Perspektif

Perang Melawan Virus Corona, Siapakah Pemenangnya?

3 Mins read

Di kalangan peneliti dan akademisi telah terjadi perdebatan. Apakah sistem atau bentuk sebuah negara berhubungan dengan tingkat keberhasilan dalam menangani wabah? Penelitian Jonathan Schwartz yang membandingkan bagaimana negara otoriter seperti Cina dan negara demokratis seperti Taiwan menanggapi epidemi sindrom pernapasan akut (SARS) 2002-2003 menjadi pemicunya.

Tesis Schwartz

Schwartz menemukan bahwa Cina memiliki keuntungan “karena otoriter” atas tetangganya, Taiwan. Karena itu, China mampu menanggulangi SARS lebih efektif. Schwartz mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis rezim dan respon terhadap pandemi (Journal of Contemporary of China. Vol. 16, 2007).

Perbandingan jumlah kematian SARS di China 6,6% dan Taiwan 21,1%. Tiga faktor yang menyebabkan keberhasilan komparatif Tiongkok yaitu, sentralisasi kekuasaan membuat koordinasi lebih mudah, masyarakat patuh, dan tidak ada gejolak politik. Kemudian komunikasi satu pintu dan koordinasi antara lembaga yang baik. Terakhir, ada kepercayaan publik yang kuat dalam pemerintah, yang mendorong partisipasi masyarakat luas dalam menanggapi krisis.

Sekarang, negara-negara demokrasi ada yang sukses dalam mengatasi ancaman Covid-19. Tampaknya, tesis tersebut perlu dikaji ulang. Keberhasilan negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Jerman dalam membatasi penyebaran penyakit dan menekan jumlah kematian jelas mematahkan argumen Schwartz.

Jenis Rezim Tidak Berpengaruh  

Negara-negara tersebut membuktikan bahwa prinsip dan alat demokrasi, seperti transparansi, partisipasi, dan kesadaran masyarakat, telah mampu mencegah konsekuensi bencana dari virus. Menteri luar negeri Korea Selatan, Kang Kyung-WHA, bahkan mengatakan jika itu karena prinsip demokrasi negaranya yang telah membantunya mengatasi Covid-19.

Di sisi lain, negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi, seperti Singapura, Vietnam, dan Cina juga telah memiliki hasil yang sama dengan negara demokratis seperti Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan dalam menghadapi pendemi. Namun, keberhasilan ini tidak terjadi di negara otoriter lainnya seperti di negara-negara Timur Tengah.

Baca Juga  Rapat Darurat OKI, Menlu Retno: Kekerasan Harus Dihentikan

Begitu juga banyak negara demokrasi seperti Amerika Serikat, Inggris, Italia, Spanyol, dan beberapa negara Uni Eropa yang buruk dalam menangani pendemi. Sampai artikel ini ditulis, kasus di Amerika Serikat telah mencapai setengah juta orang yang artinya tertinggi di dunia. Melihat pengalaman Cina, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, jelas bahwa jenis rezim politik bukan satu-satunya determinan efektivitas dalam menangani pandemi, seperti Covid-19.

Cerita dari Taiwan

Salah seorang teman yang merupakan dosen Universitas Ahmad Dahlan dan sedang studi S3 di Taiwan mengambarkan pengalamanya. Yaitu tentang bagaimana pemerintah Taiwan mengatasi pendemi Covid-19. Menurutnya, Taiwan menerapkan peraturan bahwa masyarakat tidak dapat memasuki tempat umum tanpa memeriksa suhu terlebih dahulu (Thermo scanner di setiap pintu masuk sekolah, kampus, RS, dan kantor pemerintahan) dan menunjukan identitas diri (ID Mahasiswa, NHI, ARC).

Setiap kali bepergian dengan menggunakan angkutan umum, mereka perlu memeriksa suhu badan, membersihkan tangan, dan sepatu. Mereka mendisinfeksi dengan klorin/alkohol setiap hari ruang kelas di semua sekolah dan universitas, juga di asrama. Ada hand sanitizer di setiap pintu.

Aplikasi Pemantau

Ada aplikasi (dibuat oleh orang Taiwan sendiri) yang memberi tahu perjalanan masyarakat. Seseorang bisa pergi untuk membeli masker sesuai dengan ID nasional atau kartu asuransi kesehatan. Sekarang, Taiwan adalah salah satu pengekspor masker terbesar karena ketika masalah dimulai di China, mereka sepakat dengan perusahaan swasta untuk membuat masker bagi semua warga negara. Pemerintah menugaskan produsen garmen dan konveksi untuk memproduksi masker. Survei rutin 1 kali /2 minggu (kunjungan sebelum dan sesudah 14 hari dari jadwal, posisi tinggal, kontak darurat).

Jika warga negara memiliki gejala flu, batuk, tidak nyaman, wajib memakai masker dan diharuskan menunjukkan riwayat penerbangan mereka. Pada bulan Februari dan Maret tahun 2020, jika ada warga telah melewati Korea, Italia, China, Hongkong atau Makau, mereka harus dikarantina selama 14 hari.

Baca Juga  Ibnu Khaldun: Bapak Sosiolog Muslim

Jika tidak mengikuti instruksi negara, orang tersebut harus membayar denda (bukan ratusan, bukan ribuan, tetapi jutaan dolar Taiwan). Dilarang bagi pengunjung yang tidak memiliki Alien Resident Certificate (ARC) untuk memasuki Taiwan. Pemerintah juga menawarkan gaji 1000 NTD ($ 33) per hari kepada mereka yang harus menjalani karantina.

Semua informasi yang berkaitan dengan Covid-19 diserahkan oleh Taiwan CDC. Jika ada yang membuat berita dan itu bohong, dikenai denda. Presiden pun tidak berani berbicara tentang Covid-19, hanya CDC yang boleh menyampaikan informasi. Warga tidak pernah tahu identitas pasien yang dirawat dan tempat perawatanya. Penyebutan case adalah penderita yang sudah positif, sedangkan contact adalah semua orang yang pernah kontak dengan case, tidak peduli sudah dirawat atau belum.

Taiwan Belajar dari Sejarah

Beberapa catatan penting dalam kebijakan pemerintah Taiwan dalam menghadapi pendemi Covid-19. Tidak ada istilah lockdown kewilayahan di Taiwan, yang ada pelarangan masuk bagi WNA dari negara manapun dan pelarangan keluar dari negara untuk penduduk yang mempunyai ARC.

Sempat ada panic buying, tapi hanya pada tissue. Karena tissue adalah barang penting untuk kepentingan toilet. Kebutuhan bahan pokok sudah dipersiapkan oleh negara, meski tidak ada bencana ataupun wabah (minimal 6 bulan kedepan). Penjualan masker dan hand sanitizer diatur oleh negara (terintergrasi dengan sistem, ada link yang menunjukkan ketersediaan barang berikut jumlahnya di setiap gerai yang ditunjuk). Masker sudah bisa dibeli dari vending machine. Setiap penduduk mengedukasi dirinya sendiri untuk melakukan upaya pencegahan.

Semua kebijakan terkait dengan penanganan Covid-19 berada di bawah pusat komando kesehatan nasional yang didirikan setelah Taiwan kedodoran dalam menghadapi wabah SARS tahun 2002. Kemudian Taiwan mengaktifkan Pusat Komando Epidemi Sentral cabang (CECC) di NHCC guna mengkoordinasikan berbagai kementerian dalam memberlakukan kebijakan dan strategi dalam penanganan wabah.

Baca Juga  Hoaks Corona dan Etika Jurnalisme

Ternyata pemenang dalam kontestasi menangani wabah Covid-19 bukanlah negara demokratis maupun otoriter. Melainkan mereka yang mau belajar dari sejarah. Bagaimana dengan Indonesia? Kita berharap juga sama. Wallahu’alam!

Editor: Arif

Avatar
3 posts

About author
Wakil Sekertaris PWM DIY, Mahasiswa Doktoral Universitas Shanghai, China
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *