IBTimes.ID, Ambon – MAARIF Institute menyelenggarakan Pelatihan LOVE (Living Our Values Everyday: Penguatan Nilai-nilai Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Guru-guru Pendidikan Lintas Agama tingkat SMA di Ambon.
Pelatihan yang digelar selama tiga hari, sejak Senin, 27 November sampai Rabu, 29 November 2023 dilaksanakan di The Natsepa Hotel, Ambon.
Kegiatan ini melibatkan 23 peserta guru agama di Lembaga Sekolah Menengah Atas (SMA/MA/SMK) dan praktisi dengan klasifikasi lintas agama dan lintas organisasi keagamaan yang meliputi Muhammadiyah, NU, Kristen Katolik dan Protestan.
Pelatihan ini dibuka oleh Direktur MAARIF Institute, Abd. Rohim Ghazali. Dalam pembukaanya, ia menjelaskan bahwa pelatihan ini dilaksanakan secara massif di sejumlah wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kegiatan pelatihan penguatan kapasitas ini merupakan wujud implementasi dari gagasan Buya Syafii Maarif tentang kemanusiaan, keragaman dan keterbukaan, yang mencoba membuka cakrawala berpikir para peserta yang mampu menghargai dan menerima perbedaan sebagai rahmat, bukan sebagai ancaman.
Rohim mengatakan bahwa, hidup dalam keragaman itu ibarat memasuki taman bunga yang indah.
Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Moh. Shofan dalam pengantar pembukaan. Ia menjelaskan bahwa, kasus-kasus bullying kini marak dan mengalami peningkatan bahkan mengakibatkan korban meninggal. Sehingga kegiatan pelatihan dengan pendekatan inklusif ini diharapkan mampu mengikis tiga dosa besar itu.
“Bullying, kekerasan seksual dan intoleransi kini menjadi masalah besar pada dunia Pendidikan. Pelatihan penguatan kapasitas untuk guru-guru SMA ini diharapkan bisa menjadi penyelamat untuk mengatasi tiga dosa besar dalam pendidikan,” terang Shofan.
Narasumber yang hadir dalam seminar ini adalah Hasbollah Toisuta (Direktur Yayasan Sombar Maluku), Abidin Wakano (Direktur ARMC IAIN Ambon), Nancy Souisa (Dosen UKIM AMBON) dan Zainal Arifin Sandia sebagai moderator.
Mengawali sesi pertama, Hasbollah, menjelaskan bahwa pendidikan inklusi ini penting untuk mengikis perilaku intoleransi, kekerasan dan bullying.
“Kita harus merayakan keberagaman itu untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, saling menggelar perjumpaan agar mengenal satu sama lainya. Disinilah tugas guru sebagai unsur penting dalam proses pendidikan untuk mewujudkan inklusi sosial dalam lingkungan sekolah,” ungkapnya.
Pemateri kedua, Nancy Souisa, mengatakan bahwa kita harus menjadi manusia yang berpretotipe Indonesia, dimana semua harus berjalan setara dan adil. Kita tidak boleh ada favoritisme dan berupaya agar anak-anak Indonesia tumbuh dengan perasaan yang sehat.
Narasumber ketiga, Abidin Wakano, menyebut bahwa setiap anak lahir untuk meraih kemenangan (Born to Win). Setiap anak didik harus dilihat sebagai suatu karya Tuhan yang agung. Mereka terlahir unik, terpilih dan plural.
“Guru harus melihat peserta didik dalam pandangan yang seperti ini, dan pendidikan inklusi sebagai jalan utama untuk mengantarkan anak anak didik sebagai manusia yang merdeka dan menghargai perbedaan,” tegasnya.
Seminar ini berjalan dengan lancar dan penuh antusias dari para peserta pelatihan. Zainal Arifin Sandia selalu moderator menyimpulkan bahwa realitas plural multikultural adalah keniscayaan yang eksistensinya harus direalisasikan oleh lembaga pendidikan secara setara.
(Soleh)