerah. Bisa jadi hal inilah yang membuat Indonesia akan terus bertahan dari berbagai macam krisis, mengedepankan karakter gotong royong dan saling membantu akan menjadi kekuatan yang hebat dari berbagai terpaan badai.
Editor: Arif