Sebagian orang mungkin akan mengira tulisan saya ini adalah sebuah penilaian yang subjektif. Apalagi bagi mereka yang telah mengenal saya secara dekat. Sebab mereka tahu saya adalah seorang Rais-ian, pengagum berat Amien Rais (tentu alasan kagum itu tidak akan saya jelaskan di sini. Untuk menjelaskannya mungkin butuh tulisan sendiri). Itu sah-sah saja. Saya tidak akan mempersoalkannya.
Namun dalam tulisan ini, sebisa mungkin saya akan menyajikan pertimbangan-pertimbangan yang bisa kawan-kawan pertimbangkan, apakah Amien Rais pantas atau tidak disebut sebagai negarawan.
Tulisan ini mungkin juga kawan-kawan boleh anggap sebagai interupsi atau tanggapan terhadap tulisan yang dibuat oleh Fahrur Rozy dengan judul, “Pak Amien Rais, Sebaiknya Anda Jadi Negarawan!” Tulisan itu diterbitkan di IBTimes pada tanggal 22 Mei 2020. Silakan dibaca. Karena dari situlah ide pembuatan tulisan ini bermula.
Sejujurnya saya katakan, bahwa hari ini saya sangat skeptis (curiga) dengan istilah “negarawan”. Karena dari kesan-kesan yang saya dapatkan, istilah itu acap kali digunakan sebagai alat untuk menghantam orang lain. Ketika seseorang disebut bukan negarawan, orang tersebut pasti akan berangsur dicurigai dan dijauhi. Dan saya menangkap kesan itu terhadap Amien Rais. Lagi-lagi, kawan-kawan pembaca boleh tidak setuju dalam hal ini.
***
Istilah “negarawan”, sejauh yang saya pandang, muncul dan mulai riuh dibicarakan ketika masyarakat telah muak terhadap tingkah politisi. Kemuakannya dari hari ke hari kian menggunung. Masyarakat sudah terlanjur menganggap bahwa semua yang diperagakan politisi, muaranya tidak lain adalah untuk pemenuhan syahwat kepentingan dan kekuasaan.
Bayangkan saja, pada Pilpres 2019 kemarin mereka berhasil membuat polarisasi di kalangan masyakakat. Politisi-politisi itu berhasil menggiring masyarakat pada perpecahan dan pertengkaran melalui berbagai framing yang dibangun di media massa lewat pernyataan-pernyataannya. Masyarakat di bawah sudah “berperang” sedemikian rupa akibat ulah mereka, sedangkan mereka masih bisa asyik duduk santai dan tertawa bersama lawan politiknya di meja kafe.
Pada situasi itulah harapan-harapan masyarakat mengemuka. Di antaranya dengan menyuarakan agar para politisi-politisi itu naik kelas menjadi negarawan. Yakni dengan tidak mementingkan ego sektoral atau pribadi dan menempatkan kepentingan rakyat sebagai di atas segalanya.
Definisi FR tentang Negarawan
FR di atas adalah singkatan dari Fahrur Rozy. Penulis yang saya tulisannya sebutkan di awal. Dalam membentuk definisinya tentang negarawan, FR mula-mula menyajikan definisi negarawan yang dimiliki Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hanya saja, FR belum puas terhadap pengertian yang diberikan atau ditawarkan KBBI. Karenanya ia lompat pada pengertian negarawan yang dibuat oleh Siburan.
Siburan bertutur bahwa negarawan itu adalah seorang pejabat yang mengayomi semua golongan, tidak memihak mana pun, tidak memihak pada yang menang maupun kalah dalam kontestasi politik. Dari definisi inilah FR kemudian mengategorikan Amien Rais sebagai politisi yang bukan negarawan.
Hal tersebut ia dasarkan pada fakta di mana saat Pilpres 2019 kemarin, Amien Rais merapat ke pasangan Prabowo-Sandi dan berada di barisan Islam kanan yang di dalamnya ada aktivis-aktivis Islam tarbiyah, FPI dan HTI. Dari sini jelaslah sudah kalau Amien Rais tidak pantas menyandang gelar negarawan. Karena bagi FR seorang negarawan itu tidak boleh memihak.
Redefinisi Istilah Negarawan
Biarlah FR berpegang pada definisinya tentang negarawan. Karena harus saya akui, hal itu dalam beberapa hal benar dan perlu. Hanya saja, saya ingin menawarkan definisi lain. Yang tentunya lebih luas. Tidak memandang apakah dia berpihak atau tidak. Definisi yang tentunya kita sepakati bersama. Yakni seorang itu akan disebut sebagai negarawan jika ia peduli terhadap negara, bangsa dan rakyatnya.
Jika kita menyepakati definisi di atas, saya kira Amien Rais bisa dimasukkan dalam kategori sebagai negarawan. Kita bisa melihat dalam beberapa kesempatan, kritik-kritik yang dilontarkan Amien Rais adalah bentuk kepedulian beliau terhadap nasib bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Amien Rais, misalnya sering mengingatkan dan mewanti-wanti pemerintah agar jangan terlalu bergantung pada asing dan aseng. Karena hal tersebut pada akhirnya akan menjadi bom waktu bagi Indonesia. Seluruh kekayaannya akan dikuasai dan dieksploitasi secara terus-menerus. Peringatan Amien Rais agar tidak terlalu bergantung pada asing tersebut juga bisa dimaknai agar bangsa kita dapat menjadi bangsa yang mandiri.
Kritik-Kritik Amien Rais
Selain itu, beliau juga sering menyayangkan praktik demokrasi di era kepemimpinan Jokowi. Amien Rais menilai bahwa pemerintah saat ini cenderung bersikap represif dan anti kritik. Padahal di alam demokrasi, praktek yang demikian tidak boleh ada. Masyarakat bebas menyampaikan kritiknya dan pemerintah harus menampung kritik-kritik tersebut. Bukan malah mencurigai dan menakut-nakuti masyarakat yang mengiritik.
Tentunya masih banyak kritik-kritik Amien Rais yang merupakan ekspresi kepeduliannya terhadap nasib bangsa dan negara Indonesia. Seperti soal angka kemiskinan yang terus melonjak dan isu Papua.
Saya kira definisi tentang negarawan yang begitu lebih luwes. Kita jadi tidak lagi memandang negarawan berdasarkan pada apakah dia memihak dalam politik. Karena jika begitu, para oposisi yang sebenarnya sangat peduli dengan nasib bangsanya tidak masuk dalam kategori negarawan hanya karena sering mengkritik.
Justru bagi saya, negarawan itu harusnya tidak boleh diam ketika melihat ketidakadilan dan kepincangan sosial. Ia tidak boleh diam jika memang peduli terhadap nasib bangsanya. Dia harus tampil memberi kritik demi meluruskan kiblat bangsa.