Perspektif

Mafhum dan Mashduq: Kerangka Dasar dalam Analisis Logika

4 Mins read

Ilmu Mantiq atau yang sering juga disebut sebagai Ilmu Logika merupakan salah satu cabang ilmu yang memiliki peran sangat penting dalam perkembangan pemikiran manusia. Sejak zaman kuno, manusia telah mengakui kebutuhan akan sebuah metode yang sistematis untuk memahami dan mengembangkan penalaran yang benar.

Ilmu Mantiq lahir sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dan sejak saat itu telah menjadi fondasi penting dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari filsafat dan agama hingga sains dan hukum. Salah satu istilah penting yang menjadi kerangka dasar dalam analisis logika yang sistematis dan termuat dalam Ilmu Mantiq adalah Mafhum dan Mashduq. Jika ada seseorang yang mengatakan: Saya adalah bagian dari “hewan yang berakal”. Maka contoh tersebut dalam Ilmu Mantiq disebut Mashduq, karena mempunyai arti yang terperinci. Sementara itu, Mafhum merupakan sesuatu yang dipahami dari suatu lafadz yang lebih bersifat universal.

Pengertian Mafhum dan Mashduq

Secara bahasa, Mafhum berarti sesuatu yang kita pahami dari sesuatu. Adapun secara istilah, Mafhum adalah penunjukan suatu lafadz atas makna dari apa yang sudah kita pahami dari suatu lafadz tersebut. Sedangkan Mashduq adalah individu-individu yang ada dan tercakup dari apa yang sudah kita pahami dari Mafhum tadi.

Lebih lengkapnya, Mashduq adalah suatu segi yang menunjukan nama atau satuan jumlah dari sesuatu yang ditunjukan oleh kata itu, atau merupakan wujud kenyataan dari sesuatu yang ditunjuk oleh suatu kata, seperti kata “manusia” bila ditinjau dari segi Mashduq, maka dilalah yang dimaksud adalah satuan-satuan yang disebut manusia seperti Ridho, Rasyid, Syafi’i dan seterusnya.

Jadi pada dasarnya, setiap lafadz kully (universal) mempunyai dua segi dilalah (penunjuk makna), yakni segi pengertian atau pemahaman (Mafhum) dan segi cakupan atau jumlah wujud kenyataannya (Mashduq).

Baca Juga  Omnibus Law (1): Pandangan Menurut Islam

Agar lebih mudah untuk memahaminya, misalnya saja ketika disebutkan kata “SIM”. Apa yang dipahami dari kata “SIM” itu? Biasanya orang memahami kata “SIM” sebagai suatu surat izin yang diperuntukkan untuk seorang pengemudi. Maka pemahaman kita terhadap kata “SIM” inilah yang disebut dengan Mafhum. Kemudian, kata “SIM” ini juga mencakup individu-individu yang lain. Seperti misalnya SIM A, SIM B, SIM C dan lain-lain. Maka cakupan individu-individu inilah yang disebut dengan Mashduq.

Jadi sederhananya, Mafhum artinya pemahaman, Sedangkan Mashduq artinya cakupan. Mafhum adalah apa yang kita pahami dari sesuatu. Sedangkan Mashduq adalah individu-individu yang tercakup oleh apa yang kita pahami itu.

Perbedaan Antara Mafhum dan Mashduq

Jika Mafhum merupakan sesuatu yang kita pahami dari suatu lafadz yang bersifat kully (universal), maka Mashduq adalah sesuatu yang tercakup dari apa yang kita pahami dari Mafhum tersebut. Seperti itu sederhananya. Namun, ada yang perlu dicatat bahwa Mashduq tidak harus berupa lafadz yang juz’iy saja, Mashduq juga bisa berupa lafadz yang kully. Seperti dalam kata “Hayawan”yang menjadi lafadz kully bagi kata “Nathiq” dan kata “Nathiq”ini juga menjadi lafadz kully bagi kata manusia. Maka, kata “Nathiq”ini menjadi Mashduq bagi Mafhum yang berupa kata “Hayawan”.

Adapun faedah dari membedakan antara Mafhum dengan Mashduq adalah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Muqaddimah fi Ilmi Mantiq karya Dr. Naif bin Nahar bahwa terdapat suatu faedah yang akan tampak ketika seseorang sedang berdialog atau berdebat dan akan cukup berdampak serta membuat kacau jika seseorang tersebut tidak bisa membedakan antara kata Mafhum dan kata Mashduq. Misalnya ketika terjadi suatu dialog antara Khalid dengan Sa’ad sebagai berikut:

Baca Juga  Wajah Islam Timur Tengah: Konflik Politik Tak Kunjung Usai

Khalid   : “Islam itu akan memelihara hak-hak seorang Perempuan”.

Sa’ad   : “Perkataan kamu itu tidak benar”.

Khalid  : “Apa argumentmu berkata demikian?”.

Sa’ad  : “Karena Abdurrahman tidak memberikan hak-hak kepada istrinya padahal dia adalah seorang Muslim”.

Dari dialog di atas dapat kita perhatikan bahwa Khalid berbicara mengenai Mafhum (Islam), sedangkan Sa’ad berbicara mengenai Mashduq (realita penerapan Islam di kehidupan nyata) dan dia tidak berbicara mengenai prinsip-prinsip Islam itu sendiri.

Nah inilah yang akhirnya menyebabkan dan menimbulkan “khalad”(kekacuan), karena satu sisi melihat kata tersebut dari segi Mafhum dan satu sisi lain melihat kata tersebut dari segi Mashduq. Jadi konsep (Mafhum) Islam itu tidak seperti apa yang difahami oleh Sa’ad, sebab yang dimaksud Khalid dalam dialog di atas adalah Islam bukan Muslim.

Hubungan Antara Mafhum dan Mashduq

Adapun masing-masing antara Mafhum dan Mashduq mempunyai hubungan korelatif (timbal balik), artinya bila Mashduq nya diperluas atau ditambah, maka Mafhum nya menjadi sempit (berkurang). Perkataan “manusia” jika dilihat dari segi Mashduq, maka dilalahnya meliputi satuan manusia dan hanya manusia saja. Namun, jika Mashduqnya diperluas dengan mengatakan “semua hewan” maka Mafhumnya secara otomatis akan berkurang, yakni hanya menyisakan sifat “animalitas” (hayawaniyah) saja tanpa menunjukkan sifat “rasionalitas” (berakal).

Begitu juga sebaliknya, jika Mafhumnya yang diperluas dengan “hewan berakal dan beragama Islam” maka secara otomatis Mashduqnya akan berkurang, yakni hanya meliputi “orang-orang Islam saja”.

Sedangkan hubungan korelatif antara Mafhum dan Mashduq dianggap benar bila mana penambahan atau pengurangan Mafhum dan Mashduq melahirkan istilah (term) nama baru. Misalnya penemuan bangsa-bangsa primitif di Afrika (Pigmy) seolah-olah adanya penambahan Mashduq dari term “bangsa primitif” sebenarnya tidak ada penambahan Mashduq dari kata “bangsa primitif’ karena tidak merubah tanpa primitif itu sendiri, dalam arti tidak mengurangi Mafhum dan makna “bangsa primitif itu”. Adapun jika kita melihat hubungan antara Mafhum dan Mashduq dari segi dua lafadz kully, maka tidak akan lepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut:

  1. Nisbah Taradduf(yakni jika Mafhum dan Mashduq nya adalah sama).
  2. NisbahIstirak atau Tasawi (yakni jika Mashduq nya sama namun Mafhum nya berbeda).
  3. Nisbah Takhalluf atau Tabayyun(yakni jika Mafhum dan Mashduq nya berlawanan).
  4. Nisbah al- Khusus wa al-Umum al-Muthlaq(yakni jika Mashduq satunya lebih umum daripada Mashduq yang lain).
  5. Nisbah al-Umum wa al-Khusus al-Wajhi(yakni jika masing-masing Mashduq lebih umum dan yang lain lebih khusus).

Jadi kesimpulannya, Mafhum dan Mashduq merupakan suatu kerangka dasar dalam menganalisis logika agar bersifat sistematis, karena tanpa mengetahui serta memahami Mafhum dan Mashduq, seseorang akan mudah sekali terjerumus ke dalam Logical Fallacy (kesalahan berfikir) ketika sedang berdialog atau berdebat dengan orang lain.

Baca Juga  Ketika Orang Lain Berbuat Maksiat, Benci Perbuatan atau Pelakunya?


Iklan kemitraan Lazismu.org

Muhammad Sulaiman Hasyim
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

KHGT: Upaya Muhammadiyah Membayar Hutang Peradaban Islam

6 Mins read
“Islam telah mencerahkan kehidupan manusia selama berabad-abad, tetapi sampai saat ini belum memiliki sistem pengorganisasian waktu (kalender) secara global. Ini adalah hutang…
Perspektif

“Quo Vadis Ulil?” (2): Fikih Lingkungan Saja Tidak Cukup!

5 Mins read
Saya masih ingin menanggapi pandangan sahabat saya Ulil Abshar Abdalla yang mengetengahkan gagasan soal “fikih lingkungan” dan dengan keras membedakannya dari “ideologi…
Perspektif

"Quo Vadis Ulil?" (1): Kritik Pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang Lingkungan

11 Mins read
Ulil Abshar Abdalla, sahabat saya, seorang intelektual dan aktivis terkenal di Indonesia, sering kali memberikan pandangan yang kontroversial namun mendalam mengenai berbagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds