Mahasiswa dan buku bagaikan dua keping sisi mata uang yang harusnya tak dapat dipisahkan—satu sisi membutuhkan sisi lainnya. Sehingga kedua sisi keping saling melengkapi, dan menjadi koin mata uang yang bermanfaat. Satu keping uang akan dikatakan sebagai uang, bila kedua sisinya lengkap. Begitu juga dengan mahasiswa, dimana mahasiswa akan identik dengan buku, pun sebaliknya buku akan identik dengan mahasiswa.
Artinya, seorang mahasiswa harus memiliki intensitas kedekatan yang tinggi dengan buku. Buku harus menjadi teman setia seorang mahasiswa, mulai dirinya membuka kelopak mata di pagi hari, hingga beranjak ke peraduan untuk menutup mata di malam hari—harus tetap bersama buku sebagai teman setia. Bisa dikatakan, 24 jam kehidupan mahasiswa harus selalu bersama buku.
Lantas, bila ada mahasiswa yang tak pernah bersentuhan dengan buku, berarti status dirinya sebagai seorang mahasiswa harus dipertanyakan. Jangan-jangan, dirinya penyusup dan berpura-pura menjadi mahasiswa—pulang-pergi dari rumah atau kosan ke kampus setiap harinya. Tapi, tak sebait kalimat pun keluar dari kedua belah bibirnya untuk membaca buku. Maka, sebagai mahasiswa kita harus bersepakat bahwa buku adalah teman terbaik untuk mahasiswa.
Merubah Paradigma Membaca
Paradigma kutu buku—yang menggambarkan bagaimana kebutuhan akan kegiatan membaca, harus mulai diubah dalam kehidupan kita sebagai mahasiswa. Karena, paradigma tersebut sudah tidak relevan dengan tingkat kecepatan informasi yang berkembang saat ini. Bagi mahasiswa yang masih memegang teguh paradigma kutu buku, pasti akan tergilas oleh cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Maka, “kutu buku” harus ditingkatkan menjadi “rakus membaca buku”.
Rakus membaca buku ialah paradigma yang menggambarkan bagaimana tingkat kebutuhan akan kegiatan membaca oleh seorang mahasiswa. Kemudian, dirinya mampu meningkatkan produktivitas kegiatan membaca setiap harinya. Sehingga membaca bukan sekadar ritual seorang mahasiswa. Akan tetapi, membaca menjadi kebutuhan layaknya keberadaan oksigen bagi kehidupan manusia. Artinya, tanpa oksigen manusia akan mati. Pun juga dengan mahasiswa, tanpa rakus membaca, mahasiswa akan mati otaknya.
Misalnya, bila Anda sebagai mahasiswa bisa membaca satu buku dalam seminggu, berarti selama setahun hanya mampu menghabiskan sebanyak 52 buku. Bila masa studi S1 diselesaikan selama 4 tahun, berarti selama mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi Anda hanya menghabiskan sebanyak 208 buku.
***
Hal yang menjadi pertanyaan mendasar, apakah informasi yang didapatkan dari 208 buku tersebut, mampu mengakomudir perkembangan ilmu pengetahuan selepas Anda mengenyam pendidikan S1? Tentu saja belum tentu, karena ilmu pengetahuan berkembang sangat dinamis dan super cepat.
Oleh karena itu, rakus membaca menjadi salah satu cara untuk mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan. Misalnya, bila Anda memiliki kebiasaan menghabiskan 1 buku dalam seminggu, maka cobalah untuk meningkatkan menjadi 2 hingga 3 buku dalam seminggu. Anggap saja,
Anda bisa menghabiskan 3 buku dalam seminggu, berarti dalam setahun bisa menghabiskan sebanyak 156 buku. Dan, bila masa studi S1 mampu diselesaikan selama 4 tahun, berarti berhasil mengkonsumsi buku sebanyak 624 buku. Setidaknya dengan membaca buku sebanyak itu, sebagai seorang mahasiswa telah mampu mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang.
Dengan demikian, mari bersama-sama kita mengubah paradigma yang telah mengakar kuat dari kebiasaan sebagai seseorang mahasiswa kutu buku menjadi rakus membaca buku. Karena hanya dengan rakus membaca buku, kita bisa mengimbangi kecepatan perubahan ilmu pengetahuan yang berkembang sangat cepat.
Membaca dan Masa Depan Bangsa
Bila ingin melihat masa depan bangsa Indonesia, maka lihat bagaimana generasi muda—khususnya para mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan tinggi di perguruan tinggi menghabiskan waktu untuk membaca. Bila para mahasiswa yang ada masih memiliki kebiasaan membaca—yaitu dari kutu buku menjadi rakus membaca buku, bisa diprediksi masa depan bangsa Indonesia masih akan terus terjaga. Pun sebaliknya, bila membaca buku menjadi barang langka di kalangan mahasiswa, bisa dipastikan masa depan bangsa ini sebentar lagi akan runtuh.
Maka dari itu, runtuh atau tidaknya bangsa Indonesia, setidaknya akan tergantung dari seberapa besar budaya membaca di kalangan mahasiswa. Bila mahasiswa yang ada di perguruan tinggi masih memiliki kecintaan yang besar terhadap dunia membaca, Insya-Allah bangsa Indonesia akan tetap jaya ke depannya. Bahkan, akan menjadi bangsa berkemajuan, karena banyak temuan-temuan terbarukan lahir dari dunia kampus, dikarenakan masyarakat yang ada di perguruan tinggi memiliki budaya membaca—dari tingkat kutu buku menjadi rakus membaca buku.
Tentu saja, rakus membaca harus dimulai dari kutu buku. Dan menjadi kutu buku, juga dimulai dari membaca selembar demi selembar dengan menanggalkan kemalasan yang ada pada diri kita masing-masing. Artinya, menjadi seorang mahasiswa yang rakus membaca buku harus dipaksakan semenjak dini, dengan cara memulai untuk mencintai kegiatan membaca, walaupun harus membaca selembar sehari.
Kemudian, ditingkatkan menjadi 2 lembar, 3 lembar, hingga 1 buku seminggu, 3 buku seminggu, dan berpuluh-puluh buku. Semakin banyak membaca buku, setidaknya akan semakin panjang usia bangsa Indonesia ke depannya. Maka dari itu, mari kita cintai kegiatan membaca, dengan cara bertransformasi dari “kutu buku” menjadi “rakus membaca buku”.
Membaca dan Reproduksi Pengetahuan
Membaca tidak akan memberikan sumbangsih signifikan terhadap masa depan bangsa, bila hanya terhenti di kegiatan membaca. Akan tetapi, membaca sebagai sebuah transformasi pengetahuan, harus dilanjutkan pada proses reproduksi pengetahuan. Sehingga proses pembacaan terhadap rumpun ilmu apapun—baik sosial ataupun non-sosial, akan mampu mereproduksi ilmu pengetahuan.
Keberadaan reproduksi ilmu pengetahuan, tentu akan memberikan sumbangsih besar terhadap masa depan bangsa Indonesia. Karena, ilmu pengetahuan yang baru saja di-reproduksi, menjadi jawaban atas problematika yang datang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal tersebut, akan menjadi sumbangsih nyata dari proses pembacaan yang dilakukan oleh seorang mahasiswa.
Lantas, bagaimana cara mereproduksi ilmu pengetahuan setelah kita selesai membaca? Salah satu cara untuk mereproduksi ilmu pengetahuan dari material hamparan bacaan yang kita baca ialah melalui kegiatan menulis. Dimana, seorang pembaca harus mampu menuliskan kembali dalam bentuk tulisan dan ide baru.
Ide baru dalam tulisan tersebut, bisa dengan cara mengkomparasikan dengan berbagai macam ide dari bahan bacaan yang dibaca, menambah dengan ide penulisnya, atau mungkin menguranginya, atau bahkan dengan meramu sana-sini. Sehingga tulisan yang dihasilkan menjadi lebih baru dari ide-ide yang dituangkan oleh penulis sebelumnya di dalam bahan bacaan yang dibaca.
Penulis berkeyakinan, bila proses membaca dilanjutkan ke dalam bentuk kegiatan menuliskan kembali tulisan-utuh, reproduksi pengetahuan akan masif. Hal tersebut, tentu akan menjadi sumbangsih nyata dari kegiatan membaca untuk masa depan bangsa Indonesia. Disebabkan ilmu pengetahuan bertumbuh signifikan, yang dimulai dari proses membaca dan menuliskan kembali.