Review

Madrasah Moderat ala Yusuf al-Qaradhawi

4 Mins read

Salah satu ulama kontemporer yang perlu untuk ditelaah pemikirannya adalah Yusuf al-Qaradhawi. Ia merupakan seorang mujtahid muslim yang berasal dari Mesir. Keilmuannya tak diragukan lagi. Ia telah sukses mengarang lebih dari 125 buku dalam berbagai dimensi keislaman. Salah satu karyanya yang cukup fenomenal adalah Dirasah fi Fiqh Maqashid asy-Syariah.

Dalam buku yang diterbitkan Dar asy-Syuruq pada tahun 2008 ini, al-Qaradhawi membahas panjang lebar tentang maksud-maksud syariat. Tak kalah menarik, dalam buku ini al-Qaradhawi juga membahas pembagian tiga madrasah: Dzahiriyah Baru (adz-Dzahiriyah al-Judud), Penganulir Baru (al-Mu’athilah al-Judud), dan Madrasah Moderat (al-Wasathiyah). Madrasah terakhir inilah yang akan diulas lebih panjang dalam tulisan ini.

Tipologi Madrasah

Secara sederhana al-Qaradhawi menerangkan, Madrasah Dzahiriyah Baru merupakan sebuah “manhaj” yang memegang teks-teks partikular dengan melupakan maksud-maksud syariah yang global. Mereka cenderung jumud dan konservatif. Sehingga, kata al-Qaradhawi, mereka menjelekkan gambaran Islam yang indah di hadapan para cendekiawan kontemporer dan dunia yang maju.

Sedangkan Madrasah Penganulir Baru, merupakan “manhaj” yang melupakan teks-teks pertikular. Madrasah ini mengklaim bahwa mereka melihat kepada maslahat umum dan maksud-maksud global. Mereka menolak teks Al-Qur’an dan as-Sunnah atas dasar kemaslahatan manusia yang berdampak hancurnya hukum-hukum syariat.

Adapun Madrasah Moderat (Wasathiyah), kata al-Qaradhawi, merupakan “manhaj” yang berada di tengah-tengah dua madrasah yang telah lalu. Ia adalah madrasah yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) yang menolak ekstrimisme keduanya. Mereka beriman kepada keseimbangan dan keadilan.

Madrasah Moderat, dalam pandangan al-Qaradhawi, menggabungkan teks-teks partikular (an-nushush al-juz’iyah) dan maksud-maksud global (al-maqashid al-kuliyah). Di samping itu madrasah tersebut juga memahami yang pertikular dalam bingkai yang global. Mereka tak berlebihan mengikuti teks-teks literal seperti Madrasah Zhahiriyah Baru, dan tak berlebihan dalam menolak teks seperti Madrasah Penganulir Baru.

Baca Juga  Puasa dan Corona: Begini Menurut Azyumardi Azra

Madrasah Moderat percaya, bahwa hukum-hukum syariat ada illat (kausa) dan hikmahnya. Illat tersebut ada demi untuk menjaga kemaslahatan manusia. Karena, Allah tidak akan menciptakan dan membuat syariat kecuali dengan hal yang baik dan maslahat bagi hamba-Nya. Dari sinilah bisa dikatakan bahwa Allah yang Maha Penyayang selalu menjelaskan illat, hikmah, dan kemaslahatan, terutama dalam masalah muamalah.

Karakteristik Madrasah Moderat

Madrasah Moderat, tulis al-Qaradhawi, memiliki beberapa ciri dan karakteristik. Pertama, percaya kepada hikmah syariat yang mengandung kemaslahatan. Kedua, menggabungkan nash dan hukum syariat secara komprehensif (syumuliyah). Ketiga, memandang dengan adil terhadap urusan agama dan dunia. Keempat, mendialogkan nash dengan realitas kehidupan dan konteks. Kelima, memudahkan manusia, terbuka serta mengutamakan dialog dan toleransi.

Di samping itu, Madrasah Moderat memiliki landasan-landasan (al-murtakazat). Pertama, landasan madrasah ini adalah mencari maksud-maksud nash sebelum mengeluarkan hukum. Terkait dengan hukum memanjangkan jenggot apakah wajib atau sunnah, misalnya. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yang artinya:

Dari Nabi saw bersabda: “Berbedalah dengan orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan potonglah kumis” (Muttafaq ‘Alaih).

Bagi Madrasah Moderat yang meneliti maksud nash, akan melihat bahwa perintah memanjangkan jenggot memiliki illat khusus, yaitu tidak menyamai bentuk dan gaya non- muslim. Sehingga, umat Islam memiliki ciri khas dan kepribadian khusus yang berbeda dengan umat lain. Dengan demikian, hukum tersebut ada seiring dengan illatnya, baik ada ataupun tidaknya. Dalam kaidah fikih dikatakan “al-hukm yaduru ma’a ‘illatih wujudan wa ‘adaman”.

Lantas, apa perbedaan bentuk “jenggot” masuk ke dalam adh-dharuriyah (primer), al-hajiyah (sekunder), atau at-tahsiniyah (tersier) dalam agama? Perbedaan tersebut, kata al-Qaradhawi, lebih sesuai dengan at-tahsiniyah. Ia adalah maksud tersier, bukan primer. Sehingga memanjangkan jenggor dihukumi sunnah, bukan wajib.

Baca Juga  Ketika Tindakan Terorisme Mengatasnamakan Tuhan dan Kemanusiaan

Kedua, landasan Madrasah Moderat adalah memahami nash dalam bingkai sebab (turunnya nash) dan kondisinya. Untuk memahami Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan baik, harus memahami sebab-sebab turunnya, sehingga seseorang tidak akan terjebak dalam ekstrimisme dalam memahami nash yang ada.

Misalnya, dalam masalah wanita yang pergi tanpa mahram. Illat larangannya adalah adanya kekhawatiran jika wanita pergi sendiri tanpa mahram. Karena pada saat itu, bepergian menggunakan onta yang umumnya melintasi padang pasir dan masih banyak orang Jahiliyah. Jika jiwanya tak dianaiaya, kemungkinan kehormatannya. Namun, jika keadaan tersebut berbeda dengan konteks yang sudah aman, maka tak mengapa jika wanita melakukan hal itu.

Landasan Madrasah Moderat

Selain landasan sebagaimana telah diuraikan di atas, landasan Madrasah Moderat berikutnya adalah membedakan (at-tamyiz) antara maksud yang tetap (ats-tsabitah) dan wasilah yang berubah (al-mutaghayyirah). Dalam sebuah syariat, ada yang namanya maksud syariat, dan ada yang namanya wasilah. Maksud syariat itu tetap, tak bisa berubah, “tsawabit”, sedangkan wasilah bisa berubah, “mutaghayyirah”, sesuai dengan waktu, tempat, tradisi, kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

Al-Qaradhawi mencontohkannya dengan siwak yang merupakan wasilah untuk membersihkan gigi (al-mutaghayyirah). Dengan demikian bersiwak bisa diganti dengan sikat sesuai dengan waktu, tempat, dan tradisi. Landasan selanjutnya adalah penyesuaian yang mapan (ats-tsawabit) dengan yang senantiasa berubah (al-mutaghayyirah).

Adapun landasan yang terakhir adalah melihat perbedaan makna dalam ibadah dan muamalah. Imam asy-Syatibi dalam kitab masterpiece-nya, al-Muwafaqat, membuat suatu kaidah mengenai hal ini, yang berbunyi: “dasar ibadah bagi mukallaf adalah menyembah tanpa melihat makna. Dan dasar dari adat (muamalah) adalah melihat makna”.

Dari uraian ini, maka dasar dari ibadah adalah menyembah, ta’abbudi, semata-mata beribadah kepada Allah, meskipun terkadang tak sejalan dengan logika. Dalam hal ibadah thaharah misalnya, adanya kewajiban mandi setelah berhubungan suami-istri (kenapa seluruh tubuh, tidak kemaluan saja?). Contoh lainnya, dalam masalah sholat ada gerakan-gerakan khusus yang tak bisa kita rubah, atau haid yang menggugurkan kewajiban sholat bagi wanita. Demikian juga ibadah lainnya.

Baca Juga  Menghadirkan Islam yang Lebih Humanis di Indonesia

Sedangkan dalam masalah muamalah, dasarnya adalah melihat kepada makna, ta’aqquli, maksud, hikmah, dan rahasianya. Hal ini dapat diketahui dengan penelitian (al-istiqra’), sehingga akan diperoleh pemahaman bahwa syariat memiliki maksud untuk kemaslahatan manusia. Dalam masalah muamalah, syariat meluaskan penjelasan tentang illat dan hikmah, yang kebanyakan dijelaskan dengan hal-hal yang sesuai dengan logika.

Itulah ciri, karakteristik, dan landasan Madrasah Moderat menurut Yusuf al-Qaradhawi. Ia telah memberikan penjelasan berharga bagaimana menampakkan Islam yang kaffah dengan wajah yang moderat. Memahami Wasathiyah sangatlah penting, sehingga kita tidak terjerembab pada pemahaman kaku, “jumud”, dan konservatif, serta pemahaman liar yang menuruti nafsu akal.

Editor: Nirwansyah

Avatar
4 posts

About author
Anggota Santri Merapi. Mahasiswa PAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds