Perspektif

Di Bawah Bayang-Bayang Kejayaan Logika Mayoritas

4 Mins read

Logika Mayoritas – Indonesia sebagai negara yang kerap diamplifikasi di fora dunia sebagai negara berpenduduk muslim dengan populasi terbanyak di dunia. Hal ini menjadi identitas tersendiri dalam panggung global bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan.

Namun, terlepas dari predikat kebesaran dan kemayoritasan umat Islam di Indonesia, juga secara perlahan muncul ragam sikap keagamaan dalam memandang persoalan keummatan dan keindonesiaan.

Problem Keummatan dan Keindonesiaan

Ada yang tampil cenderung ekstrem kanan (fundamentalis dan tekstualis), ada pula yang ekstrem kiri (bercorak liberal dan sekuler). Sikap keagamaan juga kerap diseret dalam visi politik dalam membangun bangsa lewat kendaraaan partai.

Sejauh yang saya amati, sudah ada beberapa yang berseliweran ke mana-mana dalam mempromosikan Islam lewat partai. Partai berbasis agama baik yang sudah selonjoran di senayan maupun rintisan. Nyatanya, terfragmentasi dalam berbagai kendaraan dan kepentingan partai. Tujuannya satu, yaitu untuk meraup suara dari konstituen jamaahnya masing-masing umat Islam di Indonesia.

Ada salah satu ayat dalam surah Al-Mulk yang kerap menjadi senjata saya saat berargumen dalam mempersepsikan logika mayoritas yang perlu diantisipasi yaitu: “…yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha perkasa lagi Maha pengampun” (Qs. Al-Mulk:2).

Allah mengatakan di penghujung ayat tersebut dengan ahsanu ‘amala (kualitas), bukan diakhiri dengan kata aktsaru ‘amala (kuantitas). Jadi, pada dasarnya Allah memberikan instrumen kepada umat Islam untuk menjadi pribadi yang berkualitas tidak hanya sekedar mengglorifikasi kuantitas kebesaran umat Islam.

Agama Penyebab Kemunduran?

Hasil survei PEW Research Center dalam ‘The Global God Divide’ (2020) yang merilis data dari suatu pertanyaan “Apakah Agama itu penting bagi kehidupan?” Sebagai negara ber-Tuhan, saya secara nyaring mengatakan bahwa sangat dan sangat penting bagi kehidupan.

Baca Juga  Masjid Harus Menjadi Tempat Ibadah yang Inklusif dan Ramah Penyandang Disabilitas

Tebakanku sudah pasti tepat sasaran, dalam survei tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan persentasi tertinggi dalam hal religiusitas.

Namun ada hal yang menjadikan penelitian ini begitu unik, yakni ketika PEW Research Center menemukan bahwa, negara yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung memiliki PDB (produk domestik bruto) rendah.

Ada semacam hipotesa bahwa Agama adalah penghambat kemakmuran atau Agama merupakan simbol kemunduran. Saya masih bertanya-tanya, apa iya, realitas kehidupan di belahan dunia berpenduduk muslim yang secara populasi mayoritas, apakah berkualitas buruk?

Bila mencari ujung benang merahnya, rasanya sulit mencarinya. Namun demikian, menjadi hamba yang taat dan berkualitas merupakan ikhtiar sepanjang hayat dalam mengokohkan peradaban umat Islam yang progresif.

Persoalan Logika Mayoritas

Logika mayoritas-minoritas, sebenarnya menjadi persoalan tersendiri. Tidak ada yang salah dengan persepsi tersebut, yang harus kita pahami bahwa logika mayoritas sesama muslim jangan sampai menegasikan persaudaraan insani sebagai sesama masyarakat yang sama-sama menghirup udara Indonesia. Solidaritas kemanusiaan sejatinya menjadi instrumen penting dalam mengaburkan terminologi rasialistik mayoritas-minoritas.

Potret tantangan peradaban Islam di Indonesia meliputi berbagai problem di satu sisi derasnya internalisasi pemahaman ekstrem kiri dan kanan yang menyebar secara sporadis dalam arus keindonesiaan, di sisi lain, menguatnya isu identitas.

Problem Identitas

Tampil di arena publik, seringkali memunculkan stereotip basi dalam melihat figur yang berbicara dan menafikkan suatu fakta bahwa orang yang dimaksud adalah pakar, memiliki intelektualitas yang mapan, serta memiliki analisis riset yang mendalam.

Kemudian dipatahkan oleh segelintir orang yang ‘mabok agama’ hanya karena beda agama dengan dalih “waspadalah terhadap informasi yang datangnya pada ahli kitab”. Kemudian, dalam ingatan kolektif pesta demokrasi 2019 yang membuka lebar segregasi ruang dari pilihan politik yang berbeda.

Baca Juga  Kang Jalal dan Logical Fallacies

Pengamat politik Yunarto Wijaya atau disapa akrab mas Toto yang namanya selalu menghiasi layar tv ketika timbul gonjang-ganjing perpolitikan tanah air.

Beliau mengakui saat sebelum pemilu 2019, dirinya banyak mendapat ancaman dan teror. Entah apa yang menjadi motivasi oknum pendukung salah satu calon begitu deras dalam menyebar caci dan maki kepada figur mas Toto. Kenapa? Apakah display dan analisis datanya diragukan? Ataukah karena beliau non-muslim?

Survei kecil-kecilan yang saya lakukan di setiap mesin pencari smartphone teman-teman saya. Kata yang selalu mengikuti nama beliau adalah Tionghoa, Cina, agama, politik, dan lainnya. Jadi, sangat bisa dipastikan bahwa sebagian publik Indonesia masih sangat rentan terhadap paparan problem identitas.

***

Kehidupan keberagamaan sebagian masyarakat seolah-olah menjadikan negara bak pelatihan militer yang meneriakkan secara nyaring tentang kedisiplinan, berseragam wajib, dan langkah dan larinya seirama bahkan bila perlu mengalahkan baris-berbarisnya semut di dinding kamar. 

Menjadi ‘hakim swasta’ dalam kehidupan yang multikultural akan menjadi pertanda keretakan dan ketidakharmonisan kehidupan antar sesama anak bangsa.

Cukuplah kita berucap, kita mayoritas dalam hal sumber daya manusia, kita mayoritas dalam hal sumber daya budayanya, kita mayoritas akan sumber daya alam dan lautnya, kita negeri mayoritas akan berbagai hal.

Bilamana, ada figur yang kekeh terhadap pendiriannya dengan melancarkan agitasi di ruang-ruang publik dan virtual, maka kita mengibaratkan oknum tersebut seperti katak dalam tempurung dunianya hanya seluas halaman rumah, karena pada dasarnya sempit pikir pertanda bersumbu pendek. 

Kasus mas Toto hanyalah salah satu contoh dari sekian problem keberagamaan yang terjadi sepanjang tahun 2014 hingga sekarang. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang memiliki nalar progresif, maka penting kiranya kembali memperkuat komitmen kebangsaan dan kembali mempelajari tentang wawasan persaudaraan insani. Jangan sampai perbedaan warna kulit, kepercayaan, dan identitas yang melekat dalam diri seseorang, memposisikan orang yang berbeda sebagai kelompok the others.

Menjadi Umat Mayoritas yang Berkualitas

Umat mayoritas bukan suatu jaminan kejayaan, apalagi kebanggaan kolektif yang diekspresikan di ruang publik. Negeri ini, merupakan negeri yang damai serta merupakan negara dari hasil konsensus nasional dan tempat pembuktian atau kesaksian.

Baca Juga  Pengarusutamaan Fikih Peradaban: Trajektori dan Signifikansi

Komitmen wathoniyah yang dibawa oleh kedua sepuh ormas NU dan Muhammadiyah menjadi pusaka penting dalam mengawal kehidupan keagamaan yang moderat, toleran, dan inklusif.

Karena pada dasarnya, mencari bentuk akhir dari makna suatu kejayaan yakni ketika Ia bergerak pada suatu perspektif dan atau orientasi tidak hanya sekedar kebanggaan kuantitas namun diiringi dengan kualitas yang ditandai dengan terus menerus mengasah kemampuan berdasarkan bidang yang digeluti masing-masing.

Teriakan, kutukan, caci-maki, umpatan dan ragam lainnya merupakan penghambat kejayaan dan bibit retardasi intelektual.  Nabi Muhammad Saw mengedukasi umatnya dengan senantiasa menaruh hormat antara orang satu dan yang lainnya bahkan kehormatan dan kecintaan terhadap diri sendiri pun disejajarkan bahkan dilebihkan porsinya kepada orang lain dalam membangun kekuatan moral dan intelektual di ruang-ruang sosial.

Jadi, sangat terang-benderang bahwa instrumen dari Tuhan tentang perbaikan kualitas dan nalar progresif adalah perkara yang amat penting, agar umat Islam hari ini tidak terbawa arus glorifikasi dalam bayang-bayang kejayaan mayoritas.

Editor: Yahya FR

Muhammad Idris
1 posts

About author
Penggagas Forum Literasi Keberagamaan, Alumni Magister Pendidikan Sosiologi Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Sulawesi Selatan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds