Suatu ketika di tahun pertama pasca bergulirnya gerakan Reformasi, saya bertemu Lukman Harun di DPR-RI. Waktu itu ia menjadi anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Karya Pembangunan (FKP). Ruang kerja anggota dewan berada di gedung yang sama dengan ruang tempat kami sehari-hari bekerja sebagai lagal drafter Tim Ahli di DPR-RI yaitu Gedung Lokawirasabha (kini Gedung Nusantara I).
Pertemuan siang itu berlangsung dalam suasana informal dan penuh keakraban. Lukman Harun mengenakan tongkat karena cidera tulang pinggang akibat jatuh. Ia bercerita seputar pers Indonesia, di mana terhadap seorang tokoh tertentu apa saja diberitakan hingga sekecil-kecilnya mengenai tokoh tersebut, sementara terhadap tokoh yang lain tidak demikian.
Saya menangkap pandangan positif Lukman Harun terhadap sisi baik kepemimpinan Presiden Soeharto menjelang akhir masa kekuasaannya. Pak Harto memberi angin segar terhadap aspirasi umat Islam melalui saluran ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan pendirian Bank Muamalat. Saya menyimak ungkapan dan harapannya terhadap perubahan politik yang sedang terjadi di Tanah Air.
Salah satu pesan dan nasihat yang ia sampaikan kepada kami ialah agar mencari kesempatan untuk sekolah lagi daripada mencari pekerjaan lain. Pesan itu baru dapat saya laksanakan beberapa tahun kemudian, sayangnya tidak ada lagi kesempatan buat berdiskusi dengannya yang sudah dipanggil menghadap Ilahi.
Peduli Kondisi Umat
Sosok Lukman Harun sudah tidak asing lagi bagi saya. Tulisan-tulisan beliau, sebagian mengangkat hasil kunjungannya ke luar negeri, banyak dimuat dalam majalah Panji Masyarakat dan Kiblat. Tulisan-tulisannya di media massa banyak mengungkap kondisi umat Islam yang tertindas di berbagai belahan dunia. Ia aktif menggerakkan dan memimpin Komite Solidaritas Islam untuk membela perjuangan bangsa Palestina melawan zionis Israel sejak 1967. Ia juga bersahabat dengan pemimpin organisasi pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat dan beberapa tokoh dunia.
Sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah melukiskan seperti apa perasaan dan kepedulian Lukman Harun terhadap penderitaan umat Islam di belahan dunia sana, “seakan-akan semua itu terjadi pada orang sekampungnya─orang sekampung yang tak pula pernah dilupakannya. Ia tidak hanya mengurut dada dan berdoa, dia berbuat, berusaha mencari jalan untuk ikut serta, betapapun kecilnya, mengatasi segala penderitaan itu, ungkap Taufik Abdullah.
Sekitar tahun 1984, ia menghimbau kepada pemerintah agar pengiriman TKW (Tenaga Kerja Wanita) ke luar negeri dihentikan. Menurutnya 80 persen tenaga kerja wanita Indonesia sebagai pembantu rumah tangga waktu itu di Timur Tengah diperlakukan semena-mena. Sayangnya, himbauan itu tidak digubris oleh pemerintah.
Di awal Orde Baru, sekitar 1968 dan 1970, ia mendapat kepercayaan untuk mengambil peran di pentas politik nasional sebagai Sekretaris Umum Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sedangkan Ketua Umum PARMUSI adalah Djarnawi Hadikusuma, keduanya aktivis Muhammadiyah.
Kepemimpinan Djarnawi Hadikusuma dan Lukman Harun di PARMUSI berlangsung tidak lama. Pada waktu itu terjadi intervensi dan rekayasa politik penguasa Orde Baru. Penguasa memandang kepemimpinan partai politik Islam tersebut tidak sejalan dengan kepentingannya. Kepemimpinan PARMUSI yang sah akhirnya direcoki dengan konflik dan diakhiri dengan kudeta J. Naro.
Aktivis Sejak Muda
Lukman Harun lahir dari keluarga sederhana di Limbanang, Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada 6 Mei 1934. Ia seorang perantau yang ulet dan percaya diri. Pada 1951 ia merantau ke Jakarta untuk meraih cita-cita melanjutkan pendidikan. Ia masuk SMA Muhammadiyah di Jakarta. Setelah lulus SMA, melanjutkan pendidikan pada Fakultas Sosial Ekonomi dan Politik Universitas Nasional (Unas).
Sejak muda Lukman Harun dikenal sebagai aktivis HMI dan Muhammadiyah. Ia dikenal sebagai aktivis Angkatan 66 yang berperan menurunkan rezim Orde Lama pasca terjadinya malapetaka nasional G30S/PKI.
A.M. Fatwa dalam buku Lukman Harun Dalam Lintasan Sejarah dan Politik (2000) mencatat peristiwa aksi rapat akbar mengganyang G30S/PKI pada 4 Oktober 1965 di Lapangan Sunda Kelapa Menteng Jakarta─kini Masjid Agung Sunda Kelapa─yang banyak dipelopori oleh Lukman Harun, merupakan aksi pertama kali yang mengkoordinir kalangan umat Islam untuk bersama-sama TNI AD menghancurkan G30S/PKI yang selanjutnya aksi-aksi itu merata di seluruh tanah air.
Setelah tragedi pengkhianatan G30S/PKI, ia aktif dalam Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu yang kemudian menjadi Front Pancasila, menuntut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia). Lukman Harum pernah menjadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Sebagai tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun menapak jenjang karier organisasi dimulai dari bawah.
Editor: Dhima Wahyu Sejati