Sejatinya lempar jumrah merupakan ritual melempar batu yang diarahkan kepada syetan yang menggoda Nabi Ibrahim saat hendak menyembelih Ismail. Di Mina, sejatinya Nabi Ibrahim tak sedang berkelahi dengan syetan, tetapi membuang keraguan dalam hatinya.
Lempar Kepala Batu
Bagi jamaah haji, melempar batu hakikatnya adalah membuang watak batu dalam dirinya. Kita harus mampu melempar kebatuan kita yang disimbolkan melempar tiga tugu syetan di Jamarat. Watak “batu” dalam diri kita harus dibuang di Mina.
Watak batu pernah disinggung M. Quraish Shihab dalam kesempatan ceramah. Dikatakan bahwa “jangan berdiskusi dengan orang yang berkepala batu”. Maksudnya, orang yang keras kepala dengan pendirian, pendapat, dan kebiasaan berpikir yang sudah mendarah daging, sehingga sulit menerima pendapat orang lain.
Watak batu manusia juga ada dalam pelajaran tujuh (7) falsafah KH Ahmad Dahlan, bahwa kebanyakan manusia itu berwatak angkuh dan takabur, suka mengambil keputusan sendiri-sendiri. Maksudnya manusia suka egois, memaksakan kehendak dan pikiran sendiri-sendiri. KHA Dahlan menyatakan:
“Manusia itu, kalau mengerjakan sesuatu apapun, sekali, dua kali, berulang kali, maka kemudian akan menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang dicintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk diubah. Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut keyakinan atau iktikad, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah, mereka akan sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar.”
Jadi, kita sering kali meyakini sesuatu yang kita anggap benar. Padahal itu sebenarnya hanyalah pengetahuan, pemikiran, dan pendapat yang berulang-ulang, akhirnya menjadi keyakinan. Inilah habit of mind (kebiasaan pemikiran) itu. Jika kita sudah memiliki keyakinan, kita merasa paling benar, paling baik, dan menganggap yang lain salah.
Watak batu, kaku, tidak mau mendengar orang lain, tidak mau membaca pikiran baru, menutup kebenaran dari orang lain harus dihancurkan. Watak inilah yang harus dibuang dan dilempar dari dalam diri kita.
Lawan Konservatisme Agama
Watak batu adalah watak syetan. Merasa benar, dan menolak kebenaran adalah kesombongan sejati. Kesombongan inilah yang seringkali menjadikan manusia sulit masuk surga, dan jatuh ke neraka. Biasanya, kita merasa benar, bahkan paling benar, lalu tidak menerima kebenaran dari orang lain, dikarenakan sikap sombong. Karenanya sombong sering diartikan sebagai sikap menolak kebenaran.
Mereka yang menolak kebenaran biasanya, karena tradisi, kebiasaan berpikir atau bertindak sudah dipegang kuat. Dalam tradisi pemikiran agama misalnya, orang menjadi tidak bisa membedakan antara “agama” dan “pengetahuan agama”. Orang tidak sadar, bahwa agama itu tetap, sedangkan pengetahuan atau pemahaman agama itu sangat bisa berubah.
Dalam level tertentu, menjadikan pemikiran keagamaannya dijadikan agama, bahkan berhala. Akibatnya, mereka memuja pemikiran keagamaan yang diyakini, dan menyalahkan yang lain. Jika seperti itu, menjadi sulit menerima kebenaran baru, informasi baru, dan perspektif baru dalam memahami agama. Padahal seharusnya tafsir dan pemahaman tentang agama senantiasa berkembang mengikuti gerak perkembangan ilmu pengetahuan yang lain.
Dunia dan permasalahannya semakin kompleks, maka ilmu agama harus senantiasa relevan dengan zaman. Dan kita harus terbiasa berpikir terbuka untuk menerima dan mengapresiasi pikiran-pikiran baru tentang ilmu agama. Jangan eksklusif, defensive, dan konservatif. Kepala batu yang membeku harus dipecahkan dan dicairkan supaya kita mampu menerima kebenaran baru.
Jika kita mampu membuang “batu” yang ada dalam diri kita, maka kita akan naik kelas, naik maqam menjadi menjadi hamba yang tercerahkan (rausyanfikr) dalam bahasa al-Quran disebut dengan ulul Albab, yakni hamba Allah yang bijaksana, dapat mengambil kebenaran dari manapun sebagaimana semangat wukuf dengan tenang, jernih, dan obyektif.
Editor: Soleh