Ludwig Wittgenstein – Keberagaman dan perbedaan merupakan fitrah. Terutama di Indonesia dengan beragam suku, budaya, etnis, keyakinan, dan lain sebagainya, menjadikan Indonesia merupakan negara yang amat kaya.
Maka integrasi bernegara menjadi hal yang wajib. Namun akhir-akhir ini, kita mengalami sebuah tantangan. Dalam sebuah seminar yang pernah diadakan oleh prodi Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Ampel, Hasnan Bachtiar berpendapat bahwa tantangan hari ini meliputi disintegrasi, konservatisme berbasis agama, radikalisme, ekstrimisme dengan kekerasan, dan terorisme.
Oleh sebab itu, tantangan seperti ini perlu dijawab. Sebagaimana ungkapan Arnold J. Toynbee, bahwa peradaban berkembang dan mengada karena mampu menjawab tantangan.
Jika kita mencoba sejenak berselancar di dunia filsafat, kita akan menemukan sebuah konsep menarik yang disebut language game milik Ludwig Wittgenstein.
Metode ini selain ampuh dalam perkembangan filsafat analitik. Juga sangat bisa untuk menambah pembendaharaan dalam menghadapi keragaman.
Biografi Ludwig Wittgenstein
Ludwig Wittgenstein merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Ia dilahirkan di Wina, Austria pada tanggal 26 April 1889 sebagai.
Ayahnya adalah seorang kepala perusahaan baja, seorang Yahudi yang menganut Protestantisme. Sedangkan ibunya adalah putri seorang bankir Wina. Ibunya adalah seorang Katolik Roma, ia mencintai dan mengabdikan dirinya pada musik. Wittgensteinpun dibaptis ke dalam Gereja Katolik. Sebelum usia 14 tahun, ia dididik langsung oleh kedua orang tuanya. Setelah itu, orang tuanya mengirim Ludwig remaja ke Linz di Austria untuk mempelajari matematika dan ilmu fisika daripada pendidikan klasik.
Selepas menyelesaikan pendidikannya, dia mulai belajar teknik selama dua tahun berikutnya di Technische Hochschule di Charlottenburg, Berlin. Lalu pada tahun 1908, dia pergi ke Inggris. Pada tahun berikutnya, dia mendaftar sebagai mahasiswa teknik di Manchester University. Di mana, dia terlibat penelitian penerbangan selama tiga tahun.
Saat di Inggris, ia membaca Principles of Mathematics Russell. Setelah itu, fokusnya pun beralih dari teknik dan belajar dengan Russell di Cambridge pada tahun 1911. Di mana, dia membuat kemajuan dan dalam studi tentang logika (Norman L. Geisler, 2012:239).
Dua magnum-opusnya yaitu Tractus Logico-Philosophicus serta Philosophy Investigation telah menjadi bagian penting dalam perkembangan filsafat analitik.
Permainan Bahasa Ludwig Wittgenstein
Selanjutnya, kita masuk dalam pembahasan inti mengenai language game. Pada tahun 1929, Wittgenstein merasa ada yang kurang dari pemikiran filsafatnya dan hal ini membuat ia kembali ke Cambridge University.
Dan selama 20 tahun, ia gunakan untuk merumuskan atau menyempurnakan pemikirannya. Dalam periode kedua ini, ia menyatakan bahasa sebagai suatu bentuk kegiatan atau suatu bentuk kehidupan.
Bahkan, Ada banyak jenis perbedaan yang tak terhitung banyaknya dalam bahasa. Mulai dari jenis penggunaan yang biasa kita sebut “simbol”, “kata”, dan “kalimat”. Dan keberagaman ini bukanlah sesuatu yang tetap. Ia akan terus mengalami kebaruan dan kata yang lainnya bisa saja menjadi usang dan dilupakan.
Wittgenstein memberikan contoh bagaimana keberagaman permainan bahasa ini digunakan yakni mulai dari; memberi perintah dan mematuhinya, mendeskripsikan suatu benda atau pengukurannya, membangun objek dari deskripsi (dari sebuah gambar), melaporkan suatu acara, atau berspekulasi tentang suatu acara(Ludwig Weittgenstein, 1958:11).
Contoh Penggunaan
Misal, yang dekat dengan kita hari ini. Yakni kata atau kalimat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) lalu berubah PSBB Transisi, lalu menjadi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dan kini kita mengenal PPKM Darurat.
Ini adalah salah satu contoh dari language game yang dimaksud Wittgenstein. Apabila ada banyak keragaman dalam permainan bahasa, maka apa inti dari permainan bahasa?
Inti dari permainan bahasa Wittgenstein itu salah satunya terletak pada aturan permainannya (rule of game). Dan di setiap aturan permainan, pastinya berbeda dengan aturan permainan yang lain.
Maka mengutip dari Rizal Mustansyir, tesis language game ini ialah “makna kata tergantung penggunaannya dalam kalimat. Makna kalimat tergantung pada penggunaannya dalam bahasa. Dan makna bahasa tergantung penggunannya dalam kehidupan.”
Oleh sebab itu, ketika ada perbedaan istilah PSBB hingga menjadi PPKM Darurat itu adalah hal yang wajar. Karena ada kondisi maupun rule of game yang menyertainya.
Apabila, kita bawa pola pikir Wittgenstein ini dalam berkehidupan. Kita akan menjadi pribadi inklusif. Sebab ketika kita melihat perbedaan segala sesuatu, itu menjadi hal yang wajar.
Sehingga kita tidak pernah menjadi pribadi yang suka membanding-bandingkan. Suku A jauh lebih baik dari Suku B. Keyakinan C lebih benar dari keyakinan D.
Kita melihat itu semua sebagai bagian dari language game. Setiap suku, setiap keyakinan, dan lain sebagainya, selalu memiliki rule of game-nya. Dan apabila kita masih mempertentangkannya secara vis a vis, itu sama saja menunjukkan bentuk kepandiran.
Editor: Rozy